Saturday, October 1, 2011

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Pemahaman patofisiologi penekanan tekanan intrakranial membantu perawat melakukan pengamatan penting. Karena otak letaknya terkurung dalam kerangka yang kaku, penekanan tekanan dalam rongga tengkorak dapat menghambat aliran darah otak yang bisa berakibat gangguan fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang belum kaku, merupakan kekecualian dan penekanan tekanan intrakranial dapat diamati sebagai penonjolan fontanel. Tanda-tanda serta gejala awal penekanan tekanan intrakranial antaranya : 1. Nyeri kepala. 2. Muntah. 3. Penurunan tingkat kesadaran. 4. Perbedaan ukuran pupil; melambatnya reaksi terhadap cahaya. 5. Penekanan tekanan darah. 6. Melambatnya nadi. 7. Kelemahan anggota badan. 8. Munculnya respon plantar. Penyebab penekanan tekanan intrakranial bervariasi, namun bila perawat tidak mendapatkan tanda peringatan pada waktunya, hasil akhir akan berupa pupil yang melebar serta henti napas, yang biasanya irreversibel akibat penekanan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial normal berkisar dari 0-15 mmHg; tekanan intrakranial diatas 15 mmHg dianggap meninggi. Anak dengan tanda-tanda penekanan tekanan intrakranial memerlukan pengamatan ketat serta pencatatan yang lengkap di ICU. Anak dengan GCS 8 atau kurang memerlukan pemantauan tekanan intrakranial secara kontinu. Tindakan keperawatan untuk mengontrol tekanan intrakranial antaranya : , mempertahakan jalan nafas untukpenekanan kepala tempat tidur 15-30 mencegah hipoventilasi, memposisikan pasien secara miring untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat muntah, dan mengatur cairan sesuai kebutuhan. Untuk mempertahankan jalan nafas yang utuh, penghisapan hanya dilakukan maksimum 15 detik, karena penghisapan meninggikan tekanan intrakranial seketika. Bila masih diperlukan penghisapan, lakukan hiperventilasi dengan oksigen terlebih dahulu. Dokter mungkin mengorderkan steroid, cairan hiperosmotik, hiperventilasi, hipotermia dan induksi koma dengan barbiturat. Steroid membantu mengurangi edema otak serta menstabilkan sawar darah otak kecuali pada trauma mungkin hanya metilprednisolon. Cairan hiperosmotik membuang cairan dari jaringan otak kealiran darah untuk dibuang melalui ginjal. Namun lebih mungkin perbaikan yang terjadi adalah akibat hemodilusi hingga aliran darah keotak menjadi lebih baik dibanding efeknya sebagai pengurang edema. Cairan hiperosmotik yang digunakan biasanya mannitol 20% dengan dosis 1-3 gram per kg dan diinfuskan sekitar 15-30 menit. Pasien harus dipasang kateter sebelum pemberian mannitol IV untuk memastikan keefektifan diuresis. Hiperventilasi mekanik dengan respirator atau dengan “bagging” mengurangi CO2 jaringan otak, dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan tekanan intrakranial. Induksi hipotermia mengurangi tekanan intrakranial dengan mengurangi kebutuhan glukosa dan oksigen otak. Pengamatan tekanan intrakranial secara kontinu dengan menginsersikan sensor atau sensor pada fontanel memberikan data perubahan tekanan intrakranial , hingga tindakan bisa diberikan secara cepat. Bila tekanan intrakranial tetap tinggi, dokter sering menginduksikan koma dengan barbiturat, yang walau tetap kontroversial, namun sering sangat efektif mengurangi tekanan intrakranial secara nyata. Pada pasien dengan monitor epidural atau fontanel terpasang, perawat dapat lebih hati-hati dengan tindakan keperawatan yang bisa meninggikan tekanan intrakranial . Misalnya penghisapan dan pengaturan posisi pasien akan meninggikan tekanan intrakranial , karenanya perawat harus merancang perawatan sehingga kedua tindakan tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Anak dengan koma barbiturat memerlukan perawatan fisik total karena koma menyebabkan paralisis total. Karena otot pernafasan mengalami paralisis total, perawat bertanggung-jawab memastikan anak mendapat ventilasi adekuat. Sumber: http://angelfire.com, -Perawatan Bedah Saraf Pediatrik oleh Syaiful Saanin. SMF Bedah Saraf RS M. Djamil.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS I. DEFINISI Merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan arahnoid dan piamatter di otak serta spinal cord. Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh bakteri dan virus meskipun penyebab lainnya seperti jamur dan protozoa juga terjadi. (Donna D.,1999). II. ETIOLOGI 1. Bakteri Merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah : • Haemophillus influenzae • Nesseria meningitides (meningococcal) • Diplococcus pneumoniae (pneumococcal) • Streptococcus, grup A • Staphylococcus aureus • Escherichia coli • Klebsiella • Proteus • Pseudomonas 2. Virus Merupakan penyebab sering lainnya selain bakteri. Infeksi karena virus ini biasanya bersifat “self-limitting”, dimana akan mengalami penyembuhan sendiri dan penyembuhan bersifat sempurna 3. Jamur 4. Protozoa ( Donna D., 1999) III. PATHOFISIOLOGI Agen penyebab ↓ Invasi ke SSP melalui aliran darah ↓ Bermigrasi ke lapisan subarahnoid ↓ Respon inflamasi di piamatter, arahnoid,CSF dan ventrikuler ↓ Exudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal ↓ Kerusakan neurologist ( Donna D., 1999) Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, point d’entry masuknya kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab lainnya adalah adanya rinorrhea, otorrhea pada fraktur bais cranii yang memungkinkan kontaknya CSF dengan lingkungan luar. Meningitis Bakterial Bakteri penyabab yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitides (meningococcal). Pada lingkungan yang padat seperti lingkungan asrama, barak militer, pemukiman padat lebih sering ditemukan kasus meningococcal meningitis. Faktor pencetus terjadinya meningitis bacterial diantaranya adalah : • Otitis media • Pneumonia • Sinusitis • Sickle cell anemia • Fraktur cranial, trauma otak • Operasi spinal Meningitis bakteri juga bisa disebabkan oleh adanya penurunan system kekebalan tubuh seperti AIDS. Meningitis Virus Disebut juga dengan meningitis aseptic, terjadi sebagai akibat akhir/sequeledari berbagai penyakit yang disebabakan oleh virus spereti campak, mumps, herpes simplex dan herpes zoster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk exudat dan pada pemeriksaan CSF tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter dan lapisan meninges. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simplex, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzyme neurotransmitter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologist. Meningitis Jamur Meningitis cryptococcal merupakan meningitis karena jamur yang paling serimh, biasanya menyerang SSP pada pasien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantungdari system kekebalan tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi. Gejala klinisnya bia disertai demam atau tidak, tetapi hamper semuaklien ditemukan sakit kepala, nausea, muntah dan penurunan status mental IV. KOMPLIKASI Komplikasi yang bisa terjadi adalah ; • Gangguan pembekuan darah • Syok septic • Demam yang memanjang V. MANIFESTASI KLINIS 1. Aktivitas / istirahat ; Malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumDefenisi Merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid. Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor. Beberapa type hydrocephalus berhubungan dengan kenaikan tekanan intrakranial. 3 (Tiga) bentuk umum hydrocephalus : a. Hidrocephalus Non – komunikasi (nonkommunicating hydrocephalus) Biasanya diakibatkan obstruksi dalam system ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSF. Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka.Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada system ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura yag berfungsi atau pada anak – anak dibawah usia 12 – 18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda – tanda dan gejala – gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak – anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan pembesaran kepala. b. Hidrosefalus Komunikasi (Kommunicating hidrocepalus) Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP) c. Hidrosefalus Bertekan Normal (Normal Pressure Hidrocephalus) Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemingkinan ditemukan hubungan tersebut. II. Fisiologi Cairan Cerebro Spinalis a. Pembentukan CSF Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari dengan demikian CSF di perbaharui setiap 8 jam. Pada anak dengan hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF di bentuk oleh PPA; 1). Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar) 2). Parenchym otak 3). Arachnoid b. Sirkulasi CSF Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari tempat pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen Lusckha CSF mengalir cerebello pontine dan cisterna prepontis. Cairan yang keluar dari foramen Magindie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial menuju cisterna infra tentorial.Melalui cisterna di supratentorial dan kedua hemisfere cortex cerebri. Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis di mana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid. III. Patofisiologi Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu merupakan kasus emergency. Pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal (Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran pada ventrikel laterasl dan tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal blow). Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium. Klein dengan type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara disproporsional. Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala : Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar. Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan menyebabkan kematian. Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma normal yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi. Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi. IV. Etiologi dan Patologi Hydrosephalus dapat disebabkan oleh kelebihan atau tidak cukupnya penyerapan CSF pada otak atau obstruksi yang muncul mengganggu sirkulasi CSF di sistim ventrikuler. Kondisi diatas pada bayi dikuti oleh pembesaran kepala. Obstruksi pada lintasan yang sempit (Framina Monro, Aquaductus Sylvius, Foramina Mengindie dan luschka ) pada ventrikuler menyebabkan hidrocephalus yang disebut : Noncomunicating (Internal Hidricephalus) Obstruksi biasanya terjadi pada ductus silvius di antara ventrikel ke III dan IV yang diakibatkan perkembangan yang salah, infeksi atau tumor sehingga CSF tidak dapat bersirkulasi dari sistim ventrikuler ke sirkulasi subarahcnoid dimana secara normal akan diserap ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan ventrikel lateral dan ke III membesar dan terjadi kenaikan ICP. Type lain dari hidrocephalus disebut : Communcating (Eksternal Hidrocephalus) dmana sirkulasi cairan dari sistim ventrikuler ke ruang subarahcnoid tidak terhalangi, ini mungkin disebabkan karena kesalahan absorbsi cairan oleh sirkulasi vena. Type hidrocephalus terlihat bersama – sama dengan malformasi cerebrospinal sebelumnya. V. Tanda dan Gejala Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi. Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh. Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela. Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional. Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik. VI. Diagnosis CT Scan Sistenogram radioisotop dengan scan . VII. Perlakuan Prosedur pembedahan jalan pintas (ventrikulojugular, ventrikuloperitoneal) shunt  Kedua prosedur diatas membutuhkan katheter yang dimasukan kedalam ventrikel lateral : kemudian catheter tersebut dimasukan kedalasm ujung terminal tube pada vena jugular atau peritonium diaman akan terjadi absorbsi kelebihan CSF. VIII. Penatalaksanaan Perawatan Khusus Hal – hal yang harus dilakukan dalam rangka penatalaksanaan post – operatif dan penilaian neurologis adalah sebagai berikut : 1) Post – Operatif : Jangan menempatkan klien pada posisi operasi. 2) Pada beberapa pemintasan, harus diingat bahwa terdapat katup (biasanya terletak pada tulang mastoid) di mana dokter dapat memintanya di pompa. 3) Jaga teknik aseptik yang ketat pada balutan. 4) Amati adanya kebocoran disekeliling balutan. 5) Jika status neurologi klien tidak memperlihatkan kemajuan, patut diduga adanya adanya kegagalan operasi (malfungsi karena kateter penuh);gejala dan tanda yang teramati dapat berupa peningkatan ICP. Hidrocephalus pada Anak atau Bayi Pembagian : Hidrosephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua (2 ) ; 1. Kongenital Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga ; - Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil - Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu. 2. Di dapat Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas. Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial.Sehingga perbedaan hidrosefalus kongenital denga di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya.. Penyebab sumbatan ; Penyebab sumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak – anak ; 1. Kelainan kongenital 2. Infeksi di sebabkan oleh perlengketan meningen akibat infeksi dapat terjadi pelebaran ventrikel pada masa akut ( misal ; Meningitis ) 3. Neoplasma 4. Perdarahan , misalnya perdarahan otak sebelum atau sesudah lahir. Berdasarkan letak obstruksi CSF hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagianyaitu : 1. Hidrosefalus komunikan Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subaracnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSF dal;am sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan. 2. Hidrosefalus non komunikan Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF. Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan. Manifestasi klinis 1. Bayi ; - Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun. - Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak. - Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial; • Muntah • Gelisah • Menangis dengan suara ringgi • Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor. - Peningkatan tonus otot ekstrimitas - Tanda – tanda fisik lainnya ; • Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas. • Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah – olah di atas iris. • Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes” • Strabismus, nystagmus, atropi optik. • Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas. 2. Anak yang telah menutup suturanya ; Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial : - Nyeri kepala - Muntah - Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas - Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun. - Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer - Strabismus - Perubahan pupil. 1. PENGKAJIAN 1.1 Anamnese 1) Riwayat penyakit / keluhan utama Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer. 2) Riwayat Perkembangan Kelahiran : prematur. Lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau tidak. Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku. Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur. Keluhan sakit perut. 1.2 Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi : Anak dapat melioha keatas atau tidak. Pembesaran kepala. Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara terlihat jelas. 2) Palpasi Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.  Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak. 3) Pemeriksaan Mata Akomodasi. Gerakan bola mata. Luas lapang pandang Konvergensi. Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas. Stabismus, nystaqmus, atropi optic. 1.3 Observasi Tanda –tanda vital Didapatkan data – data sebagai berikut : Peningkatan sistole tekanan darah. Penurunan nadi / Bradicardia. Peningkatan frekwensi pernapasan. 1.4 Diagnosa Klinis : Transimulasi kepala bayi yang akan menunjukkan tahap dan lokalisasi dari pengumpulan cairan banormal. ( Transsimulasi terang ) Perkusi tengkorak kepala bayi akan menghasilkan bunyi “ Crakedpot “ (Mercewen’s Sign) Opthalmoscopy : Edema Pupil. CT Scan Memperlihatkan (non – invasive) type hidrocephalus dengan nalisisi komputer. Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra cranial. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 2. 1 Pre Operatif 1) Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan intrakranial . Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah, kepala membesar Tujuan ; Klien akan mendapatkan kenyamanan, nyeri kepala berkurang Intervensi : Jelaskan Penyebab nyeri. Atur posisi Klien Ajarkan tekhnik relaksasi Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian Analgesik Persapiapan operasi 2) Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami operasi. Data Indikasi : Ekspresi verbal menunjukkan kecemasan akan keadaan anaknya. Tujuan : Kecemasan orang tua berkurang atau dapat diatasi. Intervensi : Dorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam merawat anaknya.  Jelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutannya menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak.  Berikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan jawaban dengan benar dan sejujurnya serta hindari kesalahpahaman. 3) Potensial Kekurangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan intake yang kurang diserta muntah. Data Indikasi ; keluhan Muntah, Jarang minum. Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan dan elektrolit. Intervensi : Kaji tanda – tanda kekurangan cairan Monitor Intake dan out put Berikan therapi cairan secara intavena. Atur jadwal pemberian cairan dan tetesan infus. Monitor tanda – tanda vital. 2.2 Post – Operatif. 1) Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan tekanan pada kulit yang dilakukan shunt. Data Indikasi ; adanya keluhan nyeri, Ekspresi non verbal adanya nyeri. Tujuan : Rasa Nyaman Klien akan terpenuhi, Nyeri berkurang Intervensi : Beri kapas secukupnya dibawa telinga yang dibalut.  Aspirasi shunt (Posisi semi fowler), bila harus memompa shunt, maka pemompaan dilakukan perlahan – lahan dengan interval yang telah ditentukan. Kolaborasi dengan tim medis bila ada kesulitan dalam pemompaan shunt. Berikan posisi yang nyaman. Hindari posisi p[ada tempat dilakukan shunt. Observasi tingkat kesadaran dengan memperhatikan perubahan muka (Pucat, dingin, berkeringat) Kaji orisinil nyeri : Lokasi dan radiasinya 2) Resiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat. Data Indikasi ; Adanya keluhan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan. Tujuan : Tidak terjadi gangguan nutrisil. Intervensi : Berikan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein. Berikan klien makan dengan posisi semi fowler dan berikan waktu yang cukup untuk menelan. Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan terhindar dari bau – bauan yang tidak enak. Monitor therapi secara intravena. Timbang berat badan bila mungkin. Jagalah kebersihan mulut ( Oral hygiene) Berikan makanan ringan diantara waktu makan 3) Resiko tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui shunt. Tujuan : Tidak terjadi infeksi / Klien bebas dari infeksi. Intervensi : Monitor terhadap tanda – tanda infeksi. Pertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan Cegahpuhan, gerakan involunter, kelemahan, hipotonia 2. Sirkulasi ; Riwayat endokarditis, abses otak, TD ↑, nadi ↓, tekanan nadi berat, takikardi dan disritmia pada fase akut 3. Eliminasi : Adanya inkontinensia atau retensi urin 4. Makanan / cairan : Anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa kering 5. Higiene : Tidak mampu merawat diri 6. Neurosensori ; Sakit kepala, parsetesia, kehilangan sensasi, “Hiperalgesia”meningkatnya rasa nyeri, kejang, gangguan oenglihatan, diplopia, fotofobia, ketulian, halusinasi penciuman, kehilangan memori, sulit mengambil keputusan, afasia, pupil anisokor, , hemiparese, hemiplegia, tanda”Brudzinski”positif, rigiditas nukal, refleks babinski posistif, refkleks abdominal menurun, refleks kremasterik hilang pada laki-laki 7. Neyri / kenyamanan : Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler, fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh 8. Pernafasan : Riwayat infeksi sinus atau paru, nafas ↑, letargi dan gelisah 9. Keamanan : Riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis, abdomen atau kulit, pungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel sabit, imunisasi yang baru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks. Demam, diaforesios, menggigil, rash, gangguan sensasi. 10. Penyuluhan / pembelajaran : Riwayat hipersensitif terhadap obat, penyakit kronis, diabetes mellitus VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG Lumbal Pungsi Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK. Meningitis bacterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri. Meningitis Virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein normal, kultur biasanya negative Glukosa & LDH : meningkat LED/ESRD : meningkat CT Scan/MRI : melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik Rontgent kepala : mengindikasikan infeksi intrakranial VII. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN 1. Resiko tinggi penyebaran infeksi 2. Resiko tinggi gangguan perfusi serebral 3. Resiko tinggi trauma 4. Nyeri 5. Gangguan mobilitas fisik 6. Gangguan persepsi sensori 7. Cemas 8. Kurang pengetahuan mengenai penyebab infeksi dan pengobatan VIII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN ( ada pada lampiran) RINGKASAN TUTORIAL DISKUSI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS Nama : NPM : 1302220712 Kelompok : II Tutor : Ibu Tuti Herawati, SKp. Klasifikasi Meningitis : • Purulenta & Serosa Purulenta : penyebabnya adalah bakteri ( misalnya : Pneumococcus, Meningococcus ), menghasilkan exudat. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan dalam menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan exudat. Serosa : penyebabya seperti mycobacterium tuberculosa & virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi penghancuran, hasilnya adalah cairan serous • Aseptik & Septik Aseptik : Bila pada hasil kultur CSF pada pemeriksaan lumbal pungsi, hasilnya negative, misalkan penyebabnya adalah virus. Septik : Bila pada hasil kultur CSF pada pemeriksaan kultur lumbal pungsi hasilnya positif , misalkan penyebabnya adalah bakteri pneumococcus. Faktor resiko terjadinya meningitis : 1. Infeksi sistemik Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC, perikarditis, dll. 2. Trauma kepala Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang memungkinkan terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan rhinorhea 3. Kelaianan anatomis Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah, operasi cranium Terjadinya pe ↑ TIK pada meningitis, mekanismenya adalah sebagai berikut : Agen penyebab → reaksi local pada meninges → inflamasi meninges → pe ↑ permiabilitas kapiler → kebocoran cairan dari intravaskuler ke interstisial → pe ↑ volume cairan interstisial → edema → Postulat Kellie Monroe, kompensasi tidak adekuat → pe ↑ TIK Pada meningitis jarang ditemukan kejang, kecuali jika infeksi sudah menyebar ke jaringan otak, dimana kejang ini terjadi bila ada kerusakan pada korteks serebri pada bagian premotor. Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan fleksi pada kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi meningeal khususnya pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi otot bagian belakang leher, sehingga akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas. Sedangan pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah. Hidrosefalus pada meningitis terjadi karena mekanisme sebagai berikut : Inflamasi local → scar tissue di daerah arahnoid ( vili ) → gangguan absorbsi CSF → akumulasi CSF di dalam otak → hodosefalus Perbedaan Ensefalitis dengan meningitis : Ensefalitis Meningitis Kejang Kaku kuduk Kesadaran ↓ Kesadaran relative masih baik Demam ↓ Demam ↑ Bila gejala yang muncul campuran kemungkinan mengalami Meningo-ensefalitis. Penatalaksanaan medis meningitis : 1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab 2. Steroid untuk mengatasi inflamasi 3. Antipiretik untuk mengatasi demam 4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang 5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan 6. Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt ( Ventrikel Periton

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN EPILEPSI

BAB I PENDAHULAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya kurikulum yang ada di Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Mataram. Dengan kurikulum baru ini mahasiswa dituntut untuk lebih aktif dalam setiap perkuliahan, khususnya pada mata kuliah “KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR II”. Oleh karena itu, program SCL (Student Center Learning) merupakan program yang sangat membangun mahasiswa untuk lebih aktif dalam proses perkuliahan. Salah satu penyakit gangguan system persarafan sehubungan dengan konduksi antara lain adalah “Epilepsi”. Epilepsi sudah dikenal sejak zaman dahulu. Yang selama berabad-abad telah dikelilingi oleh mitos-mitos, ketakutan dan kebingungan sampai tahun 400 SM Hipocrates dalam bukunya “On the Secred Disease” manyatakan bahwa epilepsy disebabkan oleh adanya perubahan di dalam bukan oleh hal-hal yang supernatural. Di Indonesia epilepsi lebih dikenal dengan nama-nama seperti : sawan, ayan atau gila babi dan hingga saat ini masih banyak yang menghubungkannya dengan hal gaib dan berusaha menyembuhkannya dengan cara-cara mistik. Karena pengertian yang salah mengenai epilepsi di masyarakat menyebabkan penatalaksanaan epilepsibelum mencapai optimal.penderita sering tidak dibawa berobat tapi malahan disembinyikan karena dianggap sakit jiwa, membawa sial dan merupakan aib bagi keluarga. Epilepsy merupakan suatu masalah neurologis yang relative sering terjadi dan epilepsy dapat menyerang semua kelompok usia, juga segala jenis bangsa dan keturunan di seluruh dunia. Lebih kurang70% dapat terjadi sebelum usia 20 tahun dan lebih sering terjadi pada masa kanak-kanak. Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian epilepsi, etiologi dan klasifikasi, patofisiologi, penatalaksanaan, pemeriksaan diagnostik, dan proses keperawatan pada klien epilepsi. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, kami memperoleh rumusan masalah : 1. Apa pengertian epilepsi ? 2. Apa penyebab dan patofisiologi dari epilepsi? 3. Bagaimana penatalaksanaan pada epilepsi ? 4. Bagaimana proses keperawatan epilepsi? 1.3 Tujuan Umum : Untuk menambah pengetahuan lebih jauh tentang epilepsi. Khusus : Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami dan menjelaskan : 1. Pengertian epilepsi 2. Etiologi dan patofisiologi epilepsi. 3. penatalaksanaan epilepsi. 4. Proses keperawatan pada epilepsi 1.4 Manfaat Manfaat dari tersusunnya makalah ini adalah sebagai pengetahuan dasar bagi kami maupun pembaca untuk dapat mengetahui lebih banyak mengenai Epilepsi sehingga dapat menambah pengetahuan dan membantu dalam proses keperawatan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Kejang (konvulsi) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, dan/atau gangguan fenomena sensori. Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori. Fase dari aktivitas kejang adalah : 1. Fase prodromal meliputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungin mengawali kejang beberapa jam/beberapa hari. 2. Fase aura adalah awal dari munculnya aktivitas kejang dan mungkin berupa gangguan penglihatan, pendengaran,atau rasa raba. 3. Fase iktal merupakan fase dari aktivitas kejang, yang biasanya terjadi gangguan muskuluskletal. 4. Fase posiktal adalah periode waktu dari kekacauan mental/samnolen/peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut. Ada dua golongan utama epilepsy yaitu : 1. Epilepsi parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi sederhana, anya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut dapat tersentak tak terkontrol, invidu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, mengalami sinar, bunyi ban, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman. Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berfikir, invidu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau pekat rangsangan. Focus epileptic pada jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan umum ( motorik utama ) 2. Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedu sisi tubuh bereksi. Mungkin ada kekakuan pada seluruh tubuh yng diikuti dngan kejang yang bergantian dengan kejang dengan relaksasi dan kontraksi otot ( kontraksi tonik-klonik umum ). Epilepsy tonik-klonik merupakan serangan epilepsi yang klasik, serangan epilepsy ini ditandai oleh adanya aura diikuti oleh hilangnya kesadaran dan kejang tonk-klonik. Aura merupakan suatu indikasi sensorik yang menyatakan akan datangnya serangan epilepsi. Aura ini dapat berupa suatu sensasi penglihatan, pendengaran, penciuman yang hanya berlangsung selama beberapa saat. 2.2 Etiologi Penyebab pasti dari epilepsi masih belum diketahui (idiopayik) dan masih menjadi banyak spekulasi.predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsy meliputi : • Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala. • Riwayat ibu dari ibu yang menggunkan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan. • Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi). • Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan {mumps},epilepsy bakteri). • Adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan). • Riwayat gangguan sirkulasi serebral. • Riwayat demam tinggi. • Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi. • Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol. • Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan. • Riwayat keturunan epilepsi. 2.3 Patofisiologi Gejala-gejala serangan epilepsy sebagian timbul sesudah otak mangalami gangguan, sedangakan beratnya serangan tergantung dari lokasi dan keadaan patologi. Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsy dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajad dan lokasi dari lesi. Lesi pada otak tengah, talamus dan korteks serebri kemungkinan bersifat epileptogenik. sedangkan lesi pada sereblum dan batang otak biasanya tidak mengakibatkan serangan epilepsy (Brunner, 2003). Bangkitan epilepsi yang terjadi karena adanya lepas muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neuron di susunan saraf pusat yangdapat tetap terlokalisir pada kelompok neuron tersebut atau meluas keseluruh hemisfer dan batang otak. Lepas muatan listrik yang abnormal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara proses eksistasi dan inhibisi pada interaksi neuron. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada sel neuronnya sendiri maupun transmisi sinaptik. Pada tingkatan membrane sel, neuron epileptic ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah : 1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel mudah diaktifkan. 2. Neuron hipersesnsitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang dan terangsang secara berturut-turut. 3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan,hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi) karena terjadi perbedaan potensial listrik lapisan intrasel dan ekstrasel rata-rata 70 mvolt, dimana intraseluler relative lebih rendah. 4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu terjadi serangan keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami berubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan membrane neuron mengalami depolarisasi. Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kea rah epilepsy. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini membarikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlabihan, hilangnya tonus otot, serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala. Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptic adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini. Pola awal kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal. Juga penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda sebalum kejang epileptic yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat kilatan sinar dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipital). Pathway : 2.4 Manifestasi Klinis • Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan • Kelainan gambaran EEG • Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen • Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) 2.5 Penatalaksanaan Penatalaksanaan epilepsy dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien dan tidak hanya untuk mengatasi tetapi juga mencegah kejang. Penatalaksanaan berbeda dari satu klien dengan klien lainnya karena beberapa bentuk epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan bergantung pada perubahan kimia otak. • Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang • Farmakoterapi Anti kovulsion untuk mengontrol kejang • Pembedahan Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler • Jenis obat yang sering digunakan : 1. Phenobarbital (luminal). Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah. 2. Primidone (mysolin) Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid. 3. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).  Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.  Tak berhasiat terhadap petit mal.  Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah. 4. Carbamazine (tegretol)  Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyai efek psikotropik.  Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku.  Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguanfungsi hati. 5. Diazepam  Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).  Pemberian I.M. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan I.V. atau intra rektal. 6. Nitrazepam (Inogadon)  Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus. 7. Ethosuximide (zarontine)  Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal 8. Na-valproat (dopakene)  Obat pilihan kedua pada petit mal  Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.  Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.  Efek samping mual, muntah, anorexia 9. Acetazolamide (diamox).  Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.  Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi. 10. ACTH  Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil. 2.6 Proses Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian keperawatan epilepsi atau status epileptikus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak family center, tumbuh kembang, dan dampak hospitalisasi). a. Anamnesis 1) Bio data : nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, agama, serta data keluarga. 2) Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang dan penurunan tingkat kesadaran. 3) Riwayat penyakit saat ini Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien. Di sini harus ditnya dengan jelas tentang gejala yang timbul sepeti kapan mulai serangan, stimulus yang sering menyebabkan respons kejang, dan seberapa jauh akibat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien. Tanyakan factor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsy. Apakah sebalumnya pernah mengalami trauma kepala dan infeksi serta ke mana saja klien sudah meminta pertolongan setelah mengalami keluhan. Penting ditanyakan tentang pemakaian obat-obat sebelumnya seperti pamakaian obat-obatan antikonvulsan, obat antipiretik,dan sebagainya. 4) Riwayat penyakit dahulu Penting ditanyakan riwayat antenatal, intranatal, pascanatal dari kelahiran klien, karena hal ini sangat mendukung predisposisi dari adanya keluhan kejang saat ini. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penurunan kesadaran. 1) B1 (Breathing) Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai adanya gangguan pada system pernapasan. 2) B2 (Blood) Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok. 3) B3 (Brain) Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya. a) Tingkat kesadaran Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan resposn terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. b) Fungsi serebral Status mental : observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsy tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi. c) Pemeriksaan saraf cranial Saraf I. Biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan pada fungsi penciuman. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh mangalami fotofobia (sensitive yang berlebihan terhadap cahaya). Saraf V. Pada klien epilepsy umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada kelainan. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif, dan tuli persepsi. Saraf IX dan X. Kemampuan menalan baik. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan travezius. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal. d) System motorik Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada epilepsy tahap lanjut mengalami perubahan. e) Pemeriksaan refleks Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periostenum derajad reflex pada respons normal. f) Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia.pada keadaan tertentuklien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan epilepsy disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan epilepsi. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. g) System sensorik Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan proprioseptif normal, dan perasaan diskrikinatif normal. Peka rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsy. Pascakejang sering dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut. 4) B4 (Bladder) Pemeriksaan pada system kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. 5) B5 (Bowel) Mual sampai muntah dihubingkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang. 6) B6 (Bone) Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri. c. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostic bertujuan dalam menentukan tipe kejang, frekuensi dan beratnya, serta factor-faktor pencetus. Riwayat perkembangan yang mencakup kejadian kehamilan dan kelahiran, untuk mencari kejadian cedera sebelum kejang. Sebuah penelitian dibuat untuk penyakit atau cedera kepala yang dapat memengaruhi otak. Selain itu dilakukan pangkajian fisik dan neurologi, hematologi, serta pemeriksaan serologi. - Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang. - Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang. - Ureum/kreatin : Meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksin yang berhubungan dengan pengobatan. - Sel Darah Merah (SDM) : Anema aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat. - Kadar obat pada serum : Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik. - Pungsi lumbal (PL) : Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut. - Foto ronsen kapala : Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur. - Elektoensefalogram (EEG) : Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak. Gelonbang otak untuk menentukan karakteristik dari gelombang pada mesing-masing tipe dari aktivitas kejang tersebut. - Skan CT : Mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral, trauma, abses, tumor, dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras. 2. Diagnosa dan Intervensi keperawatan : a. Nyeri akut berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pascakejang (postikal). Tujuan : dalam waktu 1x 24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit teradaptasi(terkontrol). Kriteria hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dan klien menyatakan rasa sakit berkurang. Intervensi keperawatan : - Lakukan manajemen nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi napas dalam. R: Membantu menurunkan (memutuskan) stimulus sensasi rasa nyeri. - Berikan lingkungan yang aman dan tenang. R: Menurunkna reaksi terhadap rangsangan eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya dan menganjurkan klien untuk beristirahat. - Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati. R: Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak nyaman. - Kolaborasi dalam pemberian analgesic. R: Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. b. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, penurunan tingkat kesadaran. Tujuan : dalam waktu 1x 24jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran. Kriteria hasil : klien dan kluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur unutk menurunkan intensitas kejang. Intervensi keperawatan : - Kaji tingkat pengeyahuan pasien dan keluarga cara penanganan saat kejang. R: Data dasar untuk intervensi selanjutnya. - Ajarkan klien dan keluarga metode pengontrol demam. R: Orang tua dan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres hangat, obat anti piretik). - Anjurkan kontroling pascacedera kepala. R: Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang member keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengambangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala. - Anjurkan keluarga klien agar mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien. R: Melindungi klien bila kejang terjadi. - Anjurkan untuk menghindari rangsang cahaya yang berlabihan. R: kien sering mengalmi peka rangsang terhadap cahaya yang sangat silau. Beberapa klien perlu menghindari stimulasi fotik (cahaya menyilaukan yang kelap-kelip, menonton televisi). Dengan menggunakan kacamata hitam atau menutup salah satu mata dapat membantu mengontorl masalah ini. - Anjurkan mempertahankan bedrest total selama fase akut. R: mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi. - Kolaborasi pemberian terapi fenition (dilantin). R: terapi medikasi unutk mengontrol menurunkan respons kejang berulang c. Ketakutan berhubungan dengan kejang berulang. Tujuan : dalam waktu 2 x 24jam setelah intervensi ketakutan klien hilang atau berkurang. Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, dan menyatakan ketakutan berkurang/hilang. Intervensi keperawatan : - Bantu klien mengekspresikan perasaan takut. R: ketakutan berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik. - Lakukan kerja sama dengan keluarga. R: kerja sama klien dan keuarga sepenuhnya penting. Mereka harus yakin terhadap manfaat program yang ditetapkan. - Hindari konfrontasi. R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan. - Ajarkan kontrol kejang. R: Kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerja sama klien. Gaya hidup dan lingkungan dikaji untuk mengidentifikasi factor-faktor yang dapat mencetus kejang; gangguan emosi, stressor lingkungan baru. - Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak bau. - Kurangi stimulus ketagangan. R: keadaan tegang (ansietas, frustasi) mengakibatkan kejang pada beberapa klien. Pengkalsifikasian penatalaksanaan stress akan bermanfaat. - Tingkatkan kontrol sensasi klien. R: Kontrol sensasi klien (dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif. - Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. R: orientasi dapat menurunkan kecemasan. - Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya. R: dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan. - Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. R: memberikan waktu unutk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya kelurga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (mambaca) akan menurunkan perasaan terisolir. d. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat apilepsi. Tujuan : dalam waktu 1 x 24jam setelah intervensi harga diri klien meningkat. Kriteria hasil : klien mampu menyatakan tau mengkomunikasikan denga orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif. Intervensi keperawatan : - Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajad ketidakmampuan. R: Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi. - Identifikasi dari kehilangan atau disfungsi pada klien. R: Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara aktif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan, mengenal, dan mengatur kekurangan. - Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan termasuk hostility dan kemarahan. R: Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenal dan memulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut. - Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan. R: Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan. - Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi. R: Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang. - Monitor gangguan tidur meningkatan kesulitan konsentrasi, letargi. R: Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke di mana memerlukan intervensi dan evaluasi lebih lanjut. - Kolaborasi : rujuk pada ahli neuropsikologi dan konselinng bila ada indikasi. R: Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan. e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif/ kurang mengingat. Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah dilakukan intervensi klien dan keluarga mengerti dan memahami kondisi dan kebutuhan pengobatan. Kriteria hasil: klien dan keluarga dapat mengetahui kondisi dan kebutuhan pengobatan. Intervensi keperawatan : - Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarga. R: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual. - Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses penyakit dan pengaruh sesudahnya. R: membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya. - Berikan kembali penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang. Identifikasi program yang kontinu setelah proses penyembuhan. R: aktivitas, pembatasan, pengobatan/kebutuhan terapi yang direkomendasikan diberikan/disusun atas dasar pendekatan antardisiplin dan evaluasi sangat penting untuk perkembangan pemulihan/pencegahan terhadap penyakit. - Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. R: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual. - Berikan instruksi daam bentu tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan, dan factor-faktor penting lainnya. R: memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh. BAB III PENUTUP 2.1 Kesimpulan Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori. Penyebab pasti dari epilepsi masih belum diketahui (idiopayik) dan masih menjadi banyak spekulasi.predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsy meliputi : • Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala. • Riwayat ibu dari ibu yang menggunkan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan. • Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi). • Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan {mumps},epilepsy bakteri). • Adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan). • Riwayat gangguan sirkulasi serebral. • Riwayat demam tinggi. • Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi. • Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol. • Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan. • Riwayat keturunan epilepsi. Manifestasi klinik dari epilepsy dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan, kelainan gambaran EEG tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen, dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya). 2.2 Saran Bagi ibu yang anaknya penderita kejang-kejang, segera bawa anak ibu ke RS untuk segera diperiksa oleh tim medis, sehingga anak ibu dapat diberikan terapi oleh tim medis dalam mengatasi kejang-kejangnya. Bagi penderita epilepsy jangan takut, karena epilepsy merupakan sebuah penyakit melainkan sebuah manifestasi. Daftar Pustaka Brunner & Suddarth. Buku saku keperawatan medikal bedah. 2000. EGC. Jakarta Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta. Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan.Jakarta: Salemba Medika www.google.com/asuhan keperawatan epilepsi. Hidayat2’s Blog.2009 www.goole.com/asuhan keperawatan epilepsi. Nersunhas’s Blog.2008

ASKEP MULTIPLE SKLEROSIS

ASKEP MULTIPLE SKLEROSIS A. DEFINISI Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis. Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adl. Substansi putih yang menutupi serabut saraf yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory). MS merupakan salah satu gangguan neurologik yang menyerang usia muda sekitar 18-40 tahun. Insidens terbanyak terjadi pada wanita. B. ETIOLOGI Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991). Ada juga yang mengaitkan dengan factor genetic. Ada beberapa factor pencetus, antara lain : • Kehamilan • Infeksi yang disertai demam • Stress emosional • Cedera C. MANIFESTASI KLINIS Tergantung pada area system saraf pusat mana yang terjadi demielinasi :  Gejala sensorik : paralise ekstremitas dan wajah, parestesia, hilang sensasi sendi dan proprioseptif, hilang rasa posisi, bentuk, tekstur dan rasa getar.  Gejala motorik : kelemahan ekstremitas bawah, hilang koordinasi, tremor intensional ekstremitas atas, ataxia ekstremitas bawah, gaya jalan goyah dan spatis, kelemahan otot bicara dan facial palsy.  Deficit cerebral : emosi labil, fungsi intelektual memburuk, mudah tersinggung, kurang perhatian, depresi, sulit membuat keputusan, bingung dan disorientasi.  Gejala pada medulla oblongata : kemampuan bicara melemah, pusing, tinnitus, diplopia, disphagia, hilang pendengaran dan gagal nafas.  Deficit cerebellar : hilang keseimbangan, koordinasi, getar, dismetria.  Traktus kortikospinalis : gangguan sfingter timbul keraguan, frekuensi dan urgensi sehingga kapasitas spastic vesica urinaria berkurang, retensi akut dan inkontinensia.  Control penghubung korteks dengan basal ganglia : euphoria, daya ingat hilang, demensia.  Traktus pyramidal dari medulla spinalis : kelemahan spastic dan kehilangan refleks abdomen. D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK  Lumbal punction : pemeriksaan elektroforesis terhadap LCS, didapatkan ikatan oligoklonal yakni terdapat beberapa pita immunoglobulin gamma G (IgG).  CT Scan : gambaran atrofi serebral  MRI : menunjukkan adanya plak-plak kecil dan bisa digunakan mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek dari pengobatan.  Urodinamik : jika terjadi gangguan urinarius.  Neuropsikologik : jika mengalami kerusakan kognitif. E. PENATALAKSANAAN  Bersifat simtomatik : sesuai dengan gejala yang muncul.  Farmakoterapi : a. Kortikosteroid, ACTH, prednisone sebagai anti inflamasi dan dapat meningkatkan konduksi saraf. b. Imunosupresan : siklofosfamid (Cytoxan), imuran, interferon, Azatioprin, betaseron. c. Baklofen sebagai antispasmodic  Blok saraf dan pembedahan dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur untuk mencegah kerusakan lenih lanjut.  Terapi fisik untuk mempertahankan tonus dan kekuatan otot. F. PENGKAJIAN 1. DATA UMUM 2. DATA DASAR :  Aktivitas / istirahat Gejala : kelemahan, intoleransi aktivitas, kebas, parastesia eksterna Tanda : kelemahan umum, penurunan tonus/massa otot, jalan goyah/diseret, ataksia  Sirkulasi Gejala : edema Tanda : ekstremitas mengecil, tidak aktif, kapiler rapuh  Integritas ego Gejala : HDR, ansietas, putus asa, tidak berdaya, produktivitas menurun  Eliminasi Gejala : nokturia, retensi, inkontinensia, konstipasi, infeksi saluran kemih Tanda : control sfingter hilang, kerusakan ginjal  Makanan / cairan Gejala : sulit mengunyah/menelan Tanda : sulit makan sendiri  Hygiene Gejala : bantuan personal hygiene Tanda : kurang perawatan diri  Nyeri / ketidaknyamanan Gejala : nyeri spasme, neuralgia fasial  Keamanan Gejala : riwayat jatuh/trauma, penggunaan alat bantu  Seksualitas Gejala : impotent, gangguan fungsi seksual  Interaksi social Gejala : menarik diri Tanda : gangguan bicara  Neurosensori Gejala : kelemahan, paralysis otot, kebas, kesemutan, diplopia, pandangan kabur, memori hilang, susah berkomunikasi, kejang Tanda : status mental (euphoria, depresi, apatis, peka, disorientasi. Bicara terbata-bata, kebutaan pada satu mata, gangguan sensasi sentuh/nyeri, nistagmus, diplopia Kemampuan motorik hilang, spastic paresis, ataksia, tremor, hiperfleksia, babinski + , klonus pada lutut G. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Dx. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan, paresis otot, spastisitas KH:  berpartisipasi dalam program rehabilitasi  mendemonstrasikan tingkah laku yang mempertahankan /meningkatkan aktivitas Intervensi :  tentukan tingkat kemampuan aktivitas klien.  Kaji adanya kelemahan.  Berikan perubahan posisi secara teratur pada pasien yang tirah baring.  Bantu pemenuhan kebutuhan dasar klien sesuai dengan kebutuhan.  Kolaborasi : terapi fisik/kerja oleh ahli fisioterapi, pengobatan (steroid, baklofen, imunosupresan). 2. Perubahan pola eliminasi urinarius : inkontinensia b.d gangguan neuromuskuler KH :  Klien mampu memahami kondisinya.  Klien menunjukkan teknik mencegah infeksi. Intervensi :  Catat frekuensi berkemih  Lakukan program latihan kandung kemih  Anjirkan minum cukup dan menghindari minum sebelum tidur  Lakukan dan anjurkan klien untuk melakukan perineal hygiene setelah berkemih  Berikan perawatan kateter pada klien yang terpasang kateter urin  Kolaborasi : pasang kateter jika diperlukan, pengobatan (antibiotic) 3. Koping individu tidak efektif b.d perubahan fisiologis, cemas dan takut KH :  klien bisa menerima keadaannya Intervensi :  Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya  Kaji mekanisme koping yang biasa digunakan  Dengarkan keluhan klien dengan empatik  Bantu klien mengidentifikasi sisi positif yang dimiliki klien  Berikan imformasi ytang dibutuhkan klien  Kolaborasi : konsulkan ke ahli psikoterapi

ASKEP GBS

ASKEP GBS Definisi Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik. Etiologi Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena : a. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya b. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie) c. Vaksin : rabies, swine flu d. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni e. Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya. Insiden GBS tersebar diseluruh dunia terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki – laki daripada perempuan. Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi . Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain. Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu : 1. Guillain barre syndrome (GBS) Fase progresif sampai 4 minggu 2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP) - Fase progresif dari 4-8 minggu - Gejala klinis : a. Terutama motorik b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas - Neurofisiologi : demyelinisasi - Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag 3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP) - Fase progresif > 12 minggu - Dibagi dalam 2 bentuk a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1) b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance) Patofisiologi Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. Komplikasi 1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic 2. Tetraparese oleh karena penyebab lain 3. Hipokalemia 4. Miastenia Gravis 5. adhoc commite of GBS 6. Tick Paralysis 7. Kelumpuhan otot pernafasan 8. Dekubitus Penatalaksanaan 1. Perawatan umum  Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)  Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian  Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status  Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan  Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit. 2. Pemeriksaan Fisik  B1 (Breathing) Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.  B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.  B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.  B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.  B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.  B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi. 3. Diagnosa keperawatan 1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas 3. Ketidakefektifan pola nafas 4. Ggn komunikasi verbal 5. Resiko tinggi terjadi infeksi 6. Resiko terjadi trauma 7. Resiko terjadi disuse syndrome 8. Kecemasan pada orang tua 4. Rencana keperawatan Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi Tindakan: - Lakukan perawatan EET setiap 2 jam - Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction - Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 % - Monitor status hidrasi - Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan - Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru Tujuan : Setelah dirawat - BGA dalam batas normal - Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+ - Cyanosis (-), SpO2 > 95 % Tindakan: - Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam - Monitor SpO2 setiap jam - Monitor respirasi dan cyanosis - Kolaborasi : • Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2 • Analisa hasil BGA Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus Tujuan : setelah dirawat diharapkan - Tanda-tanda infeksi (-) • leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), • Suhu tubuh 36,5-37 oC • Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-) Tindakan - Rawat ETT setiap hari -Lakukan prinsip steril pada saat suction - Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari - Ganti kateter setiap 72 jam - Kolaborasi : • Pengggantian ETT dengan Tracheostomi • Penggantian insersi surflo dengan vanocath • Pemeriksaan leuko • Pemeriksaan albumin • Lab UL • Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS Tujuan : Setelah dirawat -Kontraktur (-) - Nutrisi terpenuhi - Bab dan bak terbantu - Personal hygiene baik Tindakan: - Bantu Bab dab Bak - Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setiap 24 jam - Mandikan klien setiap hari - Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam - Berikan latihan pasif 2 kali sehari - Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik - Monitor status neurologi setiap 8 jam - Kolaborasi: • Alinamin F 3 X 1 ampul • Sonde pediasuer 6 X 50 cc • Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama Tujuan : - Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan Tindakan : - He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya. - He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath - Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas

ASUHAN KEPERAWATAN Alzheimer

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak koordinasi dan reflek. Pada autopsy tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetris, dan secara mikroskopis tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary. Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurology karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukan munculnya penyakit degeneratife otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi yang merupakan penyebab utama demensia. Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi demensia menurut unit Neurobehavior pada boston veterans Administration Medikal Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi. Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzeimer (50-60) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita Alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemic seperti di Amerika dengan insiden demensia 187 populisi /100.000/tahun dan penderita alzeimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima. B. Tujuan 1. Tujuan Umum • Mengetahui Apa Itu Alzheimer ? 2. Tujuan Khusus • Mengetahui Pengertian Alzheimer ? • Mengetahui Etiologi Alzheimer ? BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. DEFENISI Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguan degenarif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah. II. ETIOLOGI Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika. III. MANIFESTASI KLINIS Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun) Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung,mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidaj setia lagi/selingkuh. b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun) Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi, Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi, Mengalami gangguan tidur, Keluyuran, Kesulitan mengenali keluarga dan teman(pertama-tama yang akan sulit untuk dikenali adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama, hingga tidak mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-orang yang cukup jarang ditemui). c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)  Sulit / kehilangan kemampuan berbicara.  Kehilangan napsu makan, menurunya berat badan.  Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh.  Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk IV. PATOGENESIS 1. Faktor Genetik Beberapa penelitian mengungkapkan 50 prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita Alzheimer mempunyai resiko menderita dimension 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok control normal pemeriksaan genetika DNA pada penderitaan Alzheimer dengan familial earli onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21, diregio proksimal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down sindrom mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plague dan penurunan market kolinegik pada jaringan otaknya yang mengambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer .Hasil penelitian penyakit Alzheimer terdapat anak kembar menunjukan 40-50 adalah monozygote dan 50 adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetic berperan dalam penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukan bahwa kemungkunan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer. 2. Faktor infeksi Ada hipotesa menunjukan penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer yang dilakukan secara immune blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibody reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti creutzfeldt-jacub dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain : a) Manifestasi klinik yang sama b) Tidak adanya respon imun yang spesifik c) Adanyan plak amyloid pada susunan saraf pusat d) Timbulnya gejala mioklonus e) Adanya gambaran spongioform 3. Faktor lingkungan Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrilary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaannya aluminium adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron. 4. Faktor imunologis Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alphan protein, anti typsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzhaimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas. 5. Faktor trauma Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan pemyakit Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungan dengan petinju yang menderita demensia pugilistic, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles. 6. Faktor neurotransmitter Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti : a) Asetikolin Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya deficit presinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporalis superior, nucleus basalis, hipokampus. Kelainan neurotransmitter asetilkolin merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer. b) Noradrenalin Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal noradrenergik. Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer. c) Dopamine Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda. d) Serotonin Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis e) MAO (manoamin oksidase) Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter monoamine. Akivitas normal MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan sebagian kecil dopamine, sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine. Pada penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan frontalis sedangakan MAO-B pada daerah temporal dan menurun pada nucleus basalis dari meynert. V. Pemeriksaan Penunjang 1.Neuropatologi Diagnosa definitive tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).Beverapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, system somatosensorik tetap utuh (jerins 1937) kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit Alzheimer terdiri dari : a. Neurofibrillary tangles (NFT) Merupakan sitoplasma neuronal yang terbentuk dari filament-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit Alzheimer, juga ditemukan pada otak manula,down sindromeparkinson, SSPE, sindroma ekstrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia. b. Senile plague (SP) Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filament-filamen abnormal, serat amiloid ekstraseluler, astrosit, microglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada neokorteks, amygdale, hipokampus, korteks somatosensorik, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual dan auditorik. Senile plague ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas senile plague berhubungan dengan penurunan kolinergi. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plague) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit Alzheimer. c. Degenerasi neuron Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit Alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron pyramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nucleus batang otak termasuk lokus seruleus, raphe nucleus dan substanasia nigra. Kematian sel noradrenergic terutama pada nucleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergic terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimen binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit Alzheimer. d. Perubahan vakuoler Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nucleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdale dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak. e. Lewy body Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada anterhinal, gyrus cingulated, korteks insula, dan amydala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipitalis. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit Parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variasi dari penyakit Alzheimer. 2. Pemeriksaan neuropsikologis Penyakit Alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungis konginitif umum dan mengetahui secara rinci pola deficit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostic yang penting karena :  Adanya deficit konginitif yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.  Pemeriksaan neuropsikologi secara kompherensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kongnitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolic, dan gangguan psikiatrik.  Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis denagn mempergunakan alat baterai yang bermanifestasi gangguan fungsi kongnitif, dimana pemeriksaan terdiri dari : 1.Verbal fluency animal category 2.Modifikasi boston naming test 3.Mini mental state 4.Word list recall 5.Construction praxis 6.Word list memory 7.Word list recognition Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control. 3. CT Scan dan MRI Merupakan metode non invasif yang berevolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran vertikel keduannya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan denagn penyakit Alzheimer. Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran vertikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (capping anterior home pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan dikortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissure sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitive untuk membedakan demensia dari penyakit Alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan usuran (atropi) dari hipokampus. 4. EEG Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit Alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik. 5.PET (Positron Emission Tomography) Pada penderita Alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisme 02, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi. 6.SPECT (Single Photon Emission Computet Tomography) Aktivitas I.123 terendah pada refio parieral penderita Alzheimer. Kelainan ini berkorelasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin. 7.Laboratorium darah Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita Alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calcium, Posfort, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, screening antibody yang dilakukan secara selektif. VI.Kriteria Diagnosis Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosis klinis penyakit alzhemer yaitu : 1.Kriteria diagnosis tersangka penyakit Alzheimer terdiri dari :  Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik.  Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2  Tidak ada gangguan tingkat kesadaran  Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering > 65 tahun  Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya 2. Diagnosis tersangka penyakit Alzheimer ditunjang oleh :  Perburukan (gangguan berbahasa)  ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku  Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi  Pada gambaran EEG memberiakan gambaran normal atau perubahan non spesifik seperti peningkatan aktivitas gelomabang lambat  Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri 3.Gambaran lain tersangka diagnosis penyakit Alzheimer setelah dikeluarkan penyebab demensia lainnya terdiri dari :  Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat badan menurun  Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot,mioklonus atau gangguan berjalan  Terdapat bangkitan pada stadium lanjut 4.Gambaran diagnosis tersangka penyakit Alzheimer yang tidak jelas terdiri dari :  Awitan mendadak Diketemukan gejala neurologic fokal seperti hemiparase, hipestesia, defisit lapangan pandang dan gangguan koordinasi  Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan 5. Diagnosis klinis kemungkinan penyakit Alzheimer adalah :  Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologic lain, gejala psikiatrik atau kelainan sistemik yang menyebabkan demensia.  Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia, defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab lainnya. VII.PENATALAKSANAAN Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan. 1. Inhibitor kolinesterase Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada organ normal dan penderita Alzheimer . 2. Thiamin Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral, menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. 3. Nootropik Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000mg pada penderita Alzheimer tidak menunjukan perbaikan klinis yang bermakna. 4. Klonidin Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 mgg, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif. 5.Haloperiodol Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 mgg akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depressant (aminitryptiline25-100 mg/hari). 6.Acetyl L-Carnitine (ALC) Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif. BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN Adapun pengkalian yang dilakukan pada penyakit Alzheimer : 1. Aktifitas istirahat Gejala : merasa leleh Tanda : siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan Pola tidur Letargi dan gangguan keterampilan motorik. 2. Sirkulasi Gejala : Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik.hipertensi,episode emboli. 3. Integritas ego Gejala : curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi terhadap lingkungan, kehilangan multiple. Tanda : menyembunyikan ketidakmampuan, duduk dan menonton yang lain, aktivitas pertama mungkin menumpuk benda tidak bergerak dan emosi stabil. 4. Eliminasi Gejala : Dorongan berkemih Tanda : Inkontinensia urine/feaces 5. Makanan/cairan Gejala : Riwayat episode hipoglikemia, perubahan dalam pengecapan, nafsu makan, kehilangan berat badan. Tanda : kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak makan.dan tampak semakin kurus. 6. Higene Gejala : Perlu bantuan tergantung orang lain Tanda : kebiasaan personal yang kurang, lupa untuk pergi kekamar mandi dan kurangberminat pada waktu makan 7. Neurosensori Gejala : Peningkatan terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif, kehilangan sensasi propriosepsi dan adanya riwayat penyakit serebral vaskuler/sistemik serta aktifitas kejang. 8. Kenyamanan Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius, trauma kecelakaan Tanda : Ekimosis laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain. 9. Integritas social Gejala : Mersa kehilangan kekuatan Tanda : Kehilangan control social, perilaku tidak tepat. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Resiako terhadap trauma berhubungan dengan : a) Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan. b) Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan. c) Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang 2. Perubahan proses piker berhubungan dengan : a) Degenerasi neuron irreversible b) Kehilangan Memori c) Konflik psikologis d) Deprivasi tidur 3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan : a) Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori b) Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya 4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan : a) Perubahan pada sensori b) Tekanan psikologik c) Perubahan pada pola aktivitas 5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih dari kebutuhan berhubungan dengan : a) Perubahan sensori b) Kerusakan penilaian dan koordinasi c) Agitasi d) Mudah lupa, kemunduran hobi dan penyambunyian 6. perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan : a) kehilangan fungsi neurologis/tonus otot b) ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan c) Perubahan diet atau pemasukan makanan 7. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubung dengan : a) Kacau mental, pelupa dan disorientasi pada tempat atau orang b) Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control perilaku c) kurang keinginan /penolakan seksual oleh orang terdekat d) Kurang privasi 8. Koping keluarga tidak efektif berhubungen dengan : a) Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu b) Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yang dicintanya c) Hubungan keluarga sangat ambivalen. 3. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan : a. Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan b. Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan c. Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang Intervensi Rasionalisasi a) Kaji derajat gangguan kemampuan kompetensi munculnya tingkah laku yang impulsive dan penurunan persepsi visual. Bantu orang terdekat untuk mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul. Hilangkan/minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan b) Alihkan perhatian klien ketika prilaku teragitasi atau bahaya seperti keluar dari tempat tidur dengan memanjat pagar tempat tidur tersebut Penurunan persepsi visual meningkatkan resiko terjatuh. c) Mengidentifikasi resiko potensial di lingkungan dan mempertinggi kesadaran sehingga pemberi asuhan lebih sadar akan bahaya. Seorang dengan gangguan kognitif dan gangguan persepsi merupakan awal untuk mengalami trauma sebagai akibat ketidakmampuan untuk bertanggung jawab terhadap kemampuan keamanan yang dasar atau mengevaluasi keadaan tertentu. d) Mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang dapat meningkatkan prilaku/meningkatkan resiko terjadinya trauma 2. Perubahan proses piker berhubungan dengan : a. Degenerasi neuro irreversible b. Kehilangan Memori c. Konflik psikologis d. Deprivasi tiduran Intervensi Rasionalisasi a) Kaji tingkat gangguan kognitif seperti perubahan orientasiterhadap orang, tempat dan waktu, rentang, perhatian, kemampuan berpikir. Bicarakan dengan orang terdekat mengenai perubahan tingkah laku yang biasa /lamanya masalah yang telah ada b) Pertahankan lingkungan yang tenang menyenangkan c) Tatap wajah ketika berbicara dengan pasien d) Panggil pasien dengan namanya e) Gunakan suara yang agak rendah dan berbicara perlahan pada pasien 3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan : a. Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori b. Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Intervensi Rasionalisasi  Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi individu yang termasuk didalamnya adalah penurunan penglihatan/pendengaran.  Berikan sentuhan dalam cara perhatian, Karena keterlibatan otak biasanya global, yaitu dalam persentasi kecil mungkin memperlihatkan masalah yang bersifat asimetri yang menyebabkan pasien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuhnya Dapat meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri  Mengkomunikasikan kenyamanan melalui berbagai cara 4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan : a. Perubahan pada sensori b. Tekanan psikologik c. Perubahan pada pola aktivitas intervensi Rasionalisasi  Berikan kesempatan untuk istirahat/tidur sejenak, anjurkan latihan saat siang hari, turunkan aktivitas fisik/mental pada sore hari  Hindari penggunaan pengikatan secara terus menerus 5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih kebutuhan berhubungan dengan : a. Perubahan sensori b. Kerusakan penilaian dan koordinasi c. Agitasi d. Mudah lupa,kemunduran hobi dan penyembunyian Intervensi Rasional  Kaji pengetahuan pasien/orang terdekat mengenai  Tentukan jumlah latihan/langkah yang pasien lakukan  Usahakan untuk memberikan makanan kecil setiap kira-kira satu jam sesuai kebutuhan  Berikan waktu yang leluasa untuk makan 6.Perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan : a. Kehilangan fungsi neurologis/tonus otot b. Ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan c. Perubahan diet atau pemasukan makanan Intervensi Rasional  Kaji pola yang sebelumnya dan bandingkan dengan yang sekarang  Letakan tempat tidur dengan kamar mandi jika memungkinkan buatkan tanda tertentu dipintu berkode khusus. Berikan cahaya yang cukup tertentu malam hari Buat program latihan defikasi/kandung kemih.  Tingkatkan partisipasi pasien sesuai tingkat kemampuannya Anjurkan menu adekuat selama siang hari,diet tinggi serat dari sari buah. Batasi minum saat menjelang malam dan waktu tidur  Kolaborasi Berikan obat pelembab feces, metamacil,gliserin supositoria sesuai Memberikan informasi mengenai perubahan yang mungkin indikasi selanjutnya memerlukan pengkajian/intervensi  7.Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan : a. Kacau mental, pelupa dan disorintasi pada tempat atau orang b. Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control prilaku c. Kurang keinginan/penolakan seksual oleh orang terdekat d. Kurang privasi Intervensi Rasional  Kaji kebutuhan/ kemampuan pasien secara individu  Anjurkan pasangan untuk memperlihatkan penerimaan/perhatiannya  Berikan jaminan terhadap privasi  Gunakan distraksi sesuai dengan kebutuhan. Ingatkan pasien bahwa ini merupakan tempat umum(tempat masyarakat banyak) dan tingkah laku yang dilakukan sekarang tidak dapat diterima 8.Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan : a. Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu b. Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yang dicintainya c. Hubungan keluarga sangat ambivalen Intervensi Rasional  Libatkan semua orang terdekat dalam pendidikan dan perencanaan perawatan pasien dirumah  Buat prioritas Realitas dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan yang ada  Bicarakan semua kontinu kemampuan keluarga dalam merawat pasien dirumah  Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang menjadi keluhan kecemasannya  Diskusikan kemungkinan adanya isolasi. Berikan penguatan terhadap kebutuhan terhadap system dukungan  Kolaborasi Rujuk pada sumber-sumber penyokong setempat seperti perawatan lansia pada siang hari, pelayanan dirumah, berhubungan dengan asosiasi Dapat memudahkan beban terhadap penangganan dan adaptasi penyakit rumah Membantu membuat satu pesan tertentu dan memfasilitasi pemecahan masalah Evaluasi 1) Tidak mengalami trauma, keluarga mampu mengenali risiko potensial di lingkungan dan mengidentifikasikan tahap-tahap untuk memperbaikinya 2) Mampu mengenali perubahan dalam berpikir/tingkah laku dan faktor-faktor penyebab jika memungkinkan 3) Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkatkan/sesuai dengan stimulasi 4) Mendapatkan diet nutrisi yang seimbang dan mampu mempertahankan kembali berat badan yang sesuai 5) Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang 6) Mampu menciptakan pola eliminasi yang adekuat 7) Mampu mengidentifikasi/mengungkapkan dalam diri mereka sendiri untuk mengatasi keadaan 8) Memenuhi kebutuhan seksualitas dalam cara yang dapat diterima BAB IV A. kesimpulan Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguandegenarif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003 ). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah. Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik B. Saran Kita tahu otak merupakan organ yang sangat kompleks. Dimana di otak terdapat area-area yang mengatur fungsi tertentu. Untuk itu ada beberapa tips yang bisa diikuti bila ada anggota keluarga ada yang menderita penyakit alzheimer : Buat cacatan kecil, untuk membantu mengingat,Ciptakan suasana yang menyenangkan, Hindari memaksa pasien untuk mengingat sesuatu atau melakukan hal yang sulit karena akan membuat pasien cemas, Usahakan untuk berkomunikasi lebih sering, Buatlah lingkunganyang aman,Ajarkan pasien berjalan-jalan pada waktu siang hari,Bergaya hidup sehat,Mengkonsumsi sayur DAFTAR PUSTAKA http://www.indonesiaindonesia.com/f/9951-alzheimer/ http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=2002 Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta. Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT 15.EGC.Jakarta.