Saturday, July 30, 2011

Asuhan keperawatan TB PARU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2001).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff, 2005 : 73).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008 : 59).

2.1.2 Etiologi
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan. Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).

2.1.3 Patofisiologi
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri. Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002).









2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Jhon Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
2.1.4.1 Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun, keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif walau agak lambat. Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.
2.1.4.2 Dahak (sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen (kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
2.1.4.3 Batuk Darah
Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah sampai berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk. Penyebabnya adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus sehingga pecahnya pembuluh darah.


2.1.4.4 Sesak Napas
Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru. Merupakan proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.
2.1.4.5 Nyeri dada
Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan pada dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan tegangan otot pada saat batuk.
2.1.4.6 Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan oleh sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.
2.1.4.7 Demam dan Menggigil
Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi umum dari proses infeksi.
2.1.4.8 Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
2.1.4.9 Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
2.1.4.10 Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari
Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut.
2.1.5 Komplikasi
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
2.1.5.1 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
2.1.5.2 Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
2 1.5.3 Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
2.1.5.4 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang
2.1.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
2.1.6.1.1 Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit
2.1.6.1.2 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
2.1.6.1.3 Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
2.1.6.1.4 Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis.
2.1.6.1.5 Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
2.1.6.1.6 Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
2.1.6.1.7 Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru kronis luas).




2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologis
2.1.6.2.1 Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area fibrosa.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis (DepKes RI, 2002 : 37)
2.1.7.1 Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
2.1.7.1.1 Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.2 Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
2.1.7.1.3 Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.4 Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
2.1.7.1.5 Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
2.1.7.2 Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu:
2.1.7.2.1 Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis (OAT).
2.1.7.2.2 Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.7.3 Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis
2.1.7.3.1 Kategori 1 (211RZE/4113R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian teruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru TBC paru BTA positif
- Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif.
- Penderita TBC ekstra paru berat.
2.1.7.3.2 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)
Tahap intensif diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang diberikan 3 kali dalam seminggu.
Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan pengobatan setelah lalai.
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Dosis Per Hari / Kali Jumlah hari/kali
menelan
obat
Tablet Insoniasid
@ 300 mg Kaplet Rifampisin
@, 450 mg Tablet Pirasinamid
@ 500 mg Tablet Etambutol
@ 250 mg
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 1 3 3 60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu) 4 bulan 2 1 - - 54
Tabel 1 : Panduan OAT Kategori 1

Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Etambutol
Streptomisin injeksi Jumlah
hari/kali menelan obat
Tablet
@ 250 mg Tablet
@500 mg
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan
1 bulan
1
1
3 3
3
3 3
_ 0.75 gr
- 60
30
Tahap lanjutan
(dosis 3 x seminggu) 5 bulan
2 1 - 1 2 - 66
Tabel 2 : Panduan OAT Kategori 2
Tabel 3 : Panduan OAT Kategori 3
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Jumlah
hari/ kali
menelan
obat
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan
1

1
3
60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu) 4 bulan 2 1 - 54

Tabel 4 : Panduan OAT Sisipan
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Tablet
etambutol
@ 250 mg Jumlah
hari/ kali
menelan
obat
Tahap intensif
(dosis harian) 2 bulan 1 1 3 3 30

2.1.7.3.3 Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan
- Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis aksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal.
2.1.7.3.4 OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari selama 1 bulan.






2.2 Manajemen Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data yang cermat tentang pasien, keluarga dan kelompok melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (Carpenito, 1999:24)
Menurut Doengoes 1999, pada pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan di temukan data-data sebagai berikut :
2.2.1.1 Aktivitas / istirahat
Gejala : Badan lemah, sesak nafas, Kesulitan tidur pada malam hari, demam dan menggigil, berkeringat pada malam hari.
Tanda : Takikardia, takipnea / dipsnea pada kerja kelelahan otot, nyeri dan sesak.
2.2.1.2 Integritas ego
Gejala : Adanya faktor stress, Masalah keuangan, Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
Tanda : Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.
2.2.1.3 Makanan / cairan
Tanda : Turgor kulit kering / kulit bersisik, dan kehilangan otot.





2.2.1.4 Nyeri / kenyaman
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit.
Perilaku distraksi, gelisah
2.2.1.5 Pernapasan
Gejala : Batuk produktif atau tak produktif. Sesak nafas.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fobrosis parenkim paru dan pleura), Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural) atau penebalan pleural.
2.2.1.6 Keamanan
Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker. Tes HIV positif
Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.
2.2.1.7 Interaksi sosial
Gejala : Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
2.2.1.8 Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga tuberculosis. Status kesehatan buruk. Gagal untuk membaik atau kambuhnya tuberculosis. Tidak berpartisipasi dalam terapi.
Rencana
Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan / gangguan dalam terapi obat, dan bantuan perawatan diri, serta pemeliharaan atau perawatan rumah.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang dapat muncul menurut (Doenges, 1999) :
2.2.2.1 Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebih.
2.2.2.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.
2.2.2.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
2.2.2.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.

2.2.3 Intervensi, Rasionalisasi dan Evaluasi
2.2.3.1 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.3.1.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, bicara, tertawa, menyanyi.
Rasional : Membantu pasien menyadari atau menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi.
2. Anjurkan pasien untuk batuk dan bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah.
Rasional: Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
3. Kaji tindakan kontrol sementara, contoh masker atau isolasi pemapasan.
Rasional: Dapat menurunkan rasa, terisolasi pasien dan membuang stigma sosial berhubungan dengan penyakit menular.
4. Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
5. Tekankan pentingnya untuk tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : Kombinasi agen anti infeksi digunakan 2/1 obat primer tambah I obat sekunder.


2.2.3.1.2 Evaluasi :
1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan teknik atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan Iingkungan yang aman.
2.2.3.2 Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebihan.
2.2.3.2.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.
3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru.
4. Ajarkan pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, pengisapan sesuai keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret dan mudah dikeluarkan.
7. Kolaborasi
Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
2.2.3.2.2 Evaluasi
1. Mempertahankan jalan nafas pasien.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
2.2.3.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.
2.2.3.3.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,terbatasnya ekspansi, dinding dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberculosis paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronco pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis luas.
2. Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
3. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan yang sesuai.
Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau permukaan alveolar paru.
2.2.3.3.2 Evaluasi
1. Menunjukkan tak adanya atau mcngalami penurunan dispnea.

2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.
3. Bebas dari gejala distress pernapasan.
2.2.3.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
2.2.3.4.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengatur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
3. Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
4. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan¬-makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kolaborasi ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
2.2.3.4.2 Evaluasi
1. Menunjukkan berat badan meningkat.
2. Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal.
2.2.3.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.
2.2.3.5.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar, contoh tingkat takut, masalah, kelemahan, tingkat partisipasi, lingkungan terbaik dimana pasien dapat belajar, seberapa banyak isi, media terbaik, siapa yang terlibat.
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan.
3. Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal obat.
Rasional : Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi.
4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan pengobatan lama.
Rasional : Meningkatkan kerja lama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab pertanyaan secara nyata.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau peningkatan ansietas.
2.2.3.5.2 Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
2. Melakukan pola hidup sehat untuk memperbaiki kesehatan umum.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press : Surabaya.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Crofton, John. 2002. Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.

Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Medical Record RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tahun 2007.

Profil Kesehatan Kalimantan Tengah 2006.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medical Bedah; Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta

Asuhan keperawatan TB PARU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2001).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff, 2005 : 73).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008 : 59).

2.1.2 Etiologi
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan. Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).

2.1.3 Patofisiologi
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri. Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002).









2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Jhon Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
2.1.4.1 Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun, keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif walau agak lambat. Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.
2.1.4.2 Dahak (sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen (kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
2.1.4.3 Batuk Darah
Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah sampai berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk. Penyebabnya adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus sehingga pecahnya pembuluh darah.


2.1.4.4 Sesak Napas
Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru. Merupakan proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.
2.1.4.5 Nyeri dada
Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan pada dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan tegangan otot pada saat batuk.
2.1.4.6 Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan oleh sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.
2.1.4.7 Demam dan Menggigil
Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi umum dari proses infeksi.
2.1.4.8 Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
2.1.4.9 Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
2.1.4.10 Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari
Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut.
2.1.5 Komplikasi
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
2.1.5.1 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
2.1.5.2 Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
2 1.5.3 Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
2.1.5.4 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang
2.1.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
2.1.6.1.1 Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit
2.1.6.1.2 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
2.1.6.1.3 Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
2.1.6.1.4 Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis.
2.1.6.1.5 Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
2.1.6.1.6 Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
2.1.6.1.7 Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru kronis luas).




2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologis
2.1.6.2.1 Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area fibrosa.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis (DepKes RI, 2002 : 37)
2.1.7.1 Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
2.1.7.1.1 Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.2 Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
2.1.7.1.3 Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.4 Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
2.1.7.1.5 Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
2.1.7.2 Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu:
2.1.7.2.1 Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis (OAT).
2.1.7.2.2 Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.7.3 Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis
2.1.7.3.1 Kategori 1 (211RZE/4113R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian teruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru TBC paru BTA positif
- Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif.
- Penderita TBC ekstra paru berat.
2.1.7.3.2 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)
Tahap intensif diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang diberikan 3 kali dalam seminggu.
Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan pengobatan setelah lalai.
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Dosis Per Hari / Kali Jumlah hari/kali
menelan
obat
Tablet Insoniasid
@ 300 mg Kaplet Rifampisin
@, 450 mg Tablet Pirasinamid
@ 500 mg Tablet Etambutol
@ 250 mg
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 1 3 3 60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu) 4 bulan 2 1 - - 54
Tabel 1 : Panduan OAT Kategori 1

Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Etambutol
Streptomisin injeksi Jumlah
hari/kali menelan obat
Tablet
@ 250 mg Tablet
@500 mg
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan
1 bulan
1
1
3 3
3
3 3
_ 0.75 gr
- 60
30
Tahap lanjutan
(dosis 3 x seminggu) 5 bulan
2 1 - 1 2 - 66
Tabel 2 : Panduan OAT Kategori 2
Tabel 3 : Panduan OAT Kategori 3
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Jumlah
hari/ kali
menelan
obat
Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan
1

1
3
60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu) 4 bulan 2 1 - 54

Tabel 4 : Panduan OAT Sisipan
Tahap
Pengobatan Lamanya
Pengobatan Tablet
Insoniasid
@ 300 mg Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg Tablet
etambutol
@ 250 mg Jumlah
hari/ kali
menelan
obat
Tahap intensif
(dosis harian) 2 bulan 1 1 3 3 30

2.1.7.3.3 Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan
- Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis aksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal.
2.1.7.3.4 OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari selama 1 bulan.






2.2 Manajemen Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data yang cermat tentang pasien, keluarga dan kelompok melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (Carpenito, 1999:24)
Menurut Doengoes 1999, pada pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan di temukan data-data sebagai berikut :
2.2.1.1 Aktivitas / istirahat
Gejala : Badan lemah, sesak nafas, Kesulitan tidur pada malam hari, demam dan menggigil, berkeringat pada malam hari.
Tanda : Takikardia, takipnea / dipsnea pada kerja kelelahan otot, nyeri dan sesak.
2.2.1.2 Integritas ego
Gejala : Adanya faktor stress, Masalah keuangan, Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
Tanda : Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.
2.2.1.3 Makanan / cairan
Tanda : Turgor kulit kering / kulit bersisik, dan kehilangan otot.





2.2.1.4 Nyeri / kenyaman
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit.
Perilaku distraksi, gelisah
2.2.1.5 Pernapasan
Gejala : Batuk produktif atau tak produktif. Sesak nafas.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fobrosis parenkim paru dan pleura), Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural) atau penebalan pleural.
2.2.1.6 Keamanan
Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker. Tes HIV positif
Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.
2.2.1.7 Interaksi sosial
Gejala : Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
2.2.1.8 Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga tuberculosis. Status kesehatan buruk. Gagal untuk membaik atau kambuhnya tuberculosis. Tidak berpartisipasi dalam terapi.
Rencana
Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan / gangguan dalam terapi obat, dan bantuan perawatan diri, serta pemeliharaan atau perawatan rumah.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang dapat muncul menurut (Doenges, 1999) :
2.2.2.1 Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebih.
2.2.2.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.
2.2.2.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
2.2.2.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.

2.2.3 Intervensi, Rasionalisasi dan Evaluasi
2.2.3.1 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.3.1.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, bicara, tertawa, menyanyi.
Rasional : Membantu pasien menyadari atau menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi.
2. Anjurkan pasien untuk batuk dan bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah.
Rasional: Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
3. Kaji tindakan kontrol sementara, contoh masker atau isolasi pemapasan.
Rasional: Dapat menurunkan rasa, terisolasi pasien dan membuang stigma sosial berhubungan dengan penyakit menular.
4. Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
5. Tekankan pentingnya untuk tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : Kombinasi agen anti infeksi digunakan 2/1 obat primer tambah I obat sekunder.


2.2.3.1.2 Evaluasi :
1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan teknik atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan Iingkungan yang aman.
2.2.3.2 Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebihan.
2.2.3.2.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.
3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru.
4. Ajarkan pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, pengisapan sesuai keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret dan mudah dikeluarkan.
7. Kolaborasi
Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
2.2.3.2.2 Evaluasi
1. Mempertahankan jalan nafas pasien.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
2.2.3.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.
2.2.3.3.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,terbatasnya ekspansi, dinding dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberculosis paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronco pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis luas.
2. Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
3. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan yang sesuai.
Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau permukaan alveolar paru.
2.2.3.3.2 Evaluasi
1. Menunjukkan tak adanya atau mcngalami penurunan dispnea.

2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.
3. Bebas dari gejala distress pernapasan.
2.2.3.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
2.2.3.4.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengatur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
3. Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
4. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan¬-makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kolaborasi ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
2.2.3.4.2 Evaluasi
1. Menunjukkan berat badan meningkat.
2. Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal.
2.2.3.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.
2.2.3.5.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar, contoh tingkat takut, masalah, kelemahan, tingkat partisipasi, lingkungan terbaik dimana pasien dapat belajar, seberapa banyak isi, media terbaik, siapa yang terlibat.
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan.
3. Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal obat.
Rasional : Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi.
4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan pengobatan lama.
Rasional : Meningkatkan kerja lama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab pertanyaan secara nyata.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau peningkatan ansietas.
2.2.3.5.2 Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
2. Melakukan pola hidup sehat untuk memperbaiki kesehatan umum.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press : Surabaya.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Crofton, John. 2002. Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.

Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Medical Record RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tahun 2007.

Profil Kesehatan Kalimantan Tengah 2006.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medical Bedah; Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta

Asuhan keperawatan HERNIA HIATUS ESOFAGUS

HERNIA HIATUS ESOFAGUS
Definisi

Hernia adalah protusio (penonjolan) abnormal suatu organ atau bagian suatu organ melalui lubang (apertura) pada stuktur disekitarnya, umumnya protusio organ abdominal melalui celah dari dinding abdomen. (Sue Hinchliff, 1999 : 206).
Hernia adalah penonjolan dari organ internal melalui pembentukan abnormal atau lemah pada otot yang mengelilinginya. (Winter Griffith, 1997 : 340).

Merupakan suatu keadaan dimana terjadi perpindahan secara intermiten (sementara) atau secara permanen (menetap) bagian lambung, disertai perpindahan bagian esophagus dari iintra abdomen kedalam rongga dada (rongga toraks) di atas diagfragma melaluio hiatus esophagus yang normal.
Atas dasar patogenesisnya, maka ada 3 macam hernia hiatus esophagus ;
Pertama : Sliding hiatus hernia (hernia hiatus aksial).
Pada hernia hiatus ini didapati esophagus intra abdomen, bagian kardia lambung esophagus (gastroesophageal junction) nmelorot ke dalam rongga dada diatas diagfragma dan dapat secara intermiten maupun permanent.
Kedua :
Hernia eofageal didapati bagian fundus/korpus lambung disertai sebahagian esophagus intra abdomen berada diluar rongga dada diatas diagfragma, sedangkan hubungan lambung esophagus (gastroeophageal junction) tetap berada didalam ronnga perut (abdomen) di bawah diafragma.
Ketiga :
Pada sliding hiatus hernia (hernia hiatus aksial yang besar, dapat pula terjadi hernia hiatus esofageal, maka terjadilah kedua macam hernia hiatus tersebut diatas, hingga timbul bentuk campuran yang disebut hernia hiatus tipe campuran. Pada hernia hiatus bentuk ini dadapati seluruh bagian esofagus intra abdomen, gatroesophageal junctin, sebahagian besar lambung, mungkin seluruh bagian lambung berpindah tempat ke dalam rongga dada diatas diafragma.

Etiologi

Karena hernia hiatus tidak begitu sering dijumpai pada usia dibawah 40 tahun, mak kelemahan otot sering disebutkan sebagai suatu faktor primer dalam patogenesinya. Hilangnya tonus otot pada usia menengah atau setelah menderita penyakit yang lama, kelemahan otot membuatnya lebih lemas dan merupakan predisposisi untuk timbulnya hernia hiatus.
Faktor penting yang lain ialah meningkatnya tekanan intra abdominal yang memudahkan (membantu) bagian atas lambung untuk melewari pembukaan diafragma. Diet yang rendah serat merpakan penyebab utama konstipasi dan penyakit divertikel, boleh juga merupakan uatu penyebab hernia hiatus. Keadaan obesitas biasa dijumpai pada pasien hernia hiatus.

Patofisiologi

Sliding hiatus hernia (hernia hiatus aksial), merupakan tipe hernia hiatus yang biasa dijumpai. Pada hernia hiatus ini bagian bawah esofagus (bagian esofagus intra abdomen) dan kardia lambung melorot ke atas masuk ke dalam rongga dada di atas diafragma disertai esofageal junction-nya sesuai dengan porosnya melalui hiatus esofagus yang normal , jadinya susunan anatomis bagian bawah kardia lambung yang normall terganggu, maka terjadilah refluks asam lambung dengan akibat timbulnya rasa panas dijantung. Bila hiatusnya ini terjadi secara permanen , timbulnya kongesti dengan akibat timbulnya gastritis, erosi dan ulserasi bagian lambung yang mengalami herniasi.

Hernia hiatus paraesofageal (hernia tipe rolling)
Pada hernia paraesofageal ini, lambung dengan secara sederhana mengalami perputaran memasuki rongga dada, sedangkan gastroesofageal junction tetap berada dibawah diafragma. Pada keadaan ini sebenarnya yang terjadi ialah suatu bagian kecil peritoneum mengalami perputaran keatas rongga dada samping esofagus diikuti kurvatura mayor lambung, kadang-kadang disertai omentum gastrokolika. Semakin lanjut besar bagian lambung yang mengalami perputaran keatas memasuki rongga dada dan suatu saat bagian fundus lambung akan terletak diatas gastroesopageal junction . Perpindahan (migrasi) lambung ini dihubungkan perputaran (rotasi) organoaksial, yang menyebabkan kurvutura mayor lambung mengalami perputran keatas dan kekanan kedalam rongga dada. Hal inilah yang menyebabkan hernia paraesofageal sering dijumpai didalam rongga dada bagian kanan.
Komplikasi yang bisa timbul adalah obstruksi akut dan inkarserai. Inkarserai merupakan komplikasi yang sangat hebat yang dapat terjadi pada kasus hernia.

Hernia hiatus kongenital
Pada keadaan ini timbul kesan adanya esofagus yang pendek secara kongetinal. Hal ini sebenarnya terjadi karna spasme muskular. Pembuluh darah pada keaadan ini biasanya sampai kebagian bawah diafragma, hal ini menunjukkan posisi semula. Esofagus yang pendek padaa bayi dan anak-anak kebanyakan timbulnya sebagai akibat esofagu yang mengalami peradangan akibat esofagus mengalami peradangan karna refluks asam pada akalasia abnormalitas kongenital yang sebenarnya atau yang disebut Barrets esofagus

Sign and symptoms
• Keluhan esofagitis refluks
• Rasa jantung terbakar (heartburn)
• Regurgitasi asam dan disfagia karna spasme esofagus
• Sukar menelan
• Perdarahan
• Muntah mendadak
• Bunyi tympani pada pemeriksaan perkusi
• Nyeri uluh hati
Komplikasi
Penyakit paru yang kronik, hal ini disebabkan karna regurgitasi noktural dan aspirasi

Diagnostic test
• Radiografi yaitu tampak bayangan udara dibelakang jantung pada foto dada atau thoraks
• Fluroscopi yaitu bagian lambung yang mengalami herniasi tidak ikut dalam gelombang peristaltik yang mendorong esofagus kebawah.
• Endoscopi yaitu untuk mengetahui komplikasi yang mungkin timbul tetapi pemeriksaan ini jarang digunakan.
Pengobatan
• Antasid
• Metoklopramid
• Kolinergik
• Simetialin
• Pilihan terakhir yaitu dengan operasi
Diagnosa keperwatan
Nyeri uluh hati sehubungan dengan aliran balik asam lambung ditandai dengan ps tampak memegang daerah uluh hati
Ds :”nyeri, sus”
Do :
• Ps tampak meringis kesakitan
• Nyeri level 3 skala 0-5
• Ps tampak gelisah
Goal
Agar nyeri uluh hati berkurang secara bertahap setelah tindakan keperawatan dengan kriteria:
1. Nyeri level 2 skala 0-5
2. Ps tampak lebih tenang
Intervensi keperawatan
1. Makanlah diet tinggi protein, rendah lemak.
2. Hindarkan makanan yang mengandung kafein (kopi, teh, cola), coklat dan alkohol
3. Anjurkan pasien untuk makan sedikit demi sedikit
4. Hindarkan rokok
5. Anjurkan pasien untuk DBE bila merasa nyeri
6. Tanyakan pasien untuk memberikan posisi yang nyaman

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU (TBC)

Posted By Ardyan pradana
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU (TBC)
1. Pendahuluan.
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menahun/kronis (berlangsung lama) dan menular. Penyakit ini dapat diderita oleh setiap orang, tetapi paling sering menyerang orang-orang yang berusia antara 15 – 35 tahun, terutama mereka yang bertubuh lemah, kurang gizi atau yang tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama penderita TBC. Lingkungan yang lembap, gelap dan tidak memiliki ventilasi memberikan andil besar bagi seseorang terjangkit TBC.
Penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan. Namun akibat dari kurangnya informasi berkaitan cara pencegahan dan pengobatan TBC, kematian akibat penyakit ini memiliki prevalensi yang besar. Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal.
2. Pengertian.
 Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit akibat kuman Mycobakterium tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001).
 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2001).
 Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah suatu penyaki yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis (id.wikipedia.org).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai tuberkulosis diatas, maka dapat dirumuskan bahwa tuberculosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang parenkim paru, bersifat sistemis sehingga dapat mengenai organ tubuh lain, terutama meningen, tulang, dan nodus limfe.
3. Etiologi.
Agens infeksius utama, mycobakterium tuberkulosis adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultra violet, dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um. Yang tergolong kuman mycobakterium tuberkulosis kompleks adalah:
• Mycobakterium tuberculosis
• Varian asian
• Varian african I
• Varian asfrican II
• Mycobakterium bovis
Kelompok kuman mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterial othetan Tb (mott, atipyeal) adalah :
• Mycobacterium cansasli
• Mycobacterium avium
• Mycobacterium intra celulase
• Mycobacterium scrofulaceum
• Mycobacterium malma cerse
• Mycobacterium xenopi
Klasifikasi
a. Pembagian secara patologis :
 Tuberkulosis primer ( Child hood tuberculosis ).
 Tuberkulosis post primer ( Adult tuberculosis ).
b. Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
 Tuberkulosis Paru BTA positif.
 Tuberkulosis Paru BTA negative.
c. Pembagian secara aktifitas radiologis :
 Tuberkulosis paru ( Koch pulmonal ) aktif.
 Tuberkulosis non aktif .
 Tuberkulosis quiesent ( batuk aktif yang mulai sembuh ).
d. Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )
 Tuberculosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
 Moderateli advanced tuberculosis, yaitu, adanya kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru.
 For advanced tuberculosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis.
e. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society memberikan klasifikasi baru:
 Karegori O, yaitu tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif.
 Kategori I, yaitu terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
 Kategori II, yaitu terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit.
 Kategori III, yaitu terinfeksi tuberculosis dan sakit.
f. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :
 Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat.
 Kategori II : ditujukan terhadap kasus kamb uh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf.
 Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
 Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

4. Patofisiologi Pathway.


5. Patofisiologi.
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit ( biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg 1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.
6. Manifestasi Klinis.
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Ø Gejala sistemik/umum, antara lain sebagai berikut:
• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
• Penurunan nafsu makan dan berat badan.
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
• Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Ø Gejala khusus, antara lain sebagai berikut:
• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
7. Komplikasi.
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
• Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
• Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
• Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
• Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
8. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan Laboratorium.
• Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit
• Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
• Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
• Anemia bila penyakit berjalan menahun.
• Leukosit ringan dengan predominasi limfosit.
• LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut kembali normal pada tahap penyembuhan.
• GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
• Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
• Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
b. Radiologi.
• Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas TB dapat termasuk rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikanTB yang lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrous. Pada foto thorax tampak pada sisi yang sakit bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
• Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB.
• Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC adalah penebalan pleura, efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen dipinggir paru atau pleura).
c. Pemeriksaan fungsi paru.
Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu: kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural.
9. Pencegahan.
• Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
• Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi penularan.
• Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
• Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
• Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
• Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
10. Penatalaksanaan.
a. Farmakologi.
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis , yaitu sebagai berikut:
• Aktivitas bakterisid.
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakteriosid biasanya diukur dengan kecepataan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
• Aktivitas sterilisasi.
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan penyakit Tuberculosis dahulu hanya dipakai satu macam obat saja. Kenyataan dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilskukan dengan memakai perpaduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai perpaduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih serta pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
Adapun jenis obat yang dipakai adalah sebagai berikut :
- Obat Primer - Obat Sekunder
1. Isoniazid (H) 1. Ekonamid
2. Rifampisin (R) 2. Protionamid
3. Pirazinamid (Z) 3. Sikloserin
4. Streptomisin 4. Kanamisin
5. Etambutol (E) 5. PAS (Para Amino Saliciclyc Acid)
6. Tiasetazon
7. Viomisin
8. Kapreomisin
Pengobatan TB ada 2 tahap menurut DEPKES.2000 yaitu :
Ø Tahap INTENSIF.
Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampisin. Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahab intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Ø Tahap lanjutan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebih panjang dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan obat kategori 1 :
Tahap Lama (H) / day R day Z day F day Jumlah Hari XMinum Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 60
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 54
Paduan Obat kategori 2 :
Tahap Lama (H)@300
Mg R@450
mg Z@500
Mg E@ 250
Mg E@500
mg Strep.Injeksi JumlahHari X
Minum Obat
Intensif 2 bulan1 bulan 11 11 33 33 – 0,5 % 6030
Lanjutan 5 bulan 2 1 3 2 - 66
Paduan Obat kategori 3 :
Tahap Lama H @ 300 mg R@450mg P@500mg
Hari X Minum Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 60
Lanjutan3 x week 4 bulan 2 1 1 54
OAT sisipan (HRZE)
Tahap Lama H@300mg R@450mg Z@500mg E day@250mg Minum obat XHari
Intensif(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 30
11. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien ( Doengoes, Marilynn E : 2000 ) adalah sebagai berikut:
a. Pola aktivitas dan istirahat.
Subjektif: Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), demam, menggigil.
Objektif: Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.
b. Pola nutrisi.
Subjekti: Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif: Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c. Respirasi.
Subjektif: Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri.
Subjektif: Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif: Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e. Integritas ego.
Subjektif: Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Objektif: Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.
f. Keamanan.
Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker.
Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.
g. Interaksi Sosial.
Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
12. Diagnosa Keperawatan.
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial.
c. Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
e. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif
h. Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret, kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang infeksi kuman.
13. Perencanaan Keperawatan.
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal. Setelah diberikan tindakan keperawatan kebersihan jalan napas efektif, dengan criteria hasil:
• Mempertahankan jalan napas pasien.
• Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
• Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
• Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
• Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat. a. Kaji ulang fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.

b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.

c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.

d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.

e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
Kolaborasi:
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi. a. Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b. Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c. Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan.
d. Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
e. Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan.
f. Mencegah pengeringan membran mukosa.
g. Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial. Setelah diberikan tindakan keperawatan pertukaran gas efektif, dengan kriteria hasil:
• Melaporkan tidak terjadi dispnea.
• Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
• Bebas dari gejala distress pernapasan. a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.

b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
e. Monitor GDA.
f. Kolaborasi: Berikan oksigen sesuai indikasi. a. Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c. Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
d. Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e. Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.
f. Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
• Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
• Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat. a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.

b. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
e. Anjurkan bedrest.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Kolaborasi:
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
i. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin). a. Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
b. Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
c. Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
f. Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
g. Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
h. Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
i. Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap Setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeridapat berkurang atau terkontrol, dengan KH:
• Menyatakan nyeri berkurang atauterkontrol
• Pasien tampak rileks a. Observasi karakteristik nyeri, mis tajam, konstan , ditusuk. Selidiki perubahan karakter /lokasi/intensitas nyeri.

b. Pantau TTV
c. Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang, relaksasi/latihan nafas
d. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering..
e. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batukikasi.
f. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi a. Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur.
b. Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
c. Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
d. Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
e. Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
f. Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif, meningkatkan kenyamanan
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal dengan KH :
• Suhu tubuh 36°C-37°C a. Kaji suhu tubuh pasien.
b. Beri kompres air hangat.
c. Berikan/anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari (sesuai toleransi).
d. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat.
e. Observasi intake dan output, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi.
f. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program. a. Mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan intervensi.
b. Mengurangi panas dengan pemindahan panas secara konduksi. Air hangat mengontrol pemindahan panas secara perlahan tanpa menyebabkan hipotermi atau menggigil.
c. Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi
d. Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
e. Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
f. Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan panas tubuh pasien.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria hasil:
• Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal. a. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan atau kelelahan.
b. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
c. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatandan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
d. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat.
e. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan. a. Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan intervensi.
b. Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat.
c. Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan.
d. Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk ke depan meja atau bantal.
e. Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbanagnsuplai dan kebutuhan oksigen.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif Setelah diberikan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria hasil:
• Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.
• Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
• Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
• Menerima perawatan kesehatan adekuat a. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
b. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
c. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
d. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
e. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
f. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
g. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
h. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi. a. Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien. b. Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
c. Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
d. Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
e. Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
f. Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
g. Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
h. Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.
Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang infeksi kuman. Setelah diberikan tindakan keperawatan tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria hasil:
• Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi.
• Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.
- a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
e. Monitor temperatur.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Kolaborasi:
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.
j. Monitor sputum BTA. a. Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
b. Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
c. Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
g. Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h. INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
i. Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten
j. Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi
14. Evaluasi
Dx 1: Kebersihan jalan napas efektif, dengan kriteria evaluasi:
• Mempertahankan jalan napas pasien.
• Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
• Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
• Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
• Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Dx 2: Pertukaran gas efektif, dengan kriteria evaluasi:
• Melaporkan tidak terjadi dispnea.
• Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
• Bebas dari gejala distress pernapasan.
Dx 3: Kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria evaluasi:
• Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
• Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Dx 4: Nyeridapat berkurang atau terkontrol, dengan kriteria evaluasi:
• Menyatakan nyeri berkurang atauterkontrol
• Pasien tampak rileks
DX 5: Suhu tubuh kembali normal dengan kriteria evaluasi:
• Suhu tubuh 36°C-37°C.
DX 6: Pasien mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria evaluasi :
• Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal.
DX 7: Tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria evaluasi:
• Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.
• Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
• Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
• Menerima perawatan kesehatan adekuat.
DX 8:Tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria evaluasi:
• Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi.
• Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.







Daftar pustaka

Anonymous.(2010). Tuberkulosis.Retrieved: Selasa, 26 Juli 2011, from http://id.wikipedia.org/wiki/Tuberkulosis
Content Team, Asian Brain. (2009 ). Tuberkulosis (TBC).Retrieved: Kamis, 11 Maret 2010, from http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/tbc.htm
Doengoes, Marilynn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif,dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Media Aescullapius.
Price, Sylvia Anderson.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki , Edisi 6.Jakarta:EGC
Smeltzer,Suzanne .C dan Bare, Brenda. G. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC
Underwood, J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistematik Volume 2.Jakarta: EGC
Selasa, 26 Juli 2011,From http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/10/09/asuhan-keperawatan-tb-paru/

ASKEP CEDERA KEPALA

Posted By Ardyan pradana
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN CEDERA KEPALA
A. TINJAUAN TEORI.
1. Pengertian.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
2. Klasifikasi.
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor.
• SKG 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang.
• SKG 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat.
• SKG 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi.
• Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
• Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
• Cedera akibat kekerasan.
4. Patofisiologis Pathway.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
5. Manifestasi Klinis.
o Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
o Kebungungan
o Iritabel
o Pucat
o Mual dan muntah
o Pusing kepala
o Terdapat hematoma
o Kecemasan
o Sukar untuk dibangunkan
o Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
6. Komplikasi.
 Hemorrhagie.
 Infeksi.
 Edema.
 Herniasi
7. Pemeriksaan Penunjang.
 Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT).
 Rotgen Foto.
 CT Scan.
 MRI
8. Penatalaksanaan.
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf :
Kesadaran à GCS.
Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
 peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
 tekanan pada vena leher.
 pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
 Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
 Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
 Monitor intake dan out put.
 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
 Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
 Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji intake dan out put.
 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Anak terbebas dari injuri.
Intervensi :
 Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
 Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
 Berikan analgetik sesuai program.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
 Kurangi rangsangan.
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji adanya drainage pada area luka.
 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi :
 Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
 Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
 Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
 Gunakan komunikasi terapeutik.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi :
 Lakukan latihan pergerakan (ROM).
 Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
 Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
 Kaji area kulit: adanya lecet.
 Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
KESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
• Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
• Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
• Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
• Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.