Wednesday, September 28, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KOLESTASIS

MAKALAH PENCERNAAN II ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KOLESTASIS KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah mencurahkan rahmat dan kemudahan-Nya kepada kami sekelompok sehingga kami dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan harapan. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad saw., keluarga beseta para sahabat, Makalah ini disusun berdasarkan tuntutan perkuliahan masa kini berdasarkan metode terbaru yang diterapkan para dosen khusunya di stikes mataram yaitu system yang dinamakan SCL (Student Center Learning). Makalah ini berisi tentang materi tentang keperawatan Pencernaan II khususnya mengenai penyakit atau kelainan-kelainan yang terdapat pada sistem pencernaan beserta asuhan keperawatannya. Pembahasan yang khusus akan kami sajikan yaitu mengenai askep kolestasis sebagai bahan kami untuk didiskusikan di dalam kelas dengan metode belajar yang disebutkan tadi di atas yaitu metode SCL. Oleh karena kami menyadari bahwa kami masih dalam belajar sehingga akan sangat jauh kata sempurna bagi kami, maka dari itu kami pun menyadari akan adanya kesalahan atau pun kekurangan dalam penyusunan makalah ini dan dengan sebab itu kritk dan dari pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki isi makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khusunya mahasiswa keperawatan dalam memenuhi tuntutan perkuliahan, amin… Mataram, Oktober 2010 Tim Penyusun DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB I Pendahulauan  Latar belakang  Tujuan BAB II Pembahasan ASUHAN KEPERAWATAN KOLESTASIS 1. Tinjauan pustaka A. Definisi B. Etiologi C. Tanda dan gejala D. Patofosiologi 2. Asuhan keperawatan A. Pengkajian B. Diagnosa keperawatan C. Intervensi 3. Asuhan keperawatan pada Ny. M A. Pengkajian B. Diagnosa Keperawatan C. Intervensi Keperawatan BAB III Penutup  Simpulan dan saran Daftar pustaka   BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu. Gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara sel-sel hati dan usus dua belas jari (duodenum, bagian paling atas dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalir tetapi hati terus mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah. Bilirubin kemudian di endapkan di kulit dan dibuang ke air kemih dan menyebabkan jaundice (sakit kuning). Jika kolestasis menetap, kekurang kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang.Juga terjadi gangguan penyerapan dari bahan-bahan yang diperlukan untuk pembekuan darah, sehingga penderita cenderung mudah mengalami perdarahan. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit).Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak. B. Tujuan Dengan mempelajari pembahasan ini diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran yaitu : 1. Tujuan umum  Memenuhi tuntutan perkuliahan dengan metode SCL/SGD  Melatih kemandirian mahasiswa dalam mencari materi perkuliahan 2. Tujuan khusus  Memahami tentang pengertian, etiologi dan patofisiologi beserta gejala-gejala yang timbul pada penyakit KOLESTASIS  Mampu mempresentasikan dan menjawab fenomena dan pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit KOLESTASIS  Mampu mengatasi masalah pada penderita KOLESTASIS dengan memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan sesuai kebutuhan pasien. BAB II PEMBAHASAN 1. KOLESTASIS A. DEFINISI Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu yang dapat disebabkan oleh gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara sel-sel hati dan usus dua belas jari (duodenum, bagian paling atas dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalir tetapi hati terus mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah. Bilirubin kemudian di endapkan di kulit dan dibuang ke air kemih dan menyebabkan jaundice (sakit kuning).  Kolestasis terbagi menjadi :  kolestasis intrahepatik  kolestasis ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik A. Idiopatik 1. Hepatitis neonatal idiopatik 2. Lain-lain : Sindrom Zellweger B. Anatomik 1. Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil 2. penyakit Caroli C. Kelainan Metabolik 1. Kelainan metabolisme as amino, lipid, KH, asam empedu 2. Penyakit metabolik lain : def α1 – antitripsin, hipotiroid, hipopituitarisme D. Infeksi 1. Hepatitis virus A, B, C 2. TORCH, reovirus, dll E. Genetik/ kromosomal 1. Sindrom Alagile 2. Sindrom Down, Trisomi E F. Lain-lain Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom polisplenia, lupus neonatal Kolestasis Ekstrahepatik  Atresia bilier  Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier  Massa (kista, neoplasma, batu)  Inspissated bile syndrome , dll B. ETIOLOGI Gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara sel-sel hati dan usus dua belas jari (duodenum, bagian paling atas dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalir, tetapi hati terus mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah. Bilirubin kemudian diendapkan di kulit dan dibuang ke air kemih, menyebabkan jaundice (sakit kuning). Untuk tujuan diagnosis dan pengobatan, penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 kelompok: 1. Berasal dari hati - Hepatitis - Penyakit hati alkoholik - Sirosis bilier primer - Akibat obat-obatan - Akibat perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada kehamilan). 2. Berasal dari luar hati - Batu di saluran empedu - Penyempitan saluran empedu - Kanker saluran empedu - Kanker pankreas - Peradangan pankreas. C. GEJALA Jaundice dan air kemih yang berwarna gelap merupakan akibat dari bilirubin yang berlebihan di dalam kulit dan air kemih. Tinja terkadang tampak pucat karena kurangnya bilirubin dalam usus. Tinja juga bisa mengandung terlalu banyak lemak (stetore), karena dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dalam makanan. Berkurangnya empedu dalam usus, juga menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D. Jika kolestasis menetap, kekurang kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang.Juga terjadi gangguan penyerapan dari bahan-bahan yang diperlukan untuk pembekuan darah, sehingga penderita cenderung mudah mengalami perdarahan. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit).Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak.Gejala lainnya tergantung dari penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam. D. PATOFISIOLOGI Kolestasis pada bayi dibagi dalam dua golongan besar yaitu hepato-seluler dan bilier, intra dan ekstra hepatal. Penyebab terbanyak kolestasis pada neonatus adalah kerusakan jaringan hati akibat infeksi virus intra uterin, terutama TORCH. Penyebab lain diantaranya gangguan metabolik, genetik, autoimun, dan gangguan embrional. Secara klinis maupun laboratoris sangat sukar untuk membedakan kolestasis intra dan ekstra hepatal, sehingga diperlukan langkah diagnostik yang kompleks.   Kolestasis   Metabolisme bilirubin Hemoglobin  Heme  Hemoksigenase Biliverdin  Biliverdin - reductase Bilirubin indirek (bebas)  Lipofilik  kompleks bilirubin - albumin Ambilian : protein - y ; protein – z Konjugasi (glukuronil transferase)  Bilirubin direk (conjugated)  Hidrofilik   Hidrolisis Bakteri Bilirubin : Sterkobilin Urobilinogen E. MANIFESTASI KLINIS Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah ikterus, tinja akolok dan urin yang berwarna gelap, namun tidak ada satupun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 s/d 5. Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Berkurangnya empedu dalam usus juga menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang. Juga terjadi gangguan penyerapan dari bahanbahan yang diperlukan untuk pembekuan darah. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit). Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak. Gejala lainnya tergantung dari penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam. F. PENGOBATAN Penyumbatan di luar hati biasanya dapat diobati dengan pembedahan atau endoskopi terapeutik. Penyumbatan di dalam hati bisa diobati dengan berbagai cara, tergantung dari penyebabnya: - jika penyebabnya adalah obat, maka pemakaian obat dihentikan - jika penyebabnya adalah hepatitis, biasanya kolestasis dan jaundice akan menghilang sejalan dengan membaiknya penyakit. Cholestyramine, diberikan per-oral (ditelan), bisa digunakan untuk mengobati gatal-gatal. Obat ini terikat dengan produk empedu tertentu dalam usus, sehingga tidak dapat diserap kembali dan menyebabkan iritasi kulit. Pemberian vitamin K bisa memperbaiki proses pembekuan darah. Tambahan kalsium dan vitamin D sering diberikan jika kolestasis menetap, tetapi tidak terlalu efektif dalam mencegah penyakit tulang. Jika terlalu banyak lemak yang dibuang ke dalam tinja, diberikan tambahan trigliserida. 1. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS a. Pengkajian 1. Anamnesis Umumnya ditanyakan bagaimana warna urin. Warna urin pada peningkatan bilirubin direct dalam darah yang kita kenal sebagai kolestasis umumnya kuning tua atau sedikit lebih tua dari biasanya. Pada bayi mungkin saja tidak ditemukan warna kuning tua karena volume urin bayi umumnya cukup besar sehingga mungkin ada efek dilusi bilirubin dalam urin. Selain itu ditanyakan warna feces. Pada kolestasis dapat dijumpai warna feces yang pucat seperti dempul, dapat terus menerus atau berfluktuasi. 2. Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis perlu di fokuskan pada penampilan umum pasien, berat badan,panjang badan dan lingkar kepala. Pasien dengan kelainan metabolik atau neonatal hepatitis umumnya terlihat kecil sedangkan atresia bilier umumnya besar seperti anak normal. Hal yang terakhir ini sering kali mengecoh klinisi untuk cenderung mengatakan kuning pada bayi tersebut hanya memerlukan penyinaran pagi hari saja. Ukuran kepala yang kecil mengarahkan kemungkinan terjadi infeksi kongenital. Mata perlu diperiksa apakah selain ikterik terlihat katarak yang mengarah ke galaktesemia.Pemeriksaan jantung kadang-kadang menyertai kelainan kolestasis tertentu. Hati perlu diperiksa ukurannya yang dapat membesar tetapi dapat pula masih normal, kadang ditemukan splenomegali. 3. Pemeriksaan Laboratorium Untuk menghemat dana, pada awalnya cukup dimintakan pemeriksaan bilirubin direct darah saja, kecuali terdapat kecurigaan kuat bahwa kasus tersebut adalah kasus kolestasis. Bila ditemukan bahwa bilirubin direct meningkat > 1,5 mg/dl dan komponen bilirubin direct tersebut merupakan > 15% dari bilirubin total yang meningkat maka dapat kita katakan pasien tersebut dengan kolestasis. Bayi dengan peningkatan bilirubin direct sangat mungkin menderita kelainan hepatobilier dan memerlukan pemeriksaan selanjutnya. Bila dari hasil pemeriksaan darah terbukti kolestasis maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebab kolestasis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain : pemeriksaan darah ALT (SGPT), AST (SGOT), gamma glutamyl transpeptidase (GGT), albumin, globulin, kolesterol total, trigliserida, glukosa, ureum, kreatinin, waktu protombin/INR. Bila mungkin pemeriksaan hornomal seperti FT4, TSH dapat pula diperiksakan. Pemeriksaan urin rutin perlu dilakukan. Pemeriksaan USG 2 fase dan mungkin biopsy hati perlu dilakukan. Kecepatan penanganan kolestasis terutama pada atresia bilier sangat menentukan prognosis bayi karena operasi Kasai dapat dilakukan sebelum ditemukan sirosis hepatitis idealnya sebelum usia 8 minggu. b. Diagnosa keperawatan Beberapa diagnose keperawatanyang mungkin muncul pada kasus kolestitis : A. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiper bilirubin. 1. Tujuan Keutuhan kulit dapat dipertahankan. 2. Kriteria hasil a. Kulit utuh, tidak ada ikterik b. Tidak ada warna kemerahan di daerah perianal dan lipatan paha (perubahan warna) c. Kulit tidak kering dan lembut. 3. Rencana tindakan a. Observasi tanda-tanda ikterus/jaundice selengkap-lengkapnya dengan menggunakan sinar matahari bila memungkinkan. b. Observasi sklera, warna kulit, dengan menekan kulit pada bagian yang keras, misal wajah, dada, lengan atas dan kaki. c. Gunakan sabun lembut untuk membersihkan kulit. d. Atur frekuensi fototerapi 4. Rasional a. Jaudance merupakan tanda-tanda hiper bilirubinemia, karena lampu buatan akan mengaburkan pengkajian. b. Ikterik pertama kali terlihat pada sklera yang menguning, dengan menekan akan muncul warna kuning setelah tekanan dilepaskan. c. Menjaga kelembaban dan kebersihan kulit. d. Memudahkan perawat untuk mengatur pengawasan penyinaran, seringnya BAB merupakan faktor penyebab kerusakan kulit. B. Resiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan IWL dan efek fototerapi. 1. Tujuan Resiko kekurangan volume cairan tidak terjadi. 2. Kriteria hasil a. Kulit tidak kering b. Suhu tubuh 36,50C-370C c. Resiko dehidrasi berkurang 3. Rencana tindakan a. Observasi suhu aksila tiap 4 jam. c. Ukur intake dan output cairan tiap 4 jam e. Observasi tanda-tanda dehidrasi 4. Rasional a. Pengawasan sering membantu dalam menunjukan apakah ada tidak peningkatan suhu tubuh. b. Mengetahui pengeluaran dan pemasukan cairan tubuh bayi. c. Hidrasi yang adekuat mempermudah pengeluaran/eliminasi dan ekreso bilirubin dan mengganti cairan yang hilang. d. Deteksi dini yang membantu untuk mengetahui dengan cepat adanya tanda-tanda dehidrasi. C. Resiko terhadap kematian berhubungan dengan kadar bilirubin darah yang bersifat toksik. 1. Tujuan Resiko cidera tidak terjadi. 2. Kriteria hasil a. Kulit tidak ikterik. b. Bilirubin dalam batas normal. 3. Rencana tindakan a. Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit, sklera dan warna tubuh secara progresif terhadap ikterik. b. Pantau tanda-tanda vital tiap 1-2 jam. c. Ubah posisi yang sering tiap 1 jam. d. Pertahankan terapi cairan parenteral. e. Pantau kenaikan bilirubin darah. 4. Rasional a. Memantau perkembangan dan kenaikan bilirubin. c. Cara/langkah agar seluruh bagian tubuh bayi terkena fototerapi secara merata. d. Mengganti cairan yang hilang waktu fototerapi. e. Mengevaluasi jumlah bilirubin yang bersifat toksik dalam darah. D. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit. 1. Tujuan Keluarga mengerti dan paham tentang penyakit. 2. Kriteria hasil a. Keluarga tampak tenang b. Adanya pemahaman tentang penyakit oleh keluarga 3. Rencana tindakan a. Jelaskan pada keluarga tentang penyakit dan pengobatan. b. Diskusikan tentang perawatan lanjutan medik secara periodik. c. Tekankan pentingnya perawatan diri dan keluarga serta tentang kebersihan lingkungan. 4. Rasional a. Menurunkan kecemasan keluarga b. Dapat menurunkan kecemasan keluarga c. Memonitor perjalanan penyakit d. Mencegah pertumbuhan dan penularan virus dan bakteri maupun parasit yang menyebabkan infeksi. 2. TINJAUAN KASUS Ny. M 28 tahun berasal dari Papua, pendidikan SMP, pedagang. Klien datang ke RS dengan keluhan sudah 3 bulan ikterus. Sebelumnya klien mempunyai hepatitis akut. Serum transaminase dan bilirubin meningkat. Nafsu makan menurun sehingga berat badan sebanyak 4 kg dalam 2 minggu. Klien cemas jika harus dirawat lagi karena khawatir jika tidak sanggup biaya. Tekanan darah 140/100 mmHg, pernafasan 24/menit, nadi 100 x/menit dan suhu 37,60C, kesadaran CM. 1. Pengkajian a. Identitas • Nama : Ny.M • Umur : 28 th • Jenis kelamin : Perempuan • Pekerjaan :Pedagang • Pendidikan : SMP • Status : Kawin • Agama : Islam • Suku/bangsa : Papua • Alamat : Papua • Penanggung :_¬¬¬__ b. Riwayat kesehatan Keluhan utama :  Klien mengeluh sudah 3 bulan ikterus Riwayat penyakit dahulu : Hepatitis akut Riwayat penyakit keluarga :____ c. Pemeriksaan fisik • Tekanan darah :140/100mmhg • RR :24x/menit • Nadi :100x/menit • Suhu : 37,60C • Tingkat kesadaran :CM d. Pemeriksaan penunjang Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu pemeriksaan :  Pemeriksaan Laboratorium  Pemeriksaan Rutin Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma- GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier.  Biopsi Hati Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95% sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100- 200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.  Darah : Lymphocytosis, monocytosis, neutropenia, eosinophilia, anisocytosis  Feses : warna dalam batas normal  Morfologi darah tepi : proses alergi (imun) dan inflamasi jaringan  Kimia : bilirubin serum ; hiperbilirubinemia direk e. Penatalaksanaan Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk : 1. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan ½ Fenobarbital 5 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Kolestiramin 1 gr/kg/BB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian suus. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder. 2. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan ½ asam unsodeoksikolat, 3 ½ 10 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis per oral. Asam unsedeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik. B. Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang se optimal mungkin, yaitu : 1. Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri-glycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpi lemak. 2. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. C. Terapi bedah Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut : Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direct > 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari. 3. Analisa data No. Sig/simtom Etiologi Masalah 1 Ds: Klien mengeluh sudah 3 bulan ikterus. Do: - Kulit terlihat kuning, pucat, menggigil / meriang. Produksi bilirubin berlebihan Mengendap dibawah kulit Ikterus Jaundice lama Kulit berwarna gelap Gangguan integritas kulit Gangguan integritas kulit. 2 Ds: Anoreksia. Do: Berat badan turun 4 kg dlm 2 minggu Kurang vit. Dan mineral Kebutuhan nutrisi tdak terpenuhi Mual muntah Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. 3 Ds : Klien merasa tidak berdaya dengan kondisinya. Do : - Klien sering menanyakan keadaannya. - Gelisah, mampak cemas dan ketakutan. Kurangnya pengetahuan informasi Cemas Kecemasan 4. Prioritas Diagnosa Keperawatan A. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiper bilirubin. B. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah C. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan informasi keluarga tentang proses penyakit. 5. Intervensi keperawatan No. Dx Intervensi Tujuan & kriteria hasil Rasional 1 a. Observasi tanda-tanda ikterus/jaundice selengkap-lengkapnya dengan menggunakan sinar matahari bila memungkinkan. b. Observasi sklera, warna kulit, dengan menekan kulit pada bagian yang keras, misal wajah, dada, lengan atas dan kaki. c. Gunakan sabun lembut untuk membersihkan kulit. d. Atur frekuensi fototerapi Tujuan: Keutuhan kulit dapat dipertahankan. Kriteria hasil: a. Kulit utuh, tidak ada ikterik b. Tidak ada warna kemerahan di daerah perianal dan lipatan paha (perubahan warna) c. Kulit tidak kering dan lembut. a. Jaudance merupakan tanda-tanda hiper bilirubinemia, karena lampu buatan akan mengaburkan pengkajian. b. Ikterik pertama kali terlihat pada sklera yang menguning, dengan menekan akan muncul warna kuning setelah tekanan dilepaskan. c. Menjaga kelembaban dan kebersihan kulit. d. Memudahkan perawat untuk mengatur pengawasan penyinaran. 2. 1. Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan hangat. 2. Kaji kebiasaan makan klien. 3. Ajarkan teknik relaksasi yaitu tarik napas dalam. 4. Timbang berat badan bila memungkinkan. 5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan keperawatan. kriteri hasil: - Nutrisi klien terpenuhi. - Mual berkurang sampai dengan hilang 1. Makanan yang hangat menambah nafsu makan. 2. Jenis makanan yang disukai akan membantu meningkatkan nafsu makan klien. 3. Tarik nafas dalam membantu untuk merelaksasikan dan mengurangi mual 4. Untuk mengetahui kehilangan berat badan. 5. Mencegah kekurangan karena penurunan absorsi vitamin larut dalam lemak 3 a. Jelaskan pada keluarga tentang penyakit dan pengobatan. b. Diskusikan tentang perawatan lanjutan medik secara periodik. c. Tekankan pentingnya perawatan diri dan keluarga serta tentang kebersihan lingkungan. Tujuan : Keluarga mengerti dan paham tentang penyakit. Kriteri hasil: a. Keluarga tampak tenang b. Adanya pemahaman tentang penyakit oleh keluarga a. Menurunkan kecemasan keluarga b. Dapat menurunkan kecemasan keluarga c. Memonitor perjalanan penyakit d. Mencegah pertumbuhan dan penularan virus dan bakteri maupun parasit yang menyebabkan infeksi. 6. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat atau direncanakan.   BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu yang dapat disebabkan oleh gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara sel-sel hati dan usus dua belas jari (duodenum, bagian paling atas dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalir tetapi hati terus mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah. Bilirubin kemudian di endapkan di kulit dan dibuang ke air kemih dan menyebabkan jaundice (sakit kuning). Berkurangnya empedu dalam usus juga menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang. Juga terjadi gangguan penyerapan dari bahan-bahan yang diperlukan untuk pembekuan darah. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit).Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak. Gejala ainnya tergantung dari penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam. B. SARAN Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mata kuliah “Keperawatan Pencernaan II”. Selain itu diperlukan lebih banyak referensi dalam penyusunan makalah ini agar lebih baik. DAFTAR PUSTAKA  Doenges, Marilyn E, 1999. ”Rencana Asuhan Keperawatan EGC”, Jakarta.  Kapita Selekta Kedokteran Edisi III.  Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi III.

PENATALAKSANAAN SEROSIS HEPATIS BERDASARKAN EVIDANCE BASED NURSING (EBN)

PENATALAKSANAAN SEROSIS HEPATIS BERDASARKAN EVIDANCE BASED NURSING (EBN) Oleh : Tim Kerja Kelompok Diskusi Medikal Bedah Universitas Indonesia A. ANATOMI DAN HISTOLOGI HATI Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen. Macam-macam ligamennya: 1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan terletak di antara umbilicus dan diafragma. 2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig. falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap. 3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sblh prox ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow. 4. Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria posterior ki-ka :Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar. 5. Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar. Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan scr anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri. Secara Mikroskopis Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli Di tengah-tengah lobuli tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris.Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar , air keluar dari saluran empedu menuju kandung empedu. B. FISIOLOGI HATI Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fung hati yaitu : 1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs). 2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen : 1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES 2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol) 3. Pembentukan cholesterol 4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol .Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid 3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea.Urea merupakan end product metabolisme protein.∂ - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang β – globulin hanya dibentuk di dalam hati.albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000 4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi. 5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K 6. Fungsi hati sebagai detoksikasi Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis. 7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun livers mechanism. 8. Fungsi hemodinamik Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah. C. GANGGUAN PADA HATI : SIROSIS HEPATIS Pengertian sirosis hepatis Sirosis Hati adalah kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai dengan perubahan histopatologi. Perubahan histopatologi yang terjadi menyebabkan peninggian tekanan pembuluh darah pada sistem vena porta. Sebagai akibat dari peninggian tekanan vena porta, terjadi varises esophagus dan bila pecah terjadi muntah darah warna hitam (hematemesis). Sirosis hepatic adalah penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi seluruh pembuluh darah besar dan seluruh system arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan fibrosis disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Insiden Penderita sirosis hepatic lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan rata-rata umur terbanyak yan g mengalami adalah usia 30 – 59 tahun. Penyebab sirosis hepatis 1. Alkohol adalah suatu penyebab yang paling umum dari cirrhosis, terutam didunia barat. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keterautran dari konsumsi alkohol. Konsumis alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis melukai sel-sel hati. Tiga puluh persen dari individu-individu yang meminum setiap harinya paling sedikit 8 sampai 16 ounces minuman keras (hard liquor) atau atau yang sama dengannya untuk 15 tahun atau lebih akan mengembangkan sirosis. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit hati; dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis), ke hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), ke sirosis. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merujuk pada suatu spektrum yang lebar dari penyakit hati yang, seperti penyakit hati alkoholik (alcoholic liver disease), mencakup dari steatosis sederhana (simple steatosis), ke nonalcoholic steatohepatitis (NASH), ke sirosis. Semua tingkatan-tingkatan dari NAFLD mempunyai bersama-sama akumulasi lemak dalam sel-sel hati. Istilah nonalkoholik digunakan karena NAFLD terjadi pada individu-individu yang tidak mengkonsumsi jumlah-jumlah alkohol yang berlebihan, namun, dalam banyak aspek-aspek, gambaran mikroskopik dari NAFLD adalah serupa dengan apa yang dapat terlihat pada penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol yang berlebihan. NAFLD dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut resistensi insulin, yang pada gilirannya dihubungkan dengan sindrom metabolisme dan diabetes mellitus tipe 2. Kegemukan adalah penyebab yang paling penting dari resistensi insulin, sindrom metabolisme, dan diabetes tipe 2. NAFLD adalah penyakit hati yang paling umum di Amerika dan adalah bertanggung jawab untuk 24% dari semua penyakit hati. 2. Sirosis Kriptogenik, Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang tidak teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum untuk pencangkokan hati. Di-istilahkan sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis) karena bertahun-tahun dokter-dokter telah tidak mampu untuk menerangkan mengapa sebagain dari pasien-pasien mengembangkan sirosis. Dokter-dokter sekarang percaya bahwa sirosis kriptogenik disebabkan oleh NASH (nonalcoholic steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan, diabetes tipe 2, dan resistensi insulin yang tetap bertahan lama. Lemak dalam hati dari pasien-pasien dengan NASH diperkirakan menghilang dengan timbulnya sirosis, dan ini telah membuatnya sulit untuk dokter-dokter untuk membuat hubungan antara NASH dan sirosis kriptogenik untuk suatu waktu yang lama. Satu petunjuk yang penting bahwa NASH menjurus pada sirosis kriptogenik adalah penemuan dari suatu kejadian yang tinggi dari NASH pada hati-hati yang baru dari pasien-pasien yang menjalankan pencangkokan hati untuk sirosis kriptogenik. Akhirnya, suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-pasien dengan NASH mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang serupa seperti pasien-pasien dengan infeksi virus hepatitis C yang tetap bertahan lama. Bagaimanapun, kemajuan ke sirosis dari NASH diperkirakan lambat dan diagnosis dari sirosis secara khas dibuat pada pasien-pasien pada umur enampuluhannya. 3. Hepatitis Virus Yang Kronis adalah suatu kondisi dimana hepatitis B atau hepatitis C virus menginfeksi hati bertahun-tahun. Kebanyakan pasien-pasien dengan hepatitis virus tidak akan mengembangkan hepatitis kronis dan sirosis. Contohnya, mayoritas dari pasien-pasien yang terinfeksi dengan hepatitis A sembuh secara penuh dalam waktu berminggu-minggu, tanpa mengembangkan infeksi yang kronis. Berlawanan dengannya, beberapa pasien-pasien yang terinfeksi dengan virus hepatitis B dan kebanyakan pasien-pasien terinfeksi dengan virus hepatitis C mengembangkan hepatitis yang kronis, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dan adakalanya kanker-kanker hati. 4. Kelainan-Kelainan Genetik Yang Diturunkan/Diwariskan berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakkan jaringan dan sirosis. Contoh-contoh termasuk akumulasi besi yang abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada hemochromatosis, pasien-pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan. Melalui waktu, akumulasi besi pada organ-organ yang berbeda diseluruh tubuh menyebabkan sirosis, arthritis, kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal jantung, dan disfungsi (kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan rangsangan seksual. Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada organ-organ dengan mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah. Pada penyakit Wilson, ada suatu kelainan yang diwariskan pada satu dari protein-protein yang mengontrol tembaga dalam tubuh. Melalui waktu, tembaga berakumulasi dalam hati, mata-mata, dan otak. Sirosis, gemetaran, gangguan-gangguan psikiatris (kejiwaan) dan kesulitan-kesulitan syaraf lainnya terjadi jika kondisi ini tidak dirawat secara dini. Perawatan adalah dengan obat-obat oral yang meningkatkan jumlah tembaga yang dieliminasi dari tubuh didalam urin. 5. Primary biliary cirrhosis (PBC) adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistim imun yang ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus, dan juga campuran-campuran lain yang adalah produk-produk sisa, seperti pigmen bilirubin. (Bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua). Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-pembuluh empedu membuat saluran empedu. Pada PBC, kerusakkan dari pembuluh-pembuluh kecil empedu menghalangi aliran yang normal dari empedu kedalam usus. Ketika peradangan terus menerus menghancurkan lebih banyak pembuluh-pembuluh empedu, ia juga menyebar untuk menghancurkan sel-sel hati yang berdekatan. Ketika penghancuran dari hepatocytes menerus, jaringan parut (fibrosis) terbentuk dan menyebar keseluruh area kerusakkan. Efek-efek yang digabungkan dari peradangan yang progresif, luka parut, dan efek-efek keracunan dari akumulasi produk-produk sisa memuncak pada sirosis. 6. Primary sclerosing cholangitis (PSC) adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada pasien-pasien dengan radang borok usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice (kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis. Pada beberapa pasien-pasien, luka pada pembuluh-pembuluh empedu (biasanya sebagai suatu akibat dari operasi) juga dapat menyebabkan rintangan dan sirosis pada hati. 7. Hepatitis Autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistim imun yang ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas imun yang abnromal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif, menjurus akhirnya pada sirosis. 8. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia) dan akhirnya mengembangkan sirosis. Bayi-bayi lain dilahirkan dengan kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin). 9. Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi yang tidak umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati dan sirosis. Klasifikasi Sirosis Hati Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh : Skor/parameter 1 2 3 Bilirubin(mg %) < 2,0 2 - < 3 > 3,0 Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8 Protrombin time (Quick %) > 70 40 - < 70 < 40 Asites 0 Min. – sedang (+) – (++) Banyak (+++) Hepatic Ensephalopathy Tidak ada Stadium 1 & 2 Stdium 3 & 4 Gejala sirosis hati Gejala yang timbul tergantung pada tingkat berat sirosis hati yang terjadi. Sirosis Hati dibagi dalam tiga tingkatan yakni Sirosis Hati yang paling rendah Child A, Child B, hingga pada sirosis hati yang paling berat yakni Child C. Gejala yang biasa dialami penderita sirosis dari yang paling ringan yakni lemah tidak nafsu makan, hingga yang paling berat yakni bengkak pada perut, tungkai, dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik pada tubuh penderita terdapat palmar eritem, spider nevi. Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis yang lebih umum termasuk: 1. Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah 2. Asites, edema pada tungkai 3. Hipertensi portal 4. Kelelahan 5. Kelemahan 6. Kehilangan nafsu makan 7. Gatal 8. Mudah memar dari pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh hati yang sakit. Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada keadaan koma. Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam. Patofisologi Sirosis Hati Hubungan hati terhadap darah adalah unik. Tidak seperti kebanyakan organ-organ tubuh, hanya sejumlah kecil darah disediakan pada hati oleh arteri-arteri. Kebanyakan dari penyediaan darah hati datang dari vena-vena usus ketika darah kembali ke jantung. Vena utama yang mengembalikan darah dari usus disebut vena portal (portal vein). Ketika vena portal melewati hati, ia terpecah kedalam vena-vena yang meningkat bertambah kecil. Vena-vena yang paling kecil (disebut sinusoid-sinusoid karena struktur mereka yang unik) ada dalam kontak yang dekat dengan sel-sel hati. Faktanya, sel-sel hati berbaris sepanjang sinusoid-sinusoid. Hubungan yang dekat ini antara sel-sel hati dan darah dari vena portal mengizinkan sel-sel hati untuk mengeluarkan dan menambah unsur-unsur pada darah. Sekali darah telah melewati sinusoid-sinusoid, ia dikumpulkan dalam vena-vena yang meningkat bertambah besar yang ahirnya membentuk suatu vena tunggal, vena hepatik (hepatic veins) yang mengembalikan darah ke jantung. Pada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Meskipun sel-sel hati yang selamat atau dibentuk baru mungkin mampu untuk menghasilkan dan mengeluarkan unsur-unsur dari darah, mereka tidak mempunyai hubungan yang normal dan intim dengan darah, dan ini mengganggu kemampuan sel-sel hati untuk menambah atau mengeluarkan unsur-unsur dari darah. Sebgai tambahan, luka parut dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati. Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu kondisi yang disebut hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir kembali ke jantung, vena-vena dengan tekanan-tekanan yang lebih rendah yang membypass hati. Hati tidak mampu untuk menambah atau mengeluarkan unbsur-unsur dari darah yang membypassnya. Merupakan kombinasi dari jumlah-jumlah sel-sel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara darah yang melewati hati dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang menjurus pada banyaknya manifestasi-manifestasi dari sirosis. Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal (1). Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg (2). Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik). Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta. Usaha penyelamat hidup seperti tindakan pembedahan endoskopik atau pemberian obat-obatan terus berkembang. Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat merupakan syarat mutlak. Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal. Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obs-truksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya. Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati dan saluran-saluran melalui mana empedu mengalir. Empedu adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh sel-sel hati yang mempunyai dua fungsi yang penting: membantu dalam pencernaan dan mengeluarkan dan menghilangkan unsur-unsur yang beracun dari tubuh. Empedu yang dihasilkan oleh sel-sel hati dikeluarkan kedalam saluran-saluran yang sangat kecil yang melalui antara sel-sel hati yang membatasi sinusoid-sinusoid, disebut canaliculi. Canaliculi bermuara kedalam saluran-saluran kecil yang kemudian bergabung bersama membentuk saluran-saluran yang lebih besar dan lebih besar lagi. Akhirnya, semua saluran-saluran bergabung kedalam satu saluran yang masuk ke usus kecil. Dengan cara ini, empedu mencapai usus dimana ia dapat membantu pencernaan makanan. Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur beracun yang terkandung dalam empedu masuk ke usus dan kemudian dihilangkan/dikeluarkan dalam tinja/feces. Pada sirosis, canaliculi adalah abnormal dan hubungan antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak, tepat seperti hubungan antara sel-sel hati dan darah dalam sinusoid-sinusoid. Sebagai akibatnya, hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur beracun secara normal, dan mereka dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu tingkat yang kecil, pencernaan dalam usus juga berkurang. Ada tiga jenis pembuluh darah yaitu arteri, vena dan kapiler. Arteri membawa darah dari jantung dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tubuh melalui cabang-cabangnya. Arteri yang terkecil (diameter < 0,1 mm) disebut arteriola. Persatuan antara cabang-cabang arteri disebutanastomosis. End artery anatomic yang cabang-cabang terminalnya tidak beranastomosis dengan cabang-cabang arteri yang mendarahi daerah yang berdekatan. End artery fungsional adalah pembuluh darah yang cabang-cabangnya beranatomosis dengan cabang-cabang terminal arteri yang ada di dekatnya, tetapi besarnya anatomosis tidak cukup untuk mempertahankan jaringan tetap hidup bila salah satu arteri tersumbat. Vena adalah pembuluh yang membawa darah kembali ke jantung, banyak diantaranya mempunyai katup. Vena terkecil disebut venula. Vena yang lebih besar atau muara-muaranya, bergabung membentuk vena yang lebih besar dan biasanya membentuk hubungan satu dengan yang lain menjadi plexus venosus. Arteri propunda yang berukuran sedang sering diikuti oleh dua buah vena, masing-masing berjalan di sisinya disebut venae comitantes. Vena yang keluar dari trachtus gastrointestinal tidak langsung menuju ke jantung tetapi bersatu membentuk vena porta. Vena ini masuk ke hati dan kembali bercabang-cabang menjadi vena yang ukurannya lebih kecil dan akhirnya bersatu dengan pembuluh menyerupai kapiler di dalam hati yang disebut sinusoid. Sistem portal adalah sistem pembuluh yang terletak diantara dua jejari kapiler. Anastomosis portal-sistemik Oeshophagus mempunyai tiga buah penyempitan anatomis dan fisiologis. Yang pertama di tempat faring bersatu dengan ujung atas oeshopagus, yang kedua di tempat arcus aorta dan bronkus sinister menyilang permukaan anterior oeshophagus dan yang ketiga terdapat di tempat oeshopagus melewati diaphragma untuk masuk kegaster. Penyempitan-penyempitan ini sangat penting dalam klinik karena merupakan tempat benda asing yang tertelan tertambat atau alat esofagoskop sulit dilewatkan. Karena jalannya makanan atau minuman lebih lambat pada tempat-tempat ini, maka dapat timbul striktura atau penyempitan di daerah ini setelah meminum cairan yang mudah terbakar dan kororsif atau kaustik. Penyempitan ini juga merupakan tempat yang lazim untuk kanker oeshopagus. Dalam keadaan normal, darah di dalam vena portae hepatis melewati hati dan masuk ke vena cava inferior, yang merupakan sirkulasi vena sistemik melalui venae hepaticae. Rute ini merupakan jalan langsung. Akan tetapi, selain itu terdapat hubungan yang lebih kecil di antara sistem portal dan sistem sistemik, dan hubungan penting jika hubungan langsung tersumbat 1. Pada sepertiga bawah oeshophagus, rami oeshophagei vena gastrica sinistra (cabang portal) beranastomosis dengan venae oesophageales yang mengalirkan darah dari sepertiga tengah oeshopagus ke vena azygos (cabang sistemik).5 2. Pada pertangaan atas canalis analis, vena rectalis superior (cabang portal) yang mengalirkan darah dari setengah bagian atas canalis analis dan beranastomosis dengan vena rectalis media dan vena rectalis inferior (cabang sistemik), yang masing-masing merupakan cabang vena iliaca interna dan vena pudenda interna.5 3. Vanae paraumbilicales menghubungkan ramus sinistra vena portae hepatis dan venae superficiales dinding anterior abdomen (cabang sistemik). Venae para umbilicales berjalan di dalam ligamentum falciforme dan ligamentum teres hepatis.5 4. Vena-vena colon ascendens, colon descendens, duodenum, pancreas, dan hepar (cabang portal) beranastomosis dengan vena renalis, vena lumbalis, dan venae phrenicae (cabang sistemik).5 Sirkulasi portal di mulai dari vena-vena yang berasal dari lambung, usus, limpa dan pankreas, vena porta, hepar, vena hepatika, dan vena cava. Vena-vena yang membentuk sistem portal adalah vena porta, vena mesenterika superior dan inferior, vena splanikus dan cabang-cabangnya. Vena porta sendiri dibentuk dari gabungan vena splanikus dan vena mesenterika superior. Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas, dan kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior. Vena porta terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limfe dan usus, guna darah ini membawa zat makanan ke hati yang telah di observasi oleh mukosa dan usus halus. Besarnya kira-kira berdiameter 1 mm. Yang satu dengan yang lain terpisah oleh jaringan ikat yang membuat cabang pembuluh darah ke hati, cabang vena porta arteri hepatika dan saluran empedu dibungkus bersama oleh sebuah balutan dan membentuk saluran porta. Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hati dan setiap lobulus disaluri oleh sebuah pembuluh Sinusoid darah atau kapiler hepatika. Pembuluh darah halus berjalan di antara lobulus hati disebut Vena interlobuler. Dari sisi cabang-cabang kapiler masuk ke dalam bahan lobulus yaitu Vena lobuler. Pembuluh darah ini mengalirkan darah dalam vena lain yang disebut vena sublobuler, yang satu sama lain membentuk vena hepatica. Empedu dibentuk di dalam sela-sela kecil di dalam sel hepar melalui kapiler empedu yang halus/korekuli. Dengan berkontraksi dinding perut berotot pada saluran ini mengeluarkn empedu dari hati. Dengan cara berkontraksi, dinding perut berotot pada saluran ini mengeluarkanempedu. Komplikasi-Komplikasi Sirosis Hepatis 1. Edema dan ascites Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Sebenarnya, tipe dari tekanan apa saja, seperti dari pita elastik kaos kaki, mungkin cukup untk menyebabkan pitting). Pembengkakkan seringkali memburuk pada akhir hari setelah berdiri atau duduk dan mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat dari kehilnagan efek-efek gaya berat ketika berbaring. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat. 2. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare, dan memburuknya ascites. 3. Perdarahan dari Varices-Varices Kerongkongan (esophageal varices) Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung. Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam kerongkongan (esophagus) atau lambung. Perdarahan dari varices-varices biasanya adalah parah/berat dan, tanpa perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices-varices termasuk muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang belakangan disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati usus (melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic dizziness) atau membuat pingsan (disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri dari suatu posisi berbaring). Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname karena perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis. 4. Hepatic encephalopathy Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihliangkan racunnya). Seperti didiskusikan sebelumnya, ketika sirosis hadir, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal karena mereka rusak atau karena mereka telah kehilangan hubungan normalnya dengan darah. Sebagai tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal membypass hati melalui vena-vena lain. Akibat dari kelainan-kelainan ini adalah bahwa unsur-unsur beracun tidak dapat dikeluarkan oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, unsur-unsur beracun berakumulasi dalam darah. Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian. Unsur-unsur beracun juga membuat otak-otak dari pasien-pasien dengan sirosis sangat peka pada obat-obat yang disaring dan di-detoksifikasi secara normal oleh hati. Dosis-dosis dari banyak obat-obat yang secara normal di-detoksifikasi oleh hati harus dikurangi untuk mencegah suatu penambahan racun pada sirosis, terutama obat-obat penenang (sedatives) dan obat-obat yang digunakan untuk memajukan tidur. Secara alternatif, obat-obat mungkin digunakan yang tidak perlu di-detoksifikasi atau dihilangkan dari tubuh oleh hati, contohnya, obat-obat yang dihilangkan/dieliminasi oleh ginjal-ginjal. 5. Hepatorenal syndrome Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan menghasilkan jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-fungsi penting lain dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam, dipelihara/dipertahankan. Jika fungsi hati membaik atau sebuah hati yang sehat dicangkok kedalam seorang pasien dengan hepatorenal syndrome, ginjal-ginjal biasanya mulai bekerja secara normal. Ini menyarankan bahwa fungsi yang berkurang dari ginjal-ginjal adalah akibat dari akumulasi unsur-unsur beracun dalam darah ketika hati gagal. Ada dua tipe dari hepatorenal syndrome. Satu tipe terjadi secara berangsur-angsur melalui waktu berbulan-bulan. Yang lainnya terjadi secara cepat melalui waktu dari satu atau dua minggu. 6. Hepatopulmonary syndrome Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas pada sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan dengan alveoli (kantung-kantung udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan tenaga. 7. Hypersplenism Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter) untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah) yang lebih tua. Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut. Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan kelemahan, leucopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang diperpanjang (lama). 8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma) Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati. Pemeriksaan Diagnostik : • Skan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati • Kolesistogrfai/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang mungkin sebagai factor predisposisi. • Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus • Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi system vena portal Pemeriksaan Laboratorium : Bilirubin serum, AST(SGOT)/ALT(SPGT),LDH, Alkalin fosfotase, Albumin serum, Globulin, Darh lengkap, masa prototrombin, Fibrinogen, BUN, Amonia serum, Glukosa serum, Elektrolit, kalsium, Pemeriksaan nutrient, Urobilinogen urin, Urobilinogen fekal. Penatalaksanaan Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa : 1. Simtomatis 2. Supportif, yaitu : a. Istirahat yang cukup b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin c. Pengobatan berdasarkan etiologi Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan, pengobatan IFN seperti : a) kombinasi IFN dengan ribavirin b) terapi induksi IFN c) terapi dosis IFN tiap hari • Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu. • Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggudengan atau tanpa kombinasiRIB • Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati. 3. Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti ; 1. Astises 2. Spontaneous bacterial peritonitis 3. Hepatorenal syndrome 4. Ensefalophaty hepatic Asites Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas : - istirahat - diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat. - Diuretik Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utamadiuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid. Terapi lain : Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaandemikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP) Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyaki timbul selama masa perawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari)selama 2-3 minggu. Hepatorenal Sindrome Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang nefrotoxic.Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan : - Pasien diistirahatkan daan dpuasakan - Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi - Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah. - Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K, Vasopressin., Octriotide dan Somatostatin Ensefalopati Hepatik Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada penderita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terbukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan. Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. Manajemen Nutrisi Diet Garam Rendah I (DGR I) Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na. Diet Hati I (DH I) Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari. Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa. Diet Hati II (DH II) Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I. Diet Hati III (DH III) Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak, mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat. Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati III Garam Rendah I Penanganan Sirosis Hati Berdasarkan Evidence Based (EBN) 1. Diet tempe pada sirosis hati sebagai upaya meningkatkan kadar albumin dan perbaikan ensefalopati hepatic. Pada penelitian ini membandingkan antara diet hati II dan III (diet konvensional) dengan diet tempe dalam meningkatkan kadar albumin darah dan menurunkan derjat ensepalohetik selama 20 hari. Dan hasilnya diet tempe dapat meningkatkan albumin darah, menurunkan ammonia dalam darah, meningkatkan psikomotor dan menurunkan ensefalopatik hepatic. 2. Diet masukan protein pada pasien ensefalohepatik dan Sirosis hepatic yang dilakukan oleh beberapa ahli gizi. Dari beberapa ahli gizi berbeda pendapat mengenai batasan protein yang diberikan pada pasien sirosis hepatic, namun pada pelaksaannya tetap mengacu pada konsesnsus ESPEN tentang nutrisi pada pasien dengan penyakit hati yang kronik, yaitu : Kondisi Klinis Energi/Non protein (K.cal/Kg) Protein (g/Kg) Sirosis yang dapat mengkompensasi komplikasi. 25 – 35 1,0 – 1,2 Intake yang tidak adekuat dan malnutrisi 35 – 40 1,5 Ensepalopathy I - II 25 – 35 Pada fase transisi 0,5 kemudian 1,0 – 1,5 , jika ditoleransi : diberikan protein nabati. Suplemen BCAA Ensepalopathy III -IV 25 – 35 0,5 – 1,2, Suplemen BCAA Jika menggunakan nutrisi parenteral , kalori non protein yang didalamnya terkandung lemak dan glukosa sekitar 35 – 50 %. DAFTAR PUSTAKA 1. Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders 2. Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh edition. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins 3. Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. USA: Mosby 4. McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). USA: Mosby 5. Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC 6. Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with hepatic encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT. Diakses pada tanggal 3 mei 2009 dari : http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive- 7. Ratnasari, Nurdjanah. 2001. Diet tempe kedelai pada penderita sirosis hepatic sebagai upaya meningkatkan albumin dan perbaikan ensefalopati hepatic. Jurnal Cermin kedokteran. Jakarta : Temprint 8. Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam USU. 9. Krenitsky. 2002. Nutrition for patient with hepatic failure. Diakses tanggal 3 mei 2009Dari : http://www.mja.com.au/public/issues/185_10_201106/hey10248_fm.pdf

ASKEP Benda Asing Pada Telinga

ASKEP Benda Asing Pada Telinga A.KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Pengertian Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar. Benda asing merupakan benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada. Telinga sering kemasukan benda asing. Kadang-kadang benda dapat masuk. Bila kemasukan benda asing di telinga, tentu saja terjadi penurunan pendengaran. Terkadang benda asing dapat masuk tanpa sengaja ke dalam telinga orang dewasa yang mencoba membersihankan kanalis eksternus atau mengurangi gatal atau dengan sengaja anak-anak memasukkan benda tersebut ke dalam telinganya sendiri.Namun, terkadang sering dianggap enteng oleh setiap orang. Pada anak, anak tak melaporkan keluhannya sebelum timbul keluhan nyeri akibat infeksi di telinga tersebut, lama-lama telinganya berbau. Jika hal ini terjadi, orang tua patut mencurigainya sebagai akibat kemasukan benda asing. Jangan menanganinya sendiri karena bisa-bisa benda yang masuk malah melesak ke dalam karena anatomi liang telinga yang berlekuk. Di telinga banyak terdapat saraf-saraf dan bisa terjadi luka. Benda yang masuk biasanya hanya bisa dikeluarkan oleh dokter THT dengan menggunakan peralatan dan keahlian khusus 2. Etiologi Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan benda asing diliang telinga yaitu : • Faktor kesengajaan, biasanya terjadi pada anak-anak balita. • Faktor kecerobohan sering terjadi pada orang dewasa sewaktu menggunakan alat alat pembersih telinga misalnya kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di dalam telinga, yang terakhir adalah faktor kebetulan terjadi tanpa sengaja dimana benda asing masuk kedalam telinga contoh masuknya serangga, kecoa, lalat dan nyamuk. Berikut beberapa benda asing yang sering masuk ke telinga dan penangangan pertama yang bisa dilakukan: a. Air Sering kali saat kita heboh mandi, berenang dan keramas, membuat air masuk ke dalam telinga. Jika telinga dalam keadaan bersih, air bisa keluar dengan sendirinya. Tetapi jika di dalam telinga kita ada kotoran, air justru bisa membuat benda lain di sekitarnya menjadi mengembang dan air sendiri menjadi terperangkap di dalamnya. Segera kunjungi dokter THT untuk membersihkan kotoran kuping yang ada. b. Cotton Buds Cotton buds tidak di anjurkan secara medis untuk membersihkan telinga. Selain kapas bisa tertinggal di dalam telinga, bahaya lainnya adalah dapat menusuk selaput gendang bila tidak hati-hati menggunakannya. c. Benda-benda kecil Anak-anak kecil sering tidak sengaja memasukkan sesuatu ke dalam telinganya. Misalnya, manik-manik mainan. Jika terjadi, segera bawa ke dokter THT. Jangan coba-coba mengeluarkannya sendiri, karena bisa menimbulkan masalah baru. Di ruang praktek, dokter mempunyai alat khusus untuk mengeluarkan benda tersebut. d. Serangga Bila telinga sampai kemasukan semut, berarti ada yang salah dengan bagian dalam telinga. Pada prinsipnya, telinga punya mekanisme sendiri yang dapat menghambat binatang seperti semut untuk tidak masuk ke dalam. 3. Manifestasi klinik Efek dari masuknya benda asing tersebut ke dalam telinga dapat berkisar di tanpa gejala sampai dengan gejala nyeri berat dan adanya penurunan pendengaran. • Merasa tidak enak ditelinga : Karena benda asing yang masuk pada telinga, tentu saja membuat telinga merasa tidak enak, dan banyak orang yang malah membersihkan telinganya, padahal membersihkan akan mendoraong benda asing yang mauk kedalam menjadi masuk lagi. • Tersumbat : Karena terdapat benda asing yang masuk kedalam liang telinga, tentu saja membuat telinga terasa tersumbat. • Pendengaran terganggu : Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. • Rasa nyeri telinga / otalgia Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi telinga akibat benda asing. • Pada inspeksi telinga akan terdapat benda asing 4. Patofisiologi Benda asing yang masuk ke telinga biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara lain pada anak – anak yaitu factor kesengajaan dari anak tersebut , factor kecerobohan misalnya menggunakan alat-alat pembersih telinga pada orang dewasa seperti kapas, korek api ataupun lidi serta factor kebetulan yang tidak disengaja seperti kemasukan air, serangga lalat , nyamuk dll. Masukknya benda asing ke dalam telinga yaitu ke bagian kanalis audiotorius eksternus akan menimbulkan perasaaan tersumbat pada telinga, sehingga klien akan berusaha mengeluarkan benda asing tersebut. Namun, tindakan yang klien lakukan untuk mengeluarkan benda asing tersebut sering kali berakibat semakin terdorongnya benda asinr ke bagian tulang kanalis eksternus sehingga menyebabkan laserasi kulit dan melukai membrane timpani. Akibat dari laserasi kulit dan lukanya membrane timpanai, akan menyebabkan gangguan pendengaran , rasa nyeri telinga/ otalgia dan kemungkinan adanya risiko terjadinya infeks 5. Pemeriksaan Penunjang B. a. Pemeriksaan dengan Otoskopik Caranya : - Bersihkan serumen - Lihat kanalis dan membran timpani Interpretasi : - Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi - Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang gendang. - Kemungkinan gendang mengalami robekan. b. Pemeriksaan Ketajaman Test penyaringan sederhana 1. Lepaskan semua alat bantu dengar 2. Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga 3. Berdirilah dengan jarak 30 cm 4. Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut) 5. Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam c. Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala Uji weber 1. Menguji hantaran tulang (tuli konduksi) 2. Pegang tangkai garpu tala, pukulkan pada telapak tangan 3. Letakan tangkai garpu tala pada puncak kepala pasien. 4. Tanyakan pada pasien, letak suara dan sisi yang paling keras. Interpretasi 1. Normal: suara terdengar seimbang (suara terpusat pada ditengah kepala) 2. Tuli kondusif: suara akan lebih jelas pada bagian yang sakit (obstruksi: otosklerosis, OM) akan menghambat ruang hampa. 3. Tuli sensorineural: suara lateralisasi kebagian telinga yang lebih baik. d. Uji Rine 1. Membandingkan konduksi udara dan tulang 2. Pegang garpu tala, pukulkan pada telapak tangan 3. Sentuhkan garpu tala pada tulang prosesus mastoid, apabila bunyi tidak terdengar lagi pindahkan kedepan lubang telinga (2 cm) 4. Tanyakan pasien, kapan suara tak terdengar (hitungan detik) 5. Ulangi pada telinga berikutnya Interpretasi 1. Normal: terdengar terus suara garpu tala. 2. Klien dengan tuli kondusif udara: mendengar garpu tala lebih jelas melalui konduksi tulang (Rinne negatif) 6. Pencegahan Usaha pencegahan a. Kebiasaan terlalu sering memakai cottonbud untuk membersihkan telinga sebaiknya dijauhi karena dapat menimbulkan beberapa efek samping: kulit teling kita yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang berguna untuk membuat gerakan menyapu kotoran di telinga kita akan rusak, sehingga mekanisme pembersihan alami ini akan hilang. Jika kulit kita lecet dapat terjadi infeksi telinga luar yang sangat tidak nyaman dan kemungkinan lain bila anda terlalu dalam mendorong Cottonbud, maka dapat melukai atau menembus gendang telinga. b. Hindarkan memberi mainan berupa biji-bijian pada anak-anak, dapat tejadi bahaya di atas atau juga dapat tertelan dan yang fatal dapat menyumbat jalan nafas. 7. Penatalaksanaan • Ekstrasi benda asing dengan menggunakan pengait atau pinset atau alligator (khususnya gabah). Pada anak yang tidak kooperatif, sebaiknya dikeluarkan dalam narcosis umum, agar tidak terjadi komplikasi pada membrane timapani. • Bila benda asing berupa binatang atau serangga yang hidup, harus dimatikan dulu dengan meneteskan pantokain,xylokain,minyak atau alcohol kemudian dijepit dengan pinset. Usaha pengeluaran harus dilakukan dengan hati- hati biasanya dijepit dengan pinset dan ditarik keluar. Bila pasien tidak kooperatif dan beresiko merusak gendang telinga atau struktur- struktur telinga tengah, maka sebaiknya dilakukan anastesi sebelum dilakukan penatalaksanaan. Jika benda asing serangga yang masih hidup, harus dimatikan terlebih dahulu dengan meneteskan larutan pantokain, alcohol, rivanol atau minyak. Kemudian benda asing dikait dengan pinset atau klem dan ditarik keluar. Setelah benda asing keluar, liang telinga dibersihkan dengan larutan betadin. Bila ada laserasi liang telinga diberikan antibiotik ampisilin selama 3 hari dan analgetik jika perlu. Benda asing seperti kertas, busa, bunga, kapas, dijepit dengan pinset dan ditarik keluar. Benda asing yang licin dan keras seperti batu, manik-manik, biji- bijian pada anak yang tidak kooperatif dilakukan dengan narkose. Dengan memakai lampu kepala yang sinarnya terang lalu dikeluarkan dengan pengait secara hati-hati karena dapat menyebabkan trauma pada membran timpani. Pengambilan benda asing dari kanalis audiotorius eksternus merupakan tantangan bagi petugas perawatan kesehatan. Banyak benda asing (misalnya : kerikil, mainan, manik-manik, penghapus) dapat diambil dengan irigasi kecuali ada riwayat perforasi lubang membrana timpani. Benda asing dapat terdorong secara lengkap ke bagian tulang kanalis yang menyebabkan laserasi kulit dan melubangi membrana timpani pada anak kecil atau pada kasus ekstraksi yang sulit pada orang dewasa. Pengambilan benda asing harus dilakukan dengan anatesia umum di kamar operasi. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Riwayat masuknya benda asing pada telinga Tanyakan kepada klien mengenai proses terjadinya peristiwa benda asing masuk ke telinga, apa jenis benda asing yang masuk apakah itu serangga, manik-manik, kerikil dll, tindakan yang sudah dilakukan di rumah. b. Riwayat kesehatan 1) Keluhan utama saat MRS Penderita biasanya mengeluhkan pendengarannya mulai menurun, nyeri, rasa tidak enak ditelinga. 2) Riwayat kesehatan masa lalu Riwayat kesehtan masa lalu yang berhubungan degan gangguan pendengaran karena benda asing adalah kebiasaan dan kecerobohan membersihkan telinga yang tidak benar . 3) Riwayat kesehatan keluarga Meliputi penggambaran lengkap masalah telinga, termasuk infeksi, otalgia, otorea, kehilangan pendengaran. Data dikumpulkan mengenai durasi dan intensitas masalahnya, penyebabnya dan penanganan sebelumnya. 4) Pemeriksaan Fisik Inspeksi¬ Insfeksi daun telinga Caranya:♣ • Dewasa: ditarik keatas-kebelakang • Anak: Kebelakang • Bayi: kebawah Diperhatikan:♣ • Posisi • Warna • Ukuran • Bentuk • Kesimetrisan • Seluruh permukaan dan lateral ¬ P al p asi • Palpasi daun telinga: tekstur, nyeri pembengkakan dan nodul- nodul. • Palpasi prosesus mastoideus: nyeri, pembengkaka dan nodul. • Lakukan penarikan terhadap lobus lunak bagian bawah. 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut b.d. agen cedera biologis, fisik ,kimia b. Gangguan sensori persepsi (auditori) b.d. perubahan sensori persepsi c. Risiko infeksi b.d. laserasi kulit dan trauma membran timpani d. Kurang pengetahuan b.d.kurang terpaparnya informasi tentang penyakit, pengobatan, . Perencanaan Keperawatan Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional Nyeri akut b.d. agen cedera biologis, fisik , kimia Setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeri pasien dapat berkurang, KH: - Melaporkan nyeri berkurang/ terkontrol. - Menunjukkan ekspresi wajah/ postur tubuh rileks. 1. Observasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter dan intensitas skala nyeri (0-10 ) 2. Ajarkan tehnik relaksasi progresif, nafas dalam guided imagery. 3. Kolaborasi: Berikan obat analgetik sesuai indikasi 1. Dapat mengidentifikasi terjadinya komplikasi dan untuk intervensi selanjutnya. 2. Membantu klien untuk mengurangi persepsi nyeri atau mangalihkan perhatian klien dari nyeri. 3. Membantu mengurangi nyeri Gangguan sensori persepsi (auditori) b.d. perubahan sensori persepsi Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan ketajaman pendengaran pasien meningkat, KH: - Pasien dapat mendengar dengan baik tanpa alat bantu pendengaran, mampu menentukan letak suara dan sisi paling keras dari garputala, membedakan suara jam dengan gesekan tangan - Pasien tidak meminta mengulang setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya 1. Observasi ketajaman pendengaran, catat apakah kedua telinga terlibat 2. Berikan lingkungan yang tenang dan tidak kacau , jika diperlukan seperti musik lembut 3. Anjurkan pasien dan keluarganya untuk mematuhi program terapi yang diberikan 1. Mengetahui tingkat ketajaman pendengaran pasien dan untuk menentukan intervensi selanjutnya. 2. Membantu untuk menghindari masukan sensori pendengaran yang berlebihan dengan mengutamakan kualitas tenang 3. Mematuhi program terapi akan mempercepat proses penyembuhan Risiko infeksi b.d. laserasi kulit dan trauma membran timpani Setelah diberikan asuhan keperawatan, risiko infeksi tidak terjadi, KH: - Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ( kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa) - Tanda- tanda vital dalam batas normal 1. Observasi adanya tanda- tanda terjadinya infeksi ( kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsiolesa) 2. Observasi tanda-tanda vital 3. Pertahankan tehnik aseptik dalam melakukan tindakan 4. Kolaborasi: Berikan antibiotika sesuai indikasi 1. Mengetahui tanda-tanda terjadinya infeksi dan indicator dalam melakukan intervensi selanjutnya 2. Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital. 3. Tindakan aseptik saat merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi. 4. Menurunkan kolonisasi bakteri atau jamur dan menurunkan risiko infeksi Kurang pengetahuan b.d.kurang terpaparnya informasi tentang penyakit, pengobatan Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan yang bersangkutan, KH: - Melaporkan pemahaman mengenai penyakit yang dialami - Menanyakan tentang pilihan terapi yang merupakan petunjuk kesiapan belajar 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien. 2. Berikan informasi pada pasien tentang perjalanan penyakitnya. 3. Berikan penjelasan pada pasien tentang setiap tindakan keperawatan yang diberikan. 1. Mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien tentang penyakitnya serta indikator dalam melakukan intervensi 2. Meningkatkan pemahaman klien tentang kondisi kesehatan 3. Mengurangi tingkat kecemasan dan membantu meningkatkan kerjasama dalam mendukung program terapi yang diberikan

ASKEP PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA KRONIK

ASKEP PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA KRONIK OTITIS MEDIA KRONIK I.Pengertian Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada orang dewasa (Soepardi, 1998). Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani. II.Penyebab / Etiologi Streptococcus. Stapilococcus. Diplococcus pneumonie. Hemopilus influens. Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus. Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli. Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru. Otitis Media Otitis media supuratif Otitis media non Supuratif (Otitis media serosa) Otitis media akut (OMA) Otitis media serosa akut (lebih 2 bulan) Otitis media supuratip kronis Otitis media serosa kronis (OMSK) (Glue ear) III.Diagnosis 1.Anamnesis Otorea terus menerus / kumat – kumatan lebih dari 6 – 8 minggu Pendengaran menurun (Tuli). 2.Pemeriksaan b)Tipe tubotimpanal (Hipertrofi, benigna).(382.1). a)Perforasi sentral b)Mukosa menebal c)Audiogram: Tuli konduktif dengan “air bone gab” sebesar kl 30 dB d)X – foto mastoid : Sklerotik. c)Tipe degeneratif (382.1). a)Perforasi sentral besar b)Granulasi atau polip pada mukosa kavum timpani c)Audiogram : tuli konduktif/campuran dengan penurunan 50 – 60 dB d)X-foto mastoid : sklerotik. d)Tipe metaplastik (atikoantral, maligna). (385.3) a)Perforasi atik atau marginal b)Terdapat kolesteatom c)Desttruksi tulang pada margotimpani d)Audiogram : tuli konduktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih. e)X- foto mastoid : sklerotik/rongga. e)Tipe campuran (degeneratif, metaplastik). (385.3) a)Perforasi marginal besar atau total b)Granulasi dan kolesteatom c)Audiogram : tuli konuktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih d)X- foto mastoid : sklerotik / rongga. 3.Pemeriksaan tambahan : Pembuatan audiogram dan X- foto mastoid (seperti diatas). IV.Penyulitan 1.Abses retro airkula (383.0) 2.Paresis atau paralisis syaraf fasialis (351) 3.Komplikasi intrakranial : Meningitis Abses ekstradural Abses otak V.Terapi 1.Tipe tubetimpanal stadium aktif: Antibiotik : Ampisilin / Amoksilin, (3-4 X 500 mg oral) atau klidomisin (3 X 150 – 300 mg oral) Per hari selama 5 –7 hari Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya Perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (Klora menikol 1- 2%) Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. ICOPIM (5. 194). 2.Tipe degeneratif : Atikoantrotomi (5.203) Timpanoplastik (5.195). 3.Tipe meta plastik / campuran Mastoidektomi radikal (5.203) Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi. Untuk OMK dengan penyulit : Abses retroaurikuler 1.Insisi abses 2.Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari dan metronidazol X 250 – 500mg oral / sup / hari. 3.Mastoid dektomi radikal urgen. Paresis atau paralisis syaraf fasialis 1.Menentukan lokasi lesi : supra atau infraDengan test Scrimer ganglion lesi di bawahRefleks stapedeus : Positif : N. Stapedeus lesi di atasnyaNegatif : Tes pengecapan pada lidah : Positif :  lesi di bawah korda timpani Negatif : lesi di atasnya 2.Mastoidektomi urgen dan dekompresi saraf fasialis 3.Rehabilitasi. Labiringitis 1.Tes fistel 2.Mastoidektomi urgen. Meningitis 1.Perawatan bersama dengan bagian syaraf 2.Antibiotik: ampicilin 6 x 2-3 g/ hari i.v di tambah Kloranfenikol 4 x 1 G atau seftriakson 1 –2 g / hari i.v 3.Bila meningitis sudah tenang segera di lakukan mastoidektomi radikal. Absese ekstradural 1.Antibiotik : Ampisilin 4-6 X 2-3 gram/hari i.v 2.ditambah metronodazol 3 X 500mg Sup / hari. 3.Perawatan bersama dengan bagian bedah syaraf 4.Drainase abses oleh bagian bedah syaraf 5.Bila suadh tenang dilakukan matoiddektomi radikal ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN 1.Pengumpulan data i.Riwayat b)Identitas Pasien c)Riwayat adanya kelainan nyeri d)Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang e)Riwayat alergi. f)OMA berkurang. i.Pengkajian Fisik a)Nyeri telinga b)Perasaan penuh dan penurunan pendengaran c)Suhu Meningkat d)Malaise e)Nausea Vomiting f)Vertigo g)Ortore h)Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium. ii.Pengkajian Psikososial a)Nyeri otore berpengaruh pada interaksi b)Aktifitas terbatas c)Takut menghadapi tindakan pembedahan. iii.Pemeriksaan Laboratorium. iv.pemeriksaan Diagnostik a)Tes Audiometri : AC menurun b)X ray : terhadap kondisi patologi Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid. v.Pemeriksaan pendengaran a)Tes suara bisikan b)Tes garputala 2.DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.Nyeri berhubungan dengan proses peradangan 2.Gangguan sensori / presepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah 3.Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri 4.Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan 5.Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri, otore menurun ingaran 6.Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan presepsi pendengaran 7.Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan 3.INTERVENSI KEPERAWATAN Memberikan rasa nyaman Mengurangi rasa nyreri Beri aspirin/analgesik sesuai instruki Kompres dingin di sekitar area telinga Atur posisi Beri sedatif sesuai indikasi Mencegah penyebaran infeksi Ganti balutan tiap hari sesuai keadaan Observasi tanda – tanda infeksi lokal Ajarkan klien tentang pengobatan Amati penyebaran infeksi pada otak : To, menggigil, kaku kuduk. Monitor gangguan sesori Catat status pendengaran Ingatkan klien bahwa vertigo dan nausea dapat terjadi setelah radikal mastoidectomi karena gangguan telinga dalam. Berikan tindakan pengamanan. Perhatikan droping wajah unilateral atau mati rasa karena perlukaan (injuri) saraf wajah. H.E Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinu sesuai aturan Beritahu komplikasi yang mungkin terjadi dan bagaimana melaporkannya Tekankan hal – hal yang penting yang perlu di follow up,evaluasi pendengaran Terapi medik Antibiotik dan tetes telinga : Steroid Pengeluaran debris dan drainase pus untuk melindungi jaringan dari kerusakan : miringotomy Interfensi bedah Indikasi jika terdapat chaolesteatoma Indikasi jika terjadi nyeri, vertigo,paralise wajah, kaku kuduk, (gejala awal meningitis atau obses otak) Tipe prosedur Simpel mastoid decstomi Radical mastoiddectomi Posteronterior mastoiddectomi

ASUHAN KEPERAWATAN HIDROCEPALUS

ASUHAN KEPERAWATAN HIDROCEPALUS 22 08 2009 A. KONSEP MEDIS 1. PENGERTIAN Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS. 2. TANDA DAN GEJALA • Pembesaran kepala. • Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala: muntah, nyeri kepala, oedema papil. • Bola mata terdorong ke bawah oleh tekana dan penipisan tulang supraorbital. • Gangguan keasadaran, kejang. • Gangguan sensorik. • Penurunan dan hilangnya kemampuan akTivitas. • Perubahan pupil dilatasi. • Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun). • Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat, hipertermi,/ hipotermi). • Penurunan kemampuan berpikir. 3. PATOFISIOLOGI Produksi CSS normal adalah 125 cc/hari, produksi CSS terutama tergantung pada transporalselsan, terutama natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus koroideus ke dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam ventrikel otak. Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel keempat, masuk ke dalam ruang subarakhnoid melalui foramena lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi vena dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel. 4. ETIOLOGI Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kelainan kongenital. a. Stenosis akuaduktus sylvii. b. Anomali pembuluh darah. c. Spino bifida dan kranium bifidi. d. Sindrom Dandy-walker. 2. Infeksi. Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak) sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya meningitis. Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu: a. TORCH. b. Kista-kista parasit. c. Lues kongenital. 3. Trauma. Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS. 4. Neoplasma. Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara lain: a. Tumor ventrikel III. b. Tumor fossa posterior. c. Pailloma pleksus khoroideus. d. Leukemia, limfoma. 5. Degeneratif. Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe. 6. Gangguan vaskuler. a. Dilatasi sinus dural. b. Trombosis sinus venosus. c. Malformasi V. Galeni. d. Ekstaksi A. Basilaris. e. Arterio venosus malformasi. 5. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala dan tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak terdiagnosis sampai dewasa, dengan demikian perlu adanya ketelitian dlam menangani penderita yang diduga menderita hidrosefalus, mulai dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologis. a. Aloamnanesis/ amnanesis. Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus kongenital atau akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm dan merupakan kelahiran anak yang keberapa adalah penting sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Demikian juga riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas, perkembangan mental, kecerdasan serta riwayat nyeri kepala, muntah-muntah, gangguan visus dan adanya bangkitan kejang. b. Pemeriksaan fisik. Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-muntah. Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus. c. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat sebagai petunjuk penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan kadar protein yang amat sangat terdapat pada papiloma pleksus khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan kadar glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula blastama dan dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus. Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya infeksi yang disebabkan oleh TORCH. Penelitian sitologi kualitatif pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor. d. Pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta pelebaran sutura. Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-keadaan lain seperti adanya kalsifikasi periventrikuler sebagai tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis. Pemeriksaan ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya pelebaran sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi, dan untuk diagnosis kelainan selama masih dalam kandungan. Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran ventrikel. Disamping itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi cairan serebrospinal yaitu dengan menyuntikkan kontras radio opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras diikuti dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap cairan serebrospinal. Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau dilatasi ventrikel dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus kolosum kurang dari 120 menunjukkan hidrosefalus komunikan, bila lebih dari 120 mungkin hidrosefalus obstruksi. 6. MANAJEMEN TERAPI Ada 3 prinsip pengobatan hidrosefalus: 1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak sebagian pleksus khoroideus dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi. Akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain: • Diamox Cazetasolamoid. • Isosorbid. • Cairan osmotik (manitol, urea). • Kartikosteroid dan diuretik. • Fenobarbital. 2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan tempat absorbsi yakni menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid. 3. Pengeluaran CSS ke dalam rongga ekstra kranial dengan operasi pemasangan shunt. Operasi pemasangan shunt dilakukan sedini mungkin, tetapi biasanya dipasang pada usia 3-4 bulan, sedangkan revisi pada usia 18-24 bulan, 1-6 tahun, 10-12 tahun. Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna namun tidak dramatis dengan temuan operasi pisau. Jika tidak dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan memiliki kecerdasan hampir normal. Dengan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap dapat melampaui masa bayi, sekitar 40% dengan intelek normal, dan sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih buruk. B. KONSEP KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN Pengkajian preoperasi: Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-muntah. Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus. Adanya riwayat meningitis, infeksi intrakranial/ hemoragie, anoxia prenatal atau infeksi intrauterine. Pada bayi dan anak pembesaran lingkar kepala yang progresif, ubun-ubun yang menonjol dan tegang serta tidak berdenyut, vena-vena kulit kepala melebar, sunset sign, gelisah dan cengeng, sering mual, muntah dan nafsu makan menurun, bila diperkusi didapat bunyi seperti pot kembang pecah. Pada anak yang lebih besar gejala utama yang menonjol adalah peningkatan TIK, muntah dan mengeluh sakit kepala, iritabel, pupil edema kejang baik vokal maupun umum, perubahan pupil, perubahan pola makan, perubahan tanda vital (tekanan darah, sistol naik, nadi turun, nafas tidak teratur). 2. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Perfusi jaringan tidak efektif: Serebral b.d. Kerusakan transport oksigen, penurunan konsentarsi Hb dalam darah. 2. Risiko infeksi b.d. Faktor risiko: Prosedur invasif, penyakit kronik, tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder (Hb turun, leukopenia, penekanan respon inflamasi). 3. Risiko cidera b.d Faktor risiko: Penurunan Hb, gangguan sistem saraf pusat. 4. Kurang pengetahuan: penyakit, prosedur perawatan b.d. Kurangnya informasi DAFTAR PUSTAKA Hasan, Rupseno, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II, Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis Lismidar, 1990, Proses Keperawatan, Jakarta, UI. Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA Nelhaus, G. Stumpf, D.A. Moe, P.G.,1987, Neurological and Neuromusculer Disorder, Current Pediatric Diagnosis, Hinth ed. Price, S.A., 1988, Patofisiologi Konsep Klimik Prose-proses Penyakit, Bag. II Terjemahan Adji Dharma, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Smith, C., 1988, Nursing Care Planning Guides for Children, California, Assisten Professor Child California State University Long Beach. Tucker, S.M., 1988, Patient Care Standars, The Mosby Company, Washinton, USA.