Thursday, October 20, 2011

ASKEP BEDAH JANTUNG

ASKEP BEDAH JANTUNG 
A. PENDAHULUAN
Bedah jantung dilakukan untuk menangani berbagai masalah jantung.Prosedur yang sering mencakup angioplasti koroner perkutan ,revaskularisasi arteri koroner dan perbaikan penggantian katup jantung yang rusak. Di masa kini, pasien dengan penyakit jantung dan komplikasi yang menyertainya dapat dibantu untuk mencapai kualitas hidup yang lebih besar dan yang diperkirakan sepuluh tahun sham.Dengan prosedur diagnostik yang canggih yang memungkinkan diagnostik dimulai lebih awal dan lebih akurat, menyebabkan penanganan dapat dilakukan jauh sebelum terjadi kelemahan yang berarti.Penanganan dengan teknologi dan farmakoterapi yang baru terus dikembangkan dengan cepat dan dengan keamanan yang semakin meningkat. Mungkin tak ada intervensi terapi yang begitu berarti seperti pembedahan jantung yang dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung.Pembedahan jantung pertama yang berhasil, penutupan luka tusuk ventrikel kanan, telah dilakukan di tahun 1895 oleh ahli bedah halls de Vechi. Di Amerika Serikat pembedahan serupa yang sukses, jugs penutupan luka tusuk, dilakukan di tahun 1902. Diikuti oleh pembedahan katup di tahun 1923 dan 1925, penutupan duktus paten di tahun 1937 dan 1938, dan reseksi koarktasi aorta pada tahun 1944.Era baru tandur pintasan arteri koroner bermula di tahun 1954. Perkembangan yang paling revolusioner dalam perkembangan pembedahan jantung adalah teknik pintasan jantung-paru.Pertama kali digunakan dengan berhasil pada manusia di tahun 1951.Di masa kini lebih dari 250.000 prosedur yang dilakukan dengan menggunakan pintasan jantung paru.Terbanyak (lebih dari 200.000) dilakukan di Amerika Utara. Kebanyakan prosedur adalah graft pintasan arteri koroner (CABG = coronary artery bypass graft) dan perbaikan atau penggantian katup. Kemajuan dalam diagnostic ,penatalaksanaan medis, teknik bedah dan anestesia, dan pintasan jantung paru, dan juga perawatan yang diberikan di unit perawatan kritis serta program rehabilitasi telah banyak membantu pembedahan menjadi pilihan penanganan yang aman untuk pasien dengan penyakit jantung. 
B. PINTASAN JANTUNG PARU 
Banyak prosedur bedah jantung bisa dijalankan karena adanya pintasan jantung-paru (sirkulasi ekstrakorponeal). Prosedur ini merupakan alat mekanis untuk sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh pada saat “memintas” jantung dan paru. Mesin jantung-panu memungkinkan dicapainya medan openasi yang bebas darah Sementara perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh. Pintasan jantung-paru dilakukan dengan memasang kanula di atrium kanan, vena kava, atau vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh. Kanula kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik (biasanya dekstrosa 5% dalam larutan Ringer laktat). Darah vena yang terambil dari tubuh dan kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan atau dihangatkan. dan kemudian dikembalikan ke tubuh. Kanula yang diper gunakan uniuk mengembalikan darah teroksigenasi biasanya dimasukkan ke aorta asendens, tapi bisa jugs dimasukkan ke arteri femoralis. Meskipun pintasan jantung-paru merupakan teknik yang biasa pada pembedahan jantung, namun sebenarna sangat kompleks. Pasien memerlukan antikoagulan dengan hatiin untuk rnencegah pembentukan trombus dan kemungkinan embolisasi yang dapat terjadi ketika danah berhubungan dengan permukaan asing sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh dengan pompa mekanis (bukan pembuluh darah dan jantung normal) Setelah dibebaskan dari mesin pintasan, pasien diberikan protamin sullal untiuk menangkal efek heparin. Selama dilakukannya prosedur ini, tubuh dijaga agar selalu dalam keadaan hipotermia, biasanya 28°C sampai 32°C(82,4°F sampai 89,6°F). Darah didinginkan selama pintasan jantung paru dan dikembalikan ke tubuh. Darah yang didinginkan tersebut akan menurunkan kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan oksigen juga berkurang. Darah yang dingin biasanya mempunyai kekentalan yang tinggi, namun larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan mengencerkan darah tadi Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru. Haluaran urin, tekanan darah, gas darah arteri, elektrolit, uji pembekuan darah, dan elektrokardiograrn (EKG) semuanya dipakai untuk memantau status pasien selama pintasan jantung-paru. Masih banyak hal yang harus dipelajari mengenai pintasan jantung paru. Ada berbagai sirkuit pintasan dan mekanisme pensompaan yang digunakan pada masa kini. Sampai saat ini masih terus diusahakan agan pasien bisa lebih lama berada dalam mesin pintasan jantung-paru dengan lebih aman. Penelitian terus dilakukan untuk memperbaiki mesin pintasan jantung paru untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah berikut: hemolisis, peningkatan permeabilitas memhran kapiler dan kehilangan elektrolit, hipoksia dan anoksia jaringan, pembentukan trombus atau emboli. diseksi jantung dan pembuluh danah, meningkatnya ketekolamin dan hormon antidiuretik (ADH), dan respons inflamasi sistemik yang merupakan komplikasi prosedur itu. 
C. JANTUNG BUATAN 
Pemasangan jantung buatan telah menarik perhatian dunia sejak akhir tahun 1950-an. Semenjak itu banyak terjadi kemajuan sehingga jantung buatan secara klinis dapat dipakai manusia. Cooley menggunakan jantung buatan di Texas pada tahun 1969 untuk menunjang sirkulasi sebelum transpiantasi. Implantasi permanen jantung buatan total dilakukan pertama kali pada tahun 1982 untuk drg. Barney Clark di University of Utah. Perkembangan jantung buatan terus berlanjut untuk memperbaiki daya tahan hidup dan mengurangi morbiditas. Institut Jantung, Paru, dan Darah Nasional (National Heart, Lung, and Blood Institute, NHLBI) dan Institut Kesehatan Nasional (National Institutes of Health, NIH) telah menyediakan pendanaan untuk jantungbuatan elektromekanik permanen tanpa kabel. Institut jantung Texas dan 3-M dan Penn Statet Abiomed turut berpartisipasi dalam eksperimen fase II. Tujuan keseluruhan pemasangan mi adalah untuk memberi kualitas hidup yang tinggi bagi pasien yaitu bebas dan pemasangan jalur perkutaneus. Alat mi dijalankan menggunakan sistem transmisi energi listrik transkutaneus (transcutaneous electrical energy transmission systems, TEETS) dengan baterai portabel. 
D. TRANSPLANTASI JANTUNG
Transplantasi dari manusia ke manusia, pertama kali dilakukan di tahun 1967. sejak itu prosedur, peralatan dan pengobatan transplantasi terus dikembangkan. Di tahun 1983, sikosporin sudah tersedia untuk penggunaan umum. Siklosporin adalah imunosupresan yang menekan dengan kuat kemampuan tubuh menolak protein asing seperti, organ yang ditransplansikan. Sayangnya siklosporin juga menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, sehingga harus diperoleh keseimbangan yang sangat baik antara penekanan penolakan dan pencegahan infeksi. Sejak tersedianya siklosporin di tahun 1983, transplantasi jantung telah menjadi terapi pilihan bagi pasien dengan penyakit jantung tahap akhir. Indikasi transplantasi yang paling sering adalah kardiomiopati, penyakit jantung iskemik, penyakit jantung kongenital, penyakit katup dan penolakan transplantasi jantung sebelumnya. Pasien biasanya memiliki gejala sangat berat yang tidak dapat dikontrol dengan pengobatan, tidak ada pilihan pembedahan lain dan prognosis hidupnya kurang dari 12 bulan. Pasien diseleksi oleh suatu tim multidisipliner sebelum dinyatakan sebagai kandidat transplantasi jantung. Umur pasien, status paru, kondisi kesehatan kronis lain, infeksi, riwayat transplantasi, penyesuaian dan status kesehatan terakhir digunakan untuk mengevaluasi pasien untuk transplantasi. Transplantasi jantung dianggap sebagai uaha terakhir untuk mengatasi untuk mengatasi penyakit jantung tahap akhir yang refrakter terhadap pengobatankonvensional dan pembedahan. Gagal jantung kelas III dan IV memiliki harapan hidup kurang dan satu tahun. Dua penyebab tersering memburuknya miokardium adalah kardiomiopati kongestif dan penyakit koroner lanjut. Penyakit-penyakit ini merupakan 80%-90% alasan dilakukarmya transplàntasi jantung. Kardiomiopati adalah penyakit otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya. Kunci yang membedakan kardiomiopati dan kelainan jantung lain adalah adanya penyakit mendasari yang hanya menyerang miokardium ventrikel namun tidak menyerang struktur miokardium lain seperti katup atau arteria koronaria. Kardiomiopati dikelompokkan menurut tiga jenis kelainan struktur dan fungsi: 
(1) kongestif (dilatasi), 
(2) restriktif atau obliteratif, atau 
(3) hipertrofi. 
Kardiomiopati kongestif ditandai dengan dilatasi nyata dan ventrikel yang hipodinamik.Dapat teijadi hipertrofi miokardium yang lebih ringan.Ventrikel yang hipodinamik berkontraksi secara buruk, menyebabkan gagal ke depan dan ke belakang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Perlu dicatat bahwa keempat ruang jantung mengalami dilatasi sekunder akibat bertambahnya volume dan tekanan.Seringkali terbentuk trombus dalam ruang-ruang ini akibat darah yang mengumpul dan stasis; sehingga terancam terjadi emboli.Biasanya awitan penyakit tidak jelas; tetapi dapat berkembang menjadi gagal jantung tahap akhir yang refrakter. Prognosis gagal jantung refrakter sangat buruk dan dapat menyebabkan dipertimbangkarmya transplantasi jantung. Penyebab pasti kardiomiopati kongestif masih belum diketahui; namun diperkirakan disebabkan faktorautoimun dan virus. Penyebab multifaktorial mungkin merupakan penjelasan yang lebih memuaskan. Kardiomiopati hipertrofik, berlawanan dengari kardiomiopati kongestif, ditandai oleh jantung yang hipertrofi dan hiperdinamik.Bertambahnya massa otot tidak disertai dilatasi miokardium bermakna.Diduga terdapat dasar genetika. Kardiomiopati restriktif mencerminkan gangguan pengisian ventrikel akibat berkurangnya daya regang ventrikel. Fibrosis endokardium atau miokardium dapat mengakibatkan restriksi pengisian. Restriksi mengurangi ukuran rongga; berkembangnya kardiomiopati ke bentuk restriksi rongga yang lebih berat dikenal sebagai kardiomiopati obliteratif Meskipun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif dapat mengakibatkan gagal jantung, kardiomiopati kongestif merupakan penyebab tersering dilakukannya transpiantasi jantung. Kriteria Seleksi Resipien transplantasi jantung yang memenuhi kriteria seleksi menjalani pemeriksaan klinis dan psikologis yang terperinci. Dengan semakin luasnya penerapan prosedur ini, keputusan untuk menentukan siapa yang berhak menjalani ttansplantasi jantung menjadi semakin kontroversial. Tersedianya donor tetap merupakan faktor pembatas. Akibatnya, begitu diputuskan untuk melakukan transpiantasi, maka timbul masalah dalam menentukan prioritas antara satu dengan yang lain. Penentuan yang lebih sulit lagi adalah untuk menentukan prioritas di antara pasien pengguna VADs dan jantung buatan sebagai jembatan untuk dilakukannya transplantasi. Umumnya, faktor-faktor yang dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi atau memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang harus disingkirkan. Faktor-faktor ini mencakup penyakit atau infeksi sistemik aktif, hipertensi pulmonalis dengan resistensi vaskular paru yang menetap (lebih dan 4 satuan Wood), emboli atau infark paru, ulkus peptikum yang aktif, diabetes melitus bergantung insulin dengan penyakit sekunder pada organ lain, gagal ginjal atau hati yang ireversibel, peminum alkohol atau pecandu obat-obatan. Hal-hal yang tidak nyata, seperti motivasi untuk melakukan rehabilitasi, dukungan keluarga, dan keadaan psikologis, juga harus dipertimbangkan. Dengan makin luasnya penggantian oleh asuransi, masalah keuangan pribadi menjadi semakin kurang berarti untuk proses seleksi. Apabila diidentifikasi tidak terdapat kontraindikasi, maka dapat dimulai proses pencarian donor. Donor potensial biasanya adalah korban kecelakaan usia muda yang tidak mengalami kerusakan jantung atau penyakit jantung yang jelas dan tidak ada infeksi sistemik. Pencocokan jaringan donor terhadap resipien meliputi pencocokan sistem ABO. Pencocokan berat tubuh yang sesuai juga penting untuk dilakukan; 20% perbedaan berat tubuh dianggap masth dapat diterima. Prosedur Teknik pembedahan untuk transpiantasi jantung relatif mudah dimengerti, seperti yang digambarkan pada Gbr. 33—17. Bagian dan kedua atrium dibiarkan pada tempatnya untuk beranastomosis pada jantung donor. Bagian atrium kanan dekat vena kava superior dibiarkan utuh untuk mempertahankan fungsi nodus sinus. Jantung donor kemudian dijahit pada kedua atrium resipien dan pada aorta dan arteria pulmonalis. Prosedur mi (yaitu saat transplan menggantikan jantung resipien) dikenal sebagai transpiantasi ortotopik, berbeda dengan transpiantasi heterotopik atau “piggyback”, yang dilakukan oleh beberapa pusat kesehatan jika resistensi vaskular paru-paru sangat tinggi dan bila beban akhir yang tinggi pada arteria pulmonalis mungkin menyebabkan gagal ventrikel kanan refrakter pada jantung transplan. Alasannya adalah bahwa ventrikel kanan yang asli telah beradaptasi dengan beban akhir yang tinggi sehingga harus dibiarkan pada tempatnya. Sebagai alternatif, beberapa pusat kesehatan melakukan transplantasi kardiopulmonar pada hipertensi pulmonalis primer atau penyakit vaskular paru-paru akibat penyakit jantung kongenital. Penolakan dan Infeksi Tantangan terbesar dalam transplantasi adalah penanganan reaksi penolakan. Usaha tubuh untuk menolak jaringan asing merupakan proses biologis yang mendasar. Penemuan sikiosporin dan antibodi monoklonal telah banyak memperbaiki kelangsungan hidup setelah transpiantasi. Terapi imunosupresif dengan sikiosporin dapat dimulai sebelum operasi. Terapi imunosupresif tiga obat dengan azatioprin, siklosporin, dan steroid diberikan terus menerus setelah operasi. Pemantauan imunologis akan tandatanda penolakan dilakukan dengan ketat. Biopsi endomiokardium tramsvenosa adalah penentu pasti (standar emas) untuk deteksi dan diagnosis penolakan. Biopsi dilakukan dalam selang waktu tertentu dan sesuai indikasi. (Metode non-invasif untuk mendeteksi reaksi penolakan, seperti MRI dan ekokardiografi, masih diteliti) Teknik biopsi endomiokardium meliputi pemasangan kateter biopsi (atau bioptome) melalui vena jugularis dekstra atau vena subklavia ke dalam ventrikel kanan untuk mengambil beberapa bagian endokardium untuk analisis. Selanjutnya terapi imunosupresif dapat disesuaikan berdasarkan hasil biopsi. Antitimosit globulin (ATG), antilimfosit globulin (ALG), atau antibodi-antibodi monoklonal OKT3 dapat ditambahkan untuk menangani reaksi penolakan. Selain reaksi penolakan, juga merupakan masalah serius akibat terapi imunosupresif. Infeksi merupakan penyebab utama kematian dalam tahun pertama setelah transplantasi. Untuk itu dilakukan pencegahan dan tindakan terapeutik yang tepat.Perjalanan Pascaoperasi.Pasien transplantasi jantung harus tetap dijaga dalam keseimbangan antara risiko penolakan dan risiko infeksi. Mereka harus mcmaluhi aturan kompleks tentang diit, obat-obatan, aktivitas, pemeriksaan laboratorium. biopsi (untuk mendiagnosa penolakan) dan kunjungan ke klinik. Pasien sering diberi siklosporin dan kortikosteroid untuk meminirnalkan penolakan. Selain penolakan dan infeksi, komplikasi dapat mencakup percepatan terjadinya arteriosklerosis arteri koroner; hipertensi dan hipotensi; gangguan sistern saraf pusat, pernapasan, dan gastrointestinal (UI); gagal ginjal; dan respons terhadap stres psikososial akibat tran.splantasi organ. Pasien transplantasi jantung dengan angka bertahan hidup 1 tahun sekitar 80% sampai 90% dan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 60% sarnpai 70%. 
E. EKSISI TUMOR 
Tumor jantung cukup jarang. Tumor primer terjadi kurang dan 1% pada populasi; tumor metastatik dilaporkan terjadi 1,5% sampai 35% pada pasien onkologi. Tumor bisa menjadi tempat pembentukan trombus sehingga menciptakan risiko emboli. Disritmia dapat terjadi bila mengenai miokardium atau sistem hantaran. Kebanyakan tumor jantung adalah jinak. Eksisi bedah dilakukan hanya untuk mencegah obstruksi ruang jantung atau katup. Pintasan jantung-paru digunakan. kecuali pada tumor epikardial, yang dapat dieksisi tanpa memasuki jantung dan tanpa menghentikan denyutan jantung. Akibat lokasinya, eksisi tumor mungkin perlu diikuti penggantian katup. penambalan jantung, atau implantasi pacu jantung. Asuhan keperawatan sama dengan yang diberikan pada pembedahan jantung lain. 
F. PERBAIKAN PADA TRAUMA 
Pasien yang memerlukan pembedahan akibat trauma antung bisa akibat pukulan tumpul, luka tembak, atau luka tusuk. Perbaikannya tentu saja pada katup dan septum bila penyebabnya trauma tumpul, dan pada dinding atrium atau ventrikel bila penyebabnya luka tembus. Dilakukan debridemen luka dan ditutup secara bedah bila mungkin, namun perbaikan katup dan penggantlan atau tambalan tandur pada septum dan dinding atrium aau ventrikel mungkin diperlukan. Pembedahan di sini biasanya merupakan prosedur darurat, sehingga risiko komplikasi akibat cedera ataupun pembedahan sangat tinggi. 
G. ALAT BANTU MEKANIS DAN JANTUNG BUATAN TOTAL
Penggunaan pintasan jantung-paru pada pembedahan jantung dan kemungkinan dilakukan transplantasi jamung pada penyakit jantung stadium akhir telah rneningkatkan kebutuhan akan alat bantu jantung. Pasien yang tak mampu dilepas dan pintasan jantung paru atau pasien yang sedang berada dalarn syok kardiogenik dapat memperoleh keuntungan dari periode bantuan jantung mekanis. Alat yang paling sering digunakan adalah pompa balon ultra aorta (IABP - intra-aortic baloon pump). IABP nsengurangi kerja jantung selama kontraksi, namun tidak menyerupai kinerja jantung yang sebenarnya. Alat dengan kinerja yang menyerupai sebagian atau scmua fungsi pemompaan untuk jantung juga sedang dikembangkan. Alat bantu ventrikel yang lebih canggih ini dapat mensirkulasi darah tiap menit seperti yang dilakukan jantung. Tiap alat bantu ventrikel digunakan untuk masing-mnasilig ventrikel. Saat ini yang paling sering digunakan adalah pompa sentrifugal. Banyak alat dorong pneumatis yang digunakan, dan basil klinisnya cukup menianjikan. Beberapa alat bantu ventrikel dapat dikombinasikan dengan oxvgenalor-ex!racorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat bantu kombinasi ventrikuler-oksigenator digunakan pada pasien yang jantungnya tak dapat memompa darah secara adekuat ke paru atau tubuhnya. Jantung buatan total dirancang untuk mengganti kedua ventrikel. Jantung pasien harus diangkat untuk nmemasang jantung buatan total tadi. Semua alat-alat tadi masih dalam taraf ekspenimental. Janvik-7 telah mengalami keberhasilan jangka pendek, tetapi hasil jangka panjangnya cukup mengecewakan. Kebanyakan peneliti jantung buatan total berharap dapat mengembangkan alat yang dapat dipasang secara permanen dan yang akan dapat menggantikan kebutuhan transplantasi jantung donor manusia untuk penanganan penyakit jantung stadium akhir. Alat bantu ventrikel dari jantung buatan total sekarang sedang digunakan sebagai penanganan temporer. sementara pasien menunggu jantungnya sendiri sembuh atau sampai tersedia jantung donor yang sesuai untuk ditransplantasi. Kelainan pembekuan darah, perdarahan, trombus, emboli, hemolisis, infeksi, dan kegagalan mekanis adalah beberapa komplikasi jantung buatan total dan alat bantu ventrikel. Asuhan keperawatan untuk pasien ini ditujukan tidak hanya pada pengkajian dan meminimalkan komplikasi tersebut. tetapi juga melibatkan dukungan emosi dan penyuluhan mengenai alat bantu mekanis itu sendiri. 
H. Patofisiologi Bedah jantung Kardiomiopati,
penyakit jantung congenital Aterosklerosis, Spasme aa. Coronaria Hipoksia Jaringan iskemic Perubahan metabolism Fungsi Ventrike menurun Gangguan gerakan jantung Kontraksi Miokardium menurun Perubahan hemodinamik Curah jantung menurun Ischemic meluas Necrosis Infark miokard Bedah jantung Gagal jantung Transplantasi jantung Nyeri, Perubahan Perfusi jaringan, Risiko Kekurangan volume cairan & Hipertermia sumber : www.ners-gun.blogspot.com 
I. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF 
1. PENATALAKSANAAN PRA OPERATIF 
Pengkajian  
Pengkajian Kesehatan. Riwayat praoperatif dan pengkajian kesehatan harus lengkap dan didokumentasikan dengan balk karena merupakan landasan sebagai pembanding pascaoperatif. Pengkajian sistematis mengenai semua sistem harus dilakukan, dengan penekanan pada fungsi kardiovaskuler. Status fungsional sistem kardiovaskuler ditentukan dengan mengamati simptomatologi pasien. termasuk pengalaman sekarang maupun masa lampau tentang adanya nyeri dada, hipertensi. berdebar-debar. sianosis, susah bernapas (dispnu). nyeri tungkai yang terjadi setelah berjalan, ortopnu. dispnu nokturnal paroksismal, edema perifer dan klaudikasio intermiten. Karena perubahan curah jantung dapat mempengaruhi fungsi ginjal, pernapasan. gastrointestinal, kulit, hematologi dan saraf. maka sistem-sistem tersebut harus dikaji dengan lengkap. Riwayat penyakit utama, pembedahan sebelumnya, terapi obat-obatan, dan penggunaan obat, alkohol dan tembakau juga harus dieksplorasi. Dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, dengan penekanan khusus pada parameter berikut: a) Keadaan umum dan tingkah laku. b) Tanda-tanda vital. c) Status nutrisi dan cairan, berat dan tinggi badan d) Inspeksi dan palpasi jantung, menentukan titik impuls maksima! (PMI = point of maximal impulse), pulsasi abnomsal, thrill e) Auskukasi jantung, mencatat frekuensi nadi, mama dan kualitasnya. S, S4, snap, klik, murmur, friction rub f) Tekanan vena jugularis g) Denyut nadi perifer h) Edema perifer  Pengkajian Psikososial. Pengkajian psikososial dan pengkajian kebutuhan belajar-mengajar pasien dan keluarganya sama pentingnya dengan pemeriksaan tisik. Persiapan pembedahan jantung merupakan sumber stres yang berat bagi pasien dan keluarganya. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan dan kadang mempunyai banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Kecemasan mereka biasanya bertambah saat pasien dirawat di rumah sakit dan segera dilakukan operasi. Pengkajian beratnya kecemasan sangat penting. Bila ringan, mungkin merupakan penolakan. Bila berat, perlu diajarkan pemakaian mekanisme koping secara .efektif melalui penyuluhan praoperatif. Pertanyaan perlu diajukan untuk memperoleh informasi berikut mengenai pasien maupun keluarganya: a) Arti pembedahan bagi pasien dan keluarganya b) Mekanisme koping yang digunakan c) Cara yang digunakan pada masa lampau untuk mengatasi stress d) Perubahan gaya hidup yang diantisipasi e) Sistem pendukung yang efektif f) Ketakutan mengenai masa kini dan masa mendatang g) Pengetahuan dan pemahaman prosedur pembedahan, perjalanan pascaoperasi, dan rehabilitasi jangka panjang. Diagnosis Keperawatan Diagnosa keperawatan bagi pasien yang menjalani pembedahan jantung sangat bervariasi antara pasien satu dengan pasien lain, tergantung penyakit jantung mereka dan simptomatologinya - Kebanyakari pasien mernpunyai diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Selain itu, diagnosa kepenawatan praoperatif bagi kebanyakan pasien mencakup yang berikut: a) Takut sehubungan dengan prosedur pembedahan. hasil pembedahan yang belum jelas, dan takut akan kehilangan keadaan sehat b) Kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pcmbedahan dan penjalanan pascaoperatif Masalah Kolaborasi / Komplikasi Potensial Stres karena pembedahan yang akan dilakukan dapat mencetuskan komplikasi yang memerlukan penatalaksanaan secara kolaboratif dcngan doktcr. Berdasarkan data pengkajian, komplikasi potensial yang mungkin terjadi meliputi: a) Angina (atau yang sesuai dengan angina) b) Kecemasan berat yang mcmerlukan obat antiolitik (pengurang-kecemasan) c) Henti jantung Intervensi Keperawatan a) Mengurangi Ketakutan. Pasien dan keluarganya harus diberi kesempatan yang cukup dan untuk mengekspresikan ketakutan mereka. Bila ada ketakutan yang tidak diketahui, pengalaman operasi lain yang pernah dijalani pasien dapat dihandingkan dengan pembedahan yang akan dilakukan. Terkadang sangat mcnibantu menjelaskan kepacla pasien perasaan yang akan timbul (Anderson dan Masur 1989). Bila pasien pernah menjalani kateterisasi jantung, maka persamaan dan perbedaan prosedur ini dengan pembedahan yang akan dijalankan dapat dibandingkan. Pasien juga didorong untuk menyatakan mengenai setiap keprihatinan yang berhubungan dengan pengalaman sebelumnya. b) Penyuluhan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Pendidikan pasien dan keluarganya didasarkan pada kebutuhan belajar yang telah dikaji. Penyuluhan biasanya meliputi informasi mengenai perawatan di rumah sakit, mengenai pembedahan (asuhan praoperatif dan pascaoperatif, latnanya pembedahan, nyeri dan ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, jam berkunjung, dan prosedur di unit kritis), dan informasi mengenai fase pemulihan (lamanya perawatan di rumah sakit, kapan aktivitas normal seperti pekerjaan rumah tangga, helanja dan bekerja dapat dimulai kembali). Setiap perubahan yang dilakukan pads terapi obat-obatan dan persiapan praoperatif harus dijelaskan dan ditekankan. c) Pemantauan dan Penatalaksanaan Komplikasi Potensial. Pasien yang mengalami angina biasanya berespons dengan terapi angina yang biasa, yang tersering adalah nitrogliserin yang diletakkan di bawah lidah Beberapa pasien memerlukan oksigen dan drip nitrogliserin intravena. Evaluasi Hasil yang Diharapkan a) Memperlihatkan berkurangnya kecemasan.  Mengidentifikasi rasa takut  Mendiskusikan rasa takut dengan keluarga  Menggunakan pengalaman dahulu sebagai fokus perbandingan.  Mengekspresikan pandangan positif mengenai hasil pembedahan.  Mengeksprcsikan rasa percaya diri mengenai cara yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit b) Menerima pcngetahuan mengenai prosedur pembedahan dan perjalanan pascaoperatif  Mengidentifikasi maksud prosedur persiapan praoperatif  Meninjau unit perawatan intensif bila diinginkan  Mengidentitikasi keterbatasan hasil setelah pembedahan  Mendiskusikan lingkungan pascaoperatif dengan segera, mis, pipa. mesin. pemeriksaan perawat.  Memperagakan aktivitas yang seharusnya dilakukan setelah pembedahan (mis., menarik napas dalam, batuk efektif, latihan kaki) 
2. PENATALAKSANAAN INTRA OPERATIF 
Kebanyakan prosedur pembedahan jantung dilakukan melalui insisi sternotomi median. Pasien dipersiapkan untuk pemantauan bcrkcsinambungan: elektroda, kateter indwelling, dan probe dipasang sebelum prosedur untuk rnemudahkan pengkajian status pasien dan penubahan terapi bila diperlukan. Pipa intravena harus dipasang bila diperlukan pemberian cairan, obat, dan komponen darah. Selain itu pasien akan diintubasi dan dihubungkan dengan ventilasi mekanis. Sebelum insisi dada ditutup, dipasang tabung dada untuk pengeluaran udara dan drainase dan mediastinum dan toraks. Elektroda pacu jantung epikardial diimplantasikan pada permukaan atrium kanan dan ventrikel kanan. Elektroda epikardial ini dapat dipakai pascaoperatif untuk memacu jantung atau untuk memantau jantung apabila ada disritmia melalui lead atrium. Selain membantu prosedur pembedahan, perawat bedah juga bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan keamanan pasien. Ruang lingkup intervensinya meliputi mengatur posisi, perawatan kulit, serta dukungan emosional terhadap pasien dan keluarganya. Komplikasi intraoperatif yang mungkin terjadi meliputi disritmia, pendarahan, infark miokardium, cedera pembuluh darah otak, emboli, dan gagal organ akibat syok, embolus atau reaksi obat. Pengkajian pasien imraoperatif yang cermat sangat penting dalam mencegah komplikasi tersebut selain dapat mendeteksi gejala dan memulai tindakan segera. 3. PENATALAKSANAAN POST OPERATIF Pengkajian Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut; a) Status neurologis—tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, refleks, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan. b) Status Jantung—frekuensi dan irama jantung, suara jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji arteri paru (PAWP = pulmonary artery wedge pressure). tekanan atrium kiri (LAP), bentuk gelombang dan pipa tekanan darah invasif, curah jantung atau indeks. tahanan pembuluh darah sistemik dan paru, saturasi oksigen arteri paru (SVO,) bila ada, drainase rongga dada, dan status serta fungsi pacemaker. c) Status respirasi—gerakan dada, suana napas, penentuan ventilator (fnekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode [mis, SIMV], tekanan positif akhir ekspirasi [PEEPfl, kecepatan napas, tekanan ventilator, saturasi oksigen anteri (SaO,), CO2 akhir tidal, pipa drainase rongga dada, gas darah arteri. d) Status pembuluh darah perifer—denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku, mukosa. bibir dan cuping telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan dan pipa invasif. e) Fungsi ginjal—haluaran urin, berat jenis urin, dan osmolaritas f) Status cairan dan elektrolit—asupan; haluaran dan semua pipa drainase. serta parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseinibangan elektrolit berikut: Hipokalemia: intoksikasi digitalis, disritmia (gelombang U, AV blok, gelombang T yang datar atau terbalik) Hiperkalemia.- konfusi mental, tidak tenang, mual, kelemahan, parestesia eksremitas, disrirmia (tinggi, gelombang T puncak, meningkatnya amplitudo, pelebaran kompleks QRS; perpanjangan interval QT) Hiponatremia: kelemahan, kelelahan, kebingungan, kejang, koma Hipokalsemia parestesia, spasme tangan dan kaki, kram otot, tetani Hiperkalsemia intoksikasi digitalis, asistole g) Nyeri—sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus dibedakan dengan nyeri angina): aprehensi, respons terhadap analgetika. h) Catatan: Beberapa pasien yang telah menjalani CABG dengan arteri mamaria interns akan mengalaini parestesis nervus ulnanis pada sisi yang sama dengan graft yang diambil. Parestesia tersebut bisa sementara atau permanen. Pasien yang menjalani CABG dengan arieni gasiroepiploika juga akan mengalami ileus selama beberapa waktu pascaoperatif dan akan mengalami nyeri abdomen pada tempat insisi selain nyeri dada. Pengkajian juga mencakup observasi segala peralatan dan pipa untuk menentukan apakah fungsinya baik: pipa endotrakheal, ventilator, monitor CO2 akhir tidal, monitor Sa02, kateter arteri paru, monitor SO2, pipa arteri dan vena, slat infus intravena dan selang, monitor jantung, pacemaker, pipa dada, dan sistem drainase urin. Begitu pasien sadar dan mengalami kemajuan selama periode pascaoperatif, perawat harus mengembangkan pengkajian dengan memasukkan parameter yang menunjukkan status psikologis dan emosional. Pasien dapat irternperlihatkan iingkah laku yang mencerminkan penolakan dan depresi atau dapat pula mengalami psikosis pasca kardiotomi. Tanda khas psikosis meliputi (1) ilusi persepsi sementara, (2) halusinasi dengar dan penglihatan (3) disorientasi dan waham paranoid. Pengkajian Komplikasi Pasien terus-menerus dikaji mengenai adanya indikasi ancaman komplikasi. Perawat dan dokter bekerja secara kolaboratif unruk mengetahui tanda dan gejala awal komplikasi dan memberikan tindakan untuk mencegah perkemhangannya. Penurunan Curah Jantung. Penurunan curah jantung selalu merupakan ancaman bagi pasien yang baru saja menjalani pembedahan jantung. Hal ini dapat terjadi karena berbagai penyebab: a) Gangguan preload—terlalu sedikit atau terlalu banyak volume darah yang kembali ke jantung akibat hipovolemia. perdarahan yang berlanjut. tamponade jantung, atau cairan yang berlebihan. b) Gangguan afterload—arteri dan kapiler yang terlalu konstriksi atau terlalu dilatasi karena perubahan suhu tubuh atau hipertensi. c) Gangguan frekuensi jantung—terlalu cepat, terlalu lambat. atau disritmia d) Gangguan kontraktilitas—gagal jantung. infark miokardium. ketidakseiinbangan elektrolit, hipoksia. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi setelah pembedahan jantung. Pengkajian keperawatan untuk komplikasi ini meliputi pemantauan asupan dan haluaran, berat PAWP, hasil pengukuran tekanan atrium kiri dan CVP, tingkat hematokrit, distensi vena leher, edema, ukuran hati, suara napas (misalnya krekels halus, wheezing) dan kadar elektrolit. Perubahan elektrolit serum harus dilaporkan segera sehingga penanganan dapat segera diberikan. Yang penting kadar kalium, natrium dan kalsium tinggi atau rendah. Gangguan pertukaran gas. Gangguan pertukaran gas adalah komplikasi lain yang mungkin terjadi pasca bedah jantung. Semua jaringan tubuh memerlukan suplai oksigen dan nutrisi yang adekuat untuk bertahan hidup. Untuk mencapai hal tersebut pada pasca pembedahan, maka perlu dipasang pipa endotrakeal dengan bantuan ventilator selama 4 sampai 48 jam atau lebih. Bantuan ventilasi dilanjutkan sampai nilai gas darah pasien normal dan pasien menunjukkan kemampuan bernapas sendiri. Pasien yang stabil setelah pembedahan dapat diekstubasi segera setelah 4 jam pasca pembedahan, sehingga mengurangi kecemasannya sehubungan dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi. Pasien dikaji terus menerus untuk adanya indikasi gangguan pertukaran gas; gelisah, cemas, sianosis pada selaput lendir dan jaringan perifer, takikardia dan berusaha melepas ventilator. Suara napas dikaji sesering mungkin untuk mendeteksi adanya cairan dalam paru dan untuk memantau pengembangan paru Gas darah arteri selalu dipantau. Gangguan Peredaran Darah Otak. Fungsi otak sangat tergantung pada suplai oksigen darah yang berkesinambungan. Otak tidak memiliki kapasitas untuk menyimpan oksigen dan sangat bergantung pada perfusi berkesinambungan yang adekuat dan jantung. Jadi sangat penting mengobservasi pasien mengenai adanya gejala hipoksia: gelisah, sakit kepala, konfusi. dispnu, hipotensi. dan sianosis. Gas darah arteri, SaO, SO dan CO akhir tidal harus dikaji bila ada penurunan oksigen dan peningkatan karbondioksida. Pengkajian status neurologis pasien meliputi tingkat kesadaran. respons terhadap perintah verbal dan stimulus nyeri, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya. gerakan ekstremitas. kekuatan menggenggarn tangan. adanya denyut nadi poplitea dan kaki, begitu juga suhu dan warna ekstremitas. Setiap tanda yang menunjukkan adanya perubahan status harus dicatat dan setiap temuan yang abnormal harus dilaporkan ke ahli bedah segera karena bisa merupakan tanda awal komplikasi pada periode pascaoperatif. Hipoperfusi dan mikroemboli dapat rnenyebahkan kerusakan sistem saraf pusat setelah pembedahan jantung. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan pada data pengkajian dan jenis prosedur bedah yang dilakukan. diagnosis utama keperawatan mencakup yang berikut: a. Menurunnya curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu. b. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma akibat pembedahan dada ekstensif c. Risiko kekurangan volume cairan dan keseirnbangan elektrolit berhubungan dengan berkurangan volume darah yang beredar d. Risiko gangguan persepsi-penginderaan berhubungan dengan penginderaan yang berlebihan (suasana ruangan asuhan kritis, pengalaman pembedahan) e. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan iritasi akibat selang dada f. Risiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan stasis vena, embolisasi. penyakit aterosklerosis yang mendasarinya. efek vasopresor, atau rnasalah pembekuan darah. g. Risiko perubahan perfusi ginjal berhubungan dengan penurunan curah jantung, hemolisis, atau terapi obat vasopresor h. Risiko hipertermia berhubungan dengan infeksi atau sindrorn pasca perikardiotomi i. Kurang pengetahuan mengenai aktivitas perawatan diri Masalah Kolaboratif / Komplikasi Potensial Berdasarkan pada data pengkajian, komplikasi potensial yang dapat terjadi mencakup: a. Komplikasi jantung: gagal jantung kongestif, infark miokardium, henti jantung. disritmia. b. Komplikasi paru: edema paru, emboli paru. efusi pleura, pneumo atau hematotoraks, gagal napas. sindrom distres napas dewasa c. Perdarahan d. Komplikasi neurologis: cedera serebrovaskuler, emboli udara e. Nyeri f. Gagal ginjal, akut atau kronis g. Ketidakseimbangan elektrolit h. Gagal hati i. Koagulopati j. Infeksi, sepsis Perencanaan dan Implementasi Tujuan. Tujuan utama meliputi restorasi curali jantung, pertukaran gas yang adekuat, pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit. berkurangnya gejala penginderaan yang berlebihan. penghilangan nyeri, usaha untuk beristirahat, pemeliharaan perfusi jaringan yang memadai, pemeliharaan perfusi ginjal yang memadai, pemeliharaan suhu tubuh normal, mempelajari aktivitas perawatan diri. dan tidak adanya komplikasi. Intervensi Keperawatan Menjaga Curah Jantung. Penatalaksanaan keperawatan mencakup observasi terus-menerus status jantung pasien dan segera memberitahu ahli bedah setiap perubahan yang menunjukkan penurunan curah jantung. Perawat dan ahli bedah kemudian bekerja sarna secara kolaboratif untuk memperbaiki masalah yang terjadi. Disritmia, yang dapat terjadi ketika perfusi jantung berkurang, juga merupakan indikator penting mengenai fungsi jantung. Disritmia yang paling sening terjadi selama peniode pascaoperasi adalah bradikardi, takikardi dan denyutan ektopik. Observasi terus-menerus pantauan jantung untuk adanya berbagai disritmia merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan dan perawatan pasien. Setiap petunjuk adanya penurunan curah jantung harus segera dilaporkan ke dokter. Data dan hasil pengkajian uji tersebut kemudian akan digunakan dokter untuk menentukan penyebab masalahnya. Begitu diagnosa telah ditegakkan, dokter bersama perawat bekerja secara kolaboratif untuk menjaga curah jantung dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Bila perlu, dokter dapat membenikan komponen darah, cairan, digitalis, diuretik, vasodilator, atau vasopresor. Bila perlu dilakukan pembedahan lagi, maka pasien dan keluanganya harus dibenitahu mengenai prosedur tersebut. Promosi Pertukaran Gas yang Memadai. Untuk meyakinkan adanya pertukaran gas yang memadai, perawat harus mengkaji dan menjaga patensi selang endotrakheal. selang harus dihisap bila ada wheezing atau krekel (ronkhi). Pengisapan dapat dilakukan melalui kateter yang sudah ada; perawat dan ahli terapi napas harus menaikkan fraksi oksigen inspirasi ventilator (Fi02) selama tiga tarikan napas atau lebih, sebelurn mulai menghisap. Bisa juga, oksigen 100% diherikan kepada pasien dengan resusitator manual (Ambu) sebelum dan sesudah penghisapan untuk mencegah hipoksia yang dapat terjadi akibat prosedur penghisapan. Pengukuran gas darah arteri harus dibandingkan dengan data awal dan setiap ada perubahan harus dilaporkan kepada dokter segera. Menjaga Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Untuk promosi keseimbangan cairan dan elektrolit, peravat harus mengkaji dengan cermat setiap pemasukan dan pengeluaran. Pergunakan lembar khusus untuk mencatat keseimbangan cairan positif atau negatif. Semua masukan cairan harus dicatat, termasuk cairan intravena, larutan pembilas yang digunakan untuk membilas kateter arteri dan vena dan pipa nasogastrik, dan cairan peroral. Begitu pula, semua keluaran juga harus dicatat, meliputi urin, drainase nasogastrik, dan drainase dada. Parameter hemodinamika (tekanan darah, tekanan baji pulmonal dan atrium kiri, dan CVP) harus sesuai dengan asupan, haluaran dan berat badan untuk menentukan kecukupan hidrasi dan curah jantung. Elektrolit serum harus dipantau dan pasien harus diobservasi mengenai adanya tanda ketidakseimbangan kalium, natrium dan kalsium (hipokalemia, hiperkalemia, hiponatremia dan hipokalsemia). Menurunkan Gejala Penginderaan yang Berlebihan. Penginderaan yang berlebihan mempakan efek yang biasa terjadi, yang berhubungan dengan pengalaman pembedahan dan faktor lingkungan di unit perawatan kritis. Psikosis pasca kardiotomi dapat terjadi setelah pembedahari jantung. Istilah mi mengacu pada sekelompok tingkah laku abnormal yang terjadi dalam intensitas dan durasi yang beragam pada kebanyakan pasien. Pada tahun-tahun awal pembedahn jantung, fenomena ini lebih sering terjadi dibanding sekarang. Pada saat itu disebabkan karena kurangnya perfusi otak selama pembedahan, mikroemboli, dan lamanya pasien berada dalam mesin pintasan jantung paru. Kemajuan dalam teknik pembedahan telah menurunkan secara bermakna faktor-faktor tadi. Sekarang, apabila terjadi, mungkin disebabkan oleh kecemasan, kurang tidur, masukan indrawi yang berlebihan, dan disorientasi terhadap malam dan siang saat pasien kehilangan perjalanan waktu. Ada temuan penting yang menunjukkan bahwa pasien yang tak mampu mengekspresikan kecemasannya sebelum pembedahan akan lebih rentan mengalami psikosis pada periode pasca operasi. Pengurangan Nyeri. Nyeri dalam kemungkinan tidak dapat dirasakan tepat di atas daerah cedera tetapi ke tempat yang lebih luas dan merata. Pasien yang baru saja menjalani pembedahan jantung akan mengalami nyeri akibat terpotongnya syaraf interkostal sepanjang irisan dan iritasi pleura oleh kateter dada. (Begitu pula, pasien dengan CABG arteria mamaria interna dapat mengalami parestesia saraf ulna pada sisi yang sama dengan sisi grafnya.) Observasi dan mendengarkan adanya Tanda nyeri yang diucapkan ataupun tidak diucapkan oleh pasien perlu diperhatikan. Perawat harus mencatat secara akurat sifat, jenis, lokasi, dan durasi nyeri. (Nyeri irisan harus dibedakan dengan nyeri angina.) Pasien harus dianjurkan minum obat sesuai resep untuk mengurangi nyeri. Kemudian pasien harus dapat berpartisipasi dalam benlatih menarik napas dalam dan batuk. dan secara progresif memngkatkan perawatan diri. Nyeri menyebabkan ketegangan. yang akan menstimulasi sistem saraf pusat untuk mengeluarkan adrenalin, yang mengakibatkan konstriksi arteri. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan afrerload dan penurunan curah jantung. Morfin sulfat dapat mcngurangi nyeri dan kecemasan serta merangsang tidur, yang pada gilirannya menurunkan kecepatan metabolik dan keburuhan oksigen. Setelah pemberian opioid (narkotika), setiap tanda-tanda adanya penurunan aprehensi dan nyeri harus dicatat dalam status pasien. Pasien juga harus dipantau akan adanya tanda efek depresi pernapasan akibat analgetika. Bila terjadi depresi pernapasan. harus diberikan antagonis opioid (mis., naloxone [Narcan]) untuk melawan efek rersebut. Meningkatkan Istirahat. Upaya dasar untuk memberikan rasa nyaman pada pasien bersama dengan pembehan analgetika akan memperkuat efek analgesia dan meningkatkan istirahat. Pasien harus dibantu merubah posisi setiap 1 sampai 2 jam dan diposisikan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari ketegangan pada daerah luka operasi dan selang dada. Penekanan pada daerah irisan selama batuk dan nenarik napas clalam dapat mengurangi nyeri. Aktivita keperawatan dijadwalkan sebanyak mungkin uniuk mengurangi gangguan saat istirahat. Bila kondisi sudah mulai stabil dan prosedur terapi serta pemantauan sudah mulai berkurang, maka pasien dapat beristirahat lebih lama lagi. Menjaga Perfusi Jaringan yang Adekuat. Denyut nadi perifer (pedis, poplitea. tibialis, femoralis, radialis, brakhialis) dipalpasi secara rutin untuk mengkaji adanya obstruksi arteri. Bila tidak teraba denyutan pada satu ekstremitas, penyebabnya mungkin akibat kateterisasi sebelurnnya pada ekstremitas tersebut. Bila ada denyut yang baru saja menghilang harus segera dilaporkan kepada dokter. Setelah pembedahan harus diupayakan mencegah stasis vena yang dapat mengakibatkan pembentukan trombus dan selanjutnya emboli: (1) memakai stoking elastik atau halutan elastik, (2 menghindari menyilang kaki. (3) menghindari pengunaan peninggi lutut pada tempat tidur, (4) mengambil semua bantal pada rongga popliteal. dan (5) memberikan latihan pasif diikuti dengan latihan aktif umuk meningkaikan sirkulasi dan mencegah hilangnya tonus otot. Gejala embolisasi, yang berbeda menurut tempatnya, bisa ditandai dengan (1) nyeri abdomen atau punggung tengah (2) nyeri, hilangnya denyutan, pucat, rasa baal, atau dingin pada ekstremitas (3) nyeri dada atau distres pernapasan pada emboli paru dan infark miokardium: dan (4) kelemahan satu sisi dan perubahan pupil, seperti yang terjadi pada cedera pembuluh darah otak. Semua gejala yang timbul harus segera dilaporkan. Menjaga Kecukupan Perfusi Ginjal. Perfusi ginjal yang tidak mencukupi dapat tenjadi sebagai akibat pembedahan janrung terbuka. Salah satu penyebab yang mungkin adalah rendahnva curah jantung. Selain itu trauma terhadap sel darah selama pintasan jantung paru menyebabkan hernolisis sel darah merah. Kejadian ini mengakibatkan terbentuknya senyawa racun karena glomerulus tersumbat oleh debris sel darah merah yang rusak tadi. Penggunaan bahan vasopresor untuk meningkatkan tekanan darah juga dapat menyebabkan penurunan alinan darah ke ginjal. Penatalaksanaan keperawatan meliputi pengukuran haluaran urin yang akurat. Haluaran urin kurang dari 20 ml jam menunjukkan adanya hipovolemia. Berat jenis juga harus diukur untuk mengetahui kemampuan ginjal mengkonsentrasilcan urin dalam tubulus renalis. Diuretik kerja cepat atau obat inotropika (digitalis, isopnoterenol) dapat diberikan untuk meningkatkan cunah jantung dan aliran darah ginjal. Perawat harus memperhatikan nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum serta kadar elektrolit serum. Bila ditemukan ketidaknormalan segera laporkan kepada dokter karena mungkin diperlukan pembatasan cairan dan pembatasan pemakaian ohat-obat yang biasanya diekskresi melalui ginjal. Menjaga Suhu Tubuh Tetap Normal. Pasien biasanva hipotermik saat dimasukkan ke unit perawatan intensif dan prosedur pembedahan jantung. Pasien harus dihangatkan secara bertahap sampai ke suhu normal, yang sebagian dapat diperoleh dari proses metabolisme basal pasien itu sendiri dan ditambah bantuan udara ventilator yang dihangatkan, selimut hangat, atau lampu pemanas. Selain pasien masih hipotermik, proses pembekuan menjadi kurang efisien. jantung rentan terhadap disritmia, dan oksigen tidak segera siap dipindahkan dan hemoglobin ke jaringan. Karena anestesi menekan metabolisme basal. suplai oksigen yang ada biasanya sudah mencukupi kebutuhan sel. Setelah pembedahan jantung, pasien berisiko mengalami kenaikan suhu tubuh akibat infeksi atan sindrorn pascaperikardiotomi. Peningkatan kecepatan metabolisme yang terjadi akan meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan sehingga meningkatkan beban kerja jantung. Upaya harus dilakukan untuk mencegah terjadinya urutan kejadian tersebut atau menghentikannya begitu diketahui. Evaluasi Hasil yang Diharapkan a. Tercapainya curah jantung yang adekuat b. Terpeliharanya pertukaran gas yang adekuat c. Terpeliharanva keseimbangan cairan dan elekirolit d. Hilangnya gejala penginderaan yang berlebihan, kembali terorientasi terhadap orang. tempat dan waktu e. Hilangnya nyeri f. Terpeliharanya perfusi jaringan yang adekuat g. Tercapainya istirahat yang adekuat h. Terpeliharanya perfusi ginjal yang adekuat i. Terpeliharanya suhu tubuh normal j. Mampu melakukan aktivitas perawatan diri 

DAFTAR PUSTAKA 

Sylvia A. Price et. Al (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth(Ed. 8 Vol 2), EGC, Jakarta. Carpenito Lynda Juall (1999). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan (Ed. 2), Jakarta : Penerbit buku kedokteran. EGC. Barbara C Long, (1996). Perawatan Medikal Bedah, Edisi II, Yayasan ikatan alumni pendidikan keperawatan padjajaran Bandung: Bandung. Engram (1999). Rencanan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, Terjemahan dari Medical Surgical Nursing Planning, (1993), Alih bahasa Suharyati, EGC: Jakarta. Doenges E Marlynn (1999) Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3) Penerbit buku kedokteran. EGC