Thursday, November 29, 2012

pemeriksaan Fisik


pemeriksaan Fisik
1. ALAT DAN KOMPONEN PEMERIKSAAN KEHAMILAN

A. PERALATAN PEMERIKSAAN
Alat yang dipakai bervariasi namun yang terpenting adalah bagaimana seorang perawat memanfaatkan mata, telinga, hidung dan tangannya untukk mengetahui hamper semua hal penting tentang ibu hamil yang diperiksanya. Peralatan hanyalah penunjang bila ada dapat membantu pemeriksaan bila tidak semua tersedia, pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan dengan baik dengan ketrampilan memanfaatkan inderanya dan mempunyai kemampuan untuk menilai serta menangkap hal-hal yang perlu diperhatikan pada ibu hamil. Peralatan yang dipergunakan harus dalam keadaan bersih dan siap pakai.
Adapun alat – alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan ibu hamil diantaranya adalah: timbangan berat badan, pengukur tinggi badan, tensi meter, stetoskop monokuler atau linec, meteran atau midlen, hamer reflek, jangka panggul serta peralatan untuk pemeriksaan laboratorium kehamilan yaitu pemeriksaan kadar hemoglobin, protein urin, urin reduksi dll (bila diperlukan)


B. KOMPONEN PEMERIKSAAN FISIK PADA KUNJUNGAN ANTENATAL PERTAMA
1. Pemeriksaan fisik umum
a. Tinggi Badan
b. Berat badan
c. Tanda – tanda vital : tekanan darah, denyut nadi, suhu

2. Kepala dan leher
a. Edema diwajah
b. Ikterus pada mata
c. Mulut pucat
d. Leher meliputi pembengkakan saluran limfe atau pembengkakan kelenjar thyroid

3. Tangan dan kaki
a. Edema di jari tangan
b. Kuku jari pucat
c. Varices vena
d. Reflek – reflek

4. Payudara
a. Ukuran simetris
b. Putting menonjol / masuk
c. Keluarnya kolostrom atau cairan lain
d. Retraksi
e. Massa
f. Nodul axilla

5. Abdomen
a. Luka bekas operasi
b. Tinggi fundus uteri (jika>12 minggu)
c. Letak, presentasi, posisi dan penurunan kepala (jika>36 minggu)
d. Denyut jantung janin (jika>18 minggu)

6. Genetalia luar (externa)
a. varises
b. perdarahan
c. luka
d. cairan yang keluar
e. pengeluaran dari uretra dan skene
f. kelenjar bartholini : bengkak (massa), ciaran yang keluar

7. Genetalia dalam (interna)
a. servik meliputi cairan yang keluar, luka (lesi), kelunakan, posisi, mobilitas, tertutup atau terbuka
b. vagina meliputi cairan yang keluar, luka, darah
c. ukuran adneksa, bentuk, posisi, nyeri, kelunakan, massa (pada trimester pertama)
d. uterus meliputi : ukuran, bentuk, mobilitas, kelunakan, massa pada trimester petama.

2. PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN
Dalam pemeriksaan kehamilan meliputi beberapa langkah antara lain :
1. Perhatikan tanda – tanda tubuh yang sehat
Pemeriksaan pandang dimulai semenjak bertemu dengan pasien. Perhatikan bagaimana sikap tubuh, keadaan punggung dan cara berjalannya. Apakah cenderung membungkuk, terdapat lordosis, kifosis, scoliosis atau pincang dsb. Lihat dan nilai kekuatan ibu ketika berjalan, apakah ia tampak nyaman dan gembira, apakah ibu tampak lemah

2. Pengukuran tinggi badan dan berat badan
Timbanglah berat badan ibu pada setiap pemeriksaan kehamilan. Bila tidak tersedia timbangan, perhatikan apakah ibu bertambah berat badannya. Berat badan ibu hamil biasanya naik sekitar 9-12 kg selama kehamilan. Yang sebagian besar diperoleh terutama pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Kenaikan berat badan menunjukkan bahwa ibu mendapat cukup makanan. Jelaskan bahwa berat badan ibu naik secara normal yang menunjukkan janinnya tumbuh dengan baik bila kenaikan berat badan ibu kurang dari 5 kg pada kehamilan 28 minggu maka ia perlu dirujuk.
Tinggi berat badan hanya diukur pada kunjungan pertama. Bila tidak tersedia alat ukur tinggu badan maka bagian dari dinding dapat ditandai dengan ukuran centi meter. Pada ibu yang pendek perlu diperhatikan kemungkinan mempunyai panggul yang sempit sehingga menyulitkan dalam pemeriksaan. Bila tinggu badan ibu kurang dari 145 atau tampak pendek dibandingkan dengan rata-rata ibu, maka persalinan perlu diwaspadai.

3. Pemeriksaan tekanan darah
Tekanan darah pada ibu hamil bisanya tetap normal, kecuali bila ada kelainan. Bila tekanan darah mencapai 140/90 mmhg atau lebih mintalah ibu berbaring miring ke sebelah kiri dan mintalah ibu bersantai sampai terkantuk. Setelah 20 menit beristirahat, ukurlah tekanan darahnya. Bila tekanan darah tetap tinggi, maka hal ini menunjukkan ibu menderita pre eklamsia dan harus dirujuk ke dokter serta perlu diperiksa kehamilannya. Khususnya tekanan darahnya lebih sering (setiap minggu). Ibu dipantau secara ketat dan anjurkan ibu persalinannya direncanakan di rumah sakit.

4. Pemeriksaan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki
Pemeriksaan fisik pada kehamilan dilakukan melalui pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), periksa dengar (auskultasi),periksa ketuk (perkusi). Pemeriksaan dilakukan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sistematis atau berurutan.
Pada saat melakukan pemeriksaan daerah dada dan perut, pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi dilakukan secara berurutan dan bersamaan sehingga tidak adanya kesan membuka tutup baju pasien yang mengakibatkan rasa malu pasien.
Dibawah ini akan diuraikan pemeriksaan obstetric yaitu dengan melakukan inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi terhadap ibu hamil dari kepala sampai kaki.
- Lihatlah wajah atau muka pasien
Adakah cloasma gravidarum, pucat pada wajah adalah pembengkakan pada wajah. Bila terdapat pucat pada wajah periksalah konjungtiva dan kuku pucat menandakan bahwa ibu menderita anemia, sehingga memerlukan tindakan lebih lanjut. Jelaskan bahwa ibu sedang diperiksa apakah kurang darah atau tidak. Sebutkan bahwa bila ibu tidak kurang darah ia akan lebih kuat selama kehamilan dan persalinan. Jelaskan pula bahwa tablet tambah darah mencegah kurang darah.
Bila terdapat bengkak diwajah, periksalah adanya bengkak pada tangan dan kaki. Sedikit bengkak pada mata kaku dapat terjadi pada kehamilan normal, namun bengkak pada tangn dan atau wajah tanda preeklamsi. Perhatikan wajah ibu apakah bengkak dan tanyakan pada ibu apakah ia sulit melepaskan cincin atau gelang yang dipakainya. Mata kaki yang bengkak dan menimbulkan cekungan yang tak cepat hilang bila ditekan, maka ibu harus dirujuk ke dokter, dipantau ketat kehamilannya dan tekanan darahnya, serta direncanakan persalinannya dirumah sakit.
Selain memeriksa ada tidaknya pucat pada konjungtiva, lihatlah sclera mata adakah sclera kuning atau ikterik
- Lihatlah mulut pasien. Adakah tampak bibir pucat, bibir kering pecah-pecah adakah stomatitis, gingivitis, adakah gigi yang tanggal, adakah gigi yang berlobang, caries gigi. Selain dilihat dicium adanya bau mulut yang menyengat.
- Lihatlah kelenjar gondok, adakah pembesaran kelenjar thyroid, pembengkakan saluran linfe
- Lihat dan raba payudara, pada kunjungan pertama pemeriksaan payudara terhadap kemungkinan adanya benjolan yang tidak normal. Lihatlah apakah payudara simetris atau tidak, putting susu menonjol atau datar atau bahkan masuk. Putting susu yang datar atau masuk akan mengganggu proses menyusui nantinya. Apakah asinya sudah keluar atau belum. Lihatlah kebersihan areola mammae adakah hiperpigmentasi areola mammae.
- Lakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi dan auskultasi pada perut ibu.
Tujuan pemeriksaan abdomen adalah untuk menentukan letak dan presentasi janin, turunnya bagian janin yang terbawah, tinggi fundus uteri dan denyut jantung janin.
Sebelum memulai pemeriksaan abdomen, penting untuk dilakukan hal– hal sebagai berikut :
  • Mintalah ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya bila perlu
  • bantulah ia untuk santai. Letakkan sebuah bantal dibawah kepala dan bahunya. Fleksikan tangan dan lutut. Jika ia gelisah bantulah ia untuk santai dengan memintanya menarik nafas panjang.
  • cucilah tangan anda sebelum mulai memeriksa, keringkan dan usahakan agar tangan perawat cukup hangat.
Lihatlah bentuk pembesaran perut (melintang, memanjang, asimetris) adakah linea alba nigra, adakah striae gravidarum, adakah bekas luka operasi, adakah tampak gerakan janin, rasakan juga dengan pemeriksaan raba adanya pergerakan janin. Tentukan apakah pembesaran perut sesuai dengan umur kehamilannya. Pertumbuhan janin dinilai dari tingginya fundus uteri. Semakin tua umur kehamilan, maka semakin tinggi fundus uteri. Namun pada umur kehamilan 9 bulan fundus uteri akan turun kembali karena kepala telah turun atau masuk ke panggul. Pada kehamilan 12 minggu, tinggi fundus uteri biasanya sedikit diatas tulang panggul. Pada kehamilan 24 minggu fundus berada di pusat. Secara kasar dapat dipakai pegangan bahwa setiap bulannya fundus naik 2 jari tetapi perhitungan tersebut sering kurang tepat karena ukuran jari pemeriksa sangat bervariasi. Agar lebih tepat dianjurkan memakai ukuran tinggi fundus uteri dri simfisis pubis dalam sentimeter dengan pedoman sebagai berikut:

Umur kehamilan Tinggi fundus uteri

20 minggu 20 cm
24 minggu 24 cm
28 minggu 28 cm
32 minggu 32 cm
36 minggu 34- 46 cm


Jelaskan pada ibu bahwa perutnya akan semakin membesar karena pertumbuhan janin. Pada kunjungan pertama, tingginya fundus dicocokkan dengan perhitungan umur kehamilan hanya dapat diperkirakan dari hari pertama haid (HPHT). Bila HPHT tidak diketahui maka umur kehamilan hanya dapat diperkirakan dari tingginya fundus uteri. Pada setiap kunjungan, tingginya fundus uteri perlu diperiksa untuk melihat pertumbuhan janin normal, terlalu kecil atau terlalu besar.

5. Pemeriksaan leopold I, untuk menentukan bagian janin yang berada dalam fundus uteri.
Petunjuk cara pemeriksaan :
Pemeriksa berdiri disebelah kanan pasien, menghadap kearah kepala pasien. Kedua tangan diletakkan pada bagian atas uterus dengan mengikuti bentuk uterus. Lakukan palpasi secara lembut untuk menentukan bentuk, ukuran konsistensi dan gerakan janin.
Tentukan bagian janin mana yang terletak di fundus.
jika kepala janin yang nerada di fundus, maka palpasi akan teraba bagian bulat, keras dan dapat digerakkan (balotemen). Jika bokong yang terletak di fundus,maka pemeriksa akan meraba suatu bentuk yang tidak spesifik, lebih besar dan lebih lunak dari kepala, tidak dapat digerakkan, serta fundus terasa penuh. Pada letak lintang palpasi didaerah fundus akan terasa kosong.

6. Pemeriksaan Leopold II, untuk menentukan bagian janin yang berada pada kedua sisi uterus.
Petunjuk pemeriksaan :
pemeriksa berdiri disebelah kanan pasien, menghadap kepala pasien. Kedua telapak tangan diletakkan pada kedua sisi perut, dan lakukan tekanan yang lembut tetapi cukup dalam untuk meraba dari kedua sisi. Secara perlahan geser jari-jari dari satu sisi ke sisi lain untuk menentukan pada sisi mana terletak pada sisi mana terletak punggung, lengan dan kaki.

Hasil : bagian bokong janin akan teraba sebagai suatu benda yang keras pada beberapa bagian lunak dengan bentuk teratur,sedangkan bila teraba adanya bagian – bagian kecil yang tidak teratur mempunyai banyak tonjolan serta dapat bergerak dan menendang, maka bagian tersebut adalah kaki, lengan atau lutut. Bila punggung janin tidak teraba di kedua sisi mungkin punggung janin berada pada sisi yang sama dengan punggung ibu (posisi posterior) atau janin dapat pula berada pada posisi dengan punggung teraba disalah satu sisi.

7. Pemeriksaan Leopold III, untuk menentukan bagian janin apa yang berada pada bagian bawah. Petunjuk cara memeriksa:
dengan lutut ibu dalam posisi fleksi, raba dengan hati-hati bagian bawah abdomen pasien tepat diatas simfisis pubis. Coba untuk menilai bagian janin apa yang berada disana. Bandingkan dengan hasil pemeriksaan Leopold.

Hasil : bila bagian janin dapat digerakkan kearah cranial ibu, maka bagian terbawah dari janin belum melewati pintu atas panggul. Bila kepala yang berada diabagian terbawah, coba untuk menggerakkan kepala. Bila kepala tidak dapat digerakkan lagi, maka kepala sudah “engaged” bila tidak dapat diraba adanya kepala atau bokong, maka letak janin adalah melintang.

8. Pemeriksaan Leopold IV, untuk menentukan presentasi dan “engangement”.
Petunjuk dan cara memeriksa :
Pemeriksa menghadap kearah kaki ibu. Kedua lutut ibu masih pada posisi fleksi. Letakkan kedua telapak tangan pada bagian bawah abdomen dan coba untuk menekan kearah pintu atas panggul

Hasil: pada dasarnya sama dengan pemeriksaan Leopold III, menilai bagian janin terbawah yang berada didalam panggul dan menilai seberapa jauh bagian tersebut masuk melalui pintu atas panggul.

9. Pemeriksaan denyut jantung janin.
Denyut jantung janin menunjukkan kesehatan dan posisi janin terhadap ibu. Dengarkan denyut jantung janin (DJJ) sejak kehamilan 20 minggu. Jantung janin biasanya berdenyut 120-160 kali permenit. Tanyakan kepada ibu apakah janin sering bergerak, katakana pada ibu bahwa DJJ telah dapat didengar. Mintalah ibu segera bila janinnya berhenti bergerak. Bila sampai umur kehamilan 28 minggu denyut jantung janin tidak dapat didengar atau denyutnya lebih dari 160 atau kurang dari 120 kali permenit atau janinnya berkurang gerakannya atau tidak bergerak, maka ibu perlu segera dirujuk.

10. pemeriksaan punggung dibagian ginjal.
Tepuk punggung di bagian ginjal dengan bagian sisi tangan yang dikepalkan. Bila ibu merasa nyeri, mungkin terdapat gangguan pada ginjal atau salurannya.

11. Pemeriksaan genetalia
cucilah tangan, kemudian kenakan sarung tangan sebelum memeriksa vulva. Pada vulva terlihat adanya sedikit cairan jernih atau berwarna putih yang tidak berbau. Pada kehamilan normal, tak ada rasa gatal, luka atau perdarahan. Rabalah kulit didaerah selangkangan, pada keadaan normal tidak teraba adanya benjolan kelenjar. Setelah selesai cucilah tangan dengan sarung tangan yang masih terpasang, kemudian lepaskan sarung tangan dan sekali lagi cucilah tangan dengan sabun

12. Distansia tuberan
yaitu ukuran melintang dari pintu bawah panggul atau jarak antara tuber iskhiadikum kanan dan kiri dengan ukuran normal 10,5-11cm

13. Konjugata eksterna (Boudeloge)
yaitu jarak antar tepi atas simfisis dan prosesus spinosus lumbal V, dengan ukuran normal sekitar 18-20 cm. bila diameter bouldelogue kurang dari 16 cm, kemungkinan besar terdapat kesempitan panggul.

14. Pemeriksaan panggul
pada ibu hamil terutama primigravida perlu dilakukan pemeriksaan untuk menilai keadaan dan bentuk panggul apakah terdapat kelainan atau keadaan yang dapat menimbulkan penyulit persalinan. Ada empat cara melakukan pemeriksaan panggul yaitu dengan pemeriksaan pangdang (inspeksi) dilihat apakah terdapat dugaan kesempitan panggul atau kelainan panggul, misalnya pasien sangat pendek, bejalan pincang, terdapat kelainan seperti kifosis atau lordosis, belah ketupat michaelis tidah simetris. Dengan pemeriksaan raba, pasien dapat diduga mempunyai kelainan atau kesempitan panggul bial pada pemeriksaan raba pasien didapatkan: primigravida pada kehmilan aterm terdapat kelainan letak. Perasat Osborn positif fengan melakukan pengukuran ukuran-ukuran panggul luar.
Alat untuk menukur luar panggul yang paling sering digunakan adalah jangka panggul dari martin. Ukuran – ukuran panggul yang sering digunakan untuk menilai keadaan panggul adalah:

a. Distansia spinarum
Yaitu jarak antara spina iliaka anterior superior kanan dan kiri, dengan ukuran normal 23-26 cm

b. Distansia kristarum
Yaitu jarak antara Krista iliaka terjauh kanan dan kiri dengan ukuran sekitar 26-29 cm. bila selisih antara distansi kristarum dan distansia spinarum kurang dari 16 cm, kemungkinan besar adanya kesempitan panggul.

15. Pemeriksaan ektremitas bawah
memeriksa adanya oedema yang paling mudah dilakukan didaerah pretibia dan mata kaki dengan cara menekan jari beberapa detik. Apabila terjadi cekung yang tidak lekas pulih kembali berarti oedem positif. Oedem positif pada tungkai kaki dapat menendakan adanya pre eklampsia. Daerah lain yang dapat diperiksa adalah kelopak mata. Namun apabila kelopak mata sudah oedem biasanya keadaan pre eklamsi sudah lebih berat.

16. Pemeriksaan reflek lutut (patella)
mintalah ibu duduk dengan tungkainya tergantung bebas dan jelaskan apa yang akan dilakukan. Rabalah tendon dibawah lutut/ patella. Dengan menggunakan hammer ketuklan rendon pada lutut bagian depan. Tungkai bawah akan bergerak sedikit ketika tendon diketuk. Bila reflek lutut negative kemungkinan pasien mengalami kekurangan vitamin B1. bila gerakannya berlebihan dan capat maka hal ini mungkin merupakan tanda pre eklamsi.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 1992, Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Dalam Konteks Keluarga, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 1998, Asuhan Keperawatan Ibu Hamil (Antematal), Modul Diklat Jarak Jauh, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 1999, Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Dasar, Jakarta

Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2003, Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan Fisiologi Bagi Dosen Diploma III Kebidanan, Asuhan Antenatal, Buku 2, Jakarta

TOKOLITIK

TOKOLITIK

A.     Pengertian dan seputar Tokolitik
Beberapa golongan obat memiliki sifat tokolitik; golongan obat-obat tersebut meliputi agonis adrenoreseptor  beta2 (seperti ritrodin), magnesium sulfat, penyekat saluran kalsium (seperti nifedipin), inhibitor sintetase prostaglandin (seprti indometisin, suindac), antagonis oksitosin (mis. Atosiban), alcohol dan gliserol trinitrat (Graves, 1996). Sebagian di antara obat-obat ini masih tengah diselidiki untuk pemakaiannya pada persalinan premature/preterm. Dalam praktik obstetric saat ini di Negara Inggris (UK), prepparat yang menjadi pilihan meliputi agonis adrenoreseptor beta2 (BNF, 2000; Steer & Flint, 1999) atau antagonis kalsium (mis. nifedipin) dengan indometisin yang hanya digunakan sebagai preparat lini kedua (second line) mengingat sifat toksisitasnya terhaadap janin (Reynolds et al, 1996). Penelitian yang lebih luas diperlukan untuk menjawab persoalan prognosis pada janin (Steer, 1999) (lihat Bab 9 untuk magnesium)
Tirah baring dan terapi hidrasi merupkan lini pertama (first line) penatalaksanaan yang sudah dilakukan sejak lama untuk mengatasi persalinan prematur, endati oobat-obat tokolitik sudah digunakan dengan peranan terbatas dalam pencegahan persalinan premature pada ibu hamil dengan usia kematian 24-33 minggu (BNF, 2000). Persalinan premature yang lebih dini cenderung terjadi karena malformasi janin dan karena itu, intervensi medic dianggap kurang tepat (Graves, 1996). Pemakaian obat-obat tekolitik tampaknya berguna untuk menunda persalinan dalam waktu yang cukup lama sehingga memberikan kesempatan yang memungkinkan:
·         Pemindahan pasien ke rumah sakit khusus untuk tindakan persalinan dengan pembedahan jika timbul kedaan emerjensi seperti prolapsus tali pusat, presentasi bokong ataupun solusio plasenta persial(Graves, 1996).
·         Tersedianya waktu (paling sedikit adalah 48jam) untuk pemberian kortikosteroid yang akan mempercepat mturasi paru-paru janin (BNF,2000, Reynolds et al, 1996).

B.     Preparat agonis Adrenoreseptor beta2
Kelompok preparat golongan simpatomimetik ini meliputi Ritodrin, Terbutalin, Salbutamol dan Adrenalin.
Ø  Bagaimana tubuh menangani Agonis Adrenoresptor beta2
Obat-obat ini dapat diberikan lewat penyuntikan Intravena, Intramuscular, dan subcutan atau melalui jalur oral. Pemberian Intravena Ritrodin akan memberikan hasil yang efektif dalam tempo lima menit dengan konsentrasi puncak dan efek  samping yang terjadi setelah 50 menit (Olsen & D’Oria,1992). Karena bahaya edema paru, pemberian obat tersebut secara Intravena dianjjurkan untuk dilakukan dalam larutan dekstrosa 5% dengan volume yang minimal (BNF,2000;DoH,1996) sementara pemberian  dalam larutan salin harus dihindari (Lamont,2000). Yang penting, panduan ini harus dicermati karena larutan Dekstrosa (yang berbeda dengan larutan salin/garam fisiologis) akan terdistribusi ke dalam seluruh kompartemen cairan tubuh dan bukan hanya terbatas pada komperttemen ekstrasel yang bila terjadi penumpukan cairan dapat menimbulkan edema. Pemberian ritrodin intravena harus dilakukan lewat infuse yang terkontrol, khususnya dengan penggunaan pompa infuse (DoH,1996).
Program untuk pemberian yang konvensional meliputi pengaturan dosis yang sedikit demi sedikit menurut aktivitas uterus dan efek samping yang terjadi; kendati demikian, dalam salah satu penelitihan (n=203) terlihat bahwa pemberian loading dose disertai dengan efek merugikan yang kebih sedikit (hollebom et al, 1996). Terapi rumatan sudah tidak lagi dianjurkan (Sanchez-ramos et,al,1999;BNF,2000). Preparat Agonis Adrenoreseptor beta2, misalnya ritrodin, salbutamol atau terbutalin, merupakan preparat yang bekerja efektif selama sekitar empat jam. Karena itu, obat ini harus diberikan tiap 4jam sekali, atau bahkan lebih sering lagi (dua hingga tiga jam sekali) selama periode terlihatnya altifitas uterus (  McKenry & salerno,1998).
Preparat Agonis adrenoreseptor beta2  melintasi plasenta dan memasuki ASI sehingga neonates dapat mengalami efek sampingnya. Preparat agonis adrenoreseptor beta2 ini akan dieliminasi oleh hati dan ginjal, tetapi karena komplektifitas waktu paruh  trifasik yang dimiliki obat-obat ini, eliminasi tersebut dapat tertunda dan gejalah kardiovaskular bisa muncul kembali selama 12jam setelah penghentian pemakaian terbutalin. (Olsen&D’Oria,1992).
Ø  Kerja preparat Agonis adrenoreseptor beta2
Obat-obat iini bekerja seperti adrenalin, yaitu dengan menstimulasi reseptor beta2 yang terdapat dalam hati dan otot polos serta kelenjar pada banyak organ yaitu meliputi uterus, paru-paru serta usus. Kerja yang mencolok juga terjadi pada reseptor beta1 yang akan menstimulasi jantung dengan cara serupa dengan cara kerja adrenalin/ epinefrin dan noradrenalin/neroprinefrin. Karena perbedaan pada masing-masing obat, takaran pemberinnya harus sesuai disesuaikan menurut hasil pemantauan terhadap respons pasien dan efek samping obat.
Ø  Efek samping preparat agonis adrenoreseptor beta2
Efek samping yang serius dsan bahkan fatal pernah terjadi pada penggunaan preparat dan obat-obat golongan ini. Perry at al(1995) menemuhkan bahwa 0,54% ibu hamil yang memperoleh infuse terbutalin yang terus menerus mengalami prob;lem kardiopulmoner yang serius (n=8709). Diakui bahwa efek samping ini berhubungan dengan dosis total obat tesebut, kendati perubahan takaran (Holleboom et al,1996)  pernah dilaporkan (Hill, 1995).
Efek samping obat-obat tokollitik/relaksan uterus terjadi karena stimilasi pada adrenoreseptor beta2 yang mengenal:
§  System kardiovaskular
§  System  rennin-angiotensi
§  System saraf pusat
§  Otot polos pada banyak organ
§  Kelenjar yang mensekresikan mucus
§  Proses metabolism

a.       Stimulasi kardiovaskular
Obat-obat tokollitik adrenoreseptor beta2 memiliki hubungan dengan hormone-hormon yang digunakan untuk menggerakkan system kardiovaskular dalam situasi ‘fright, flight atau fight’. Hubungan ini maliputi peningkatan freluensi jantung, tekanan nadi dan kontraktilitas jantung lewat reseptor beta2. Pada pemberian obat-obat golongan tokolitik, biasanya frekuensi jantung ibu akan meningkat sebanyak 20-40 kali per menit dapat pula terjadi  takikardia neonatal. Takikardia lebih sering ditemukan pada pemberian ritodrin ketimbang obat-obat lain golongan ini. (Mc Kenry& Salerno).
Disamping peningkatan freluensi jantung, selanjutnya kerja jantung  akan meningkat dengan meningkatnya tekanan nadi yang biasanya berupa:
§  TD sistolik yang naik sekitar 10mmHg
§  TD diastolic yang turun sekitar 10-15mmHg (McKenry & Evans,1995)
Setiap peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba memilliki potensi untuk memicu serangan stroke (cerebrovaskular accident). Hubungan yang diperkirakan terdapat antara fluktuasi tekanan darah maternaldan perdarahan intraventrikuler periventrikuler pada bayi premature memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Holleboom et al, 1996).

b.      Vasodilatasi
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 akan menghasilkan relaksasi otot polos vaskuler dan menimbulkan dilatasi pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan tekanan darah diastolic pada ibu dan janin yang tampak paling nyata jika ibu tersebut berada dalam keadaan hipovolemik (Olsem &  D’Oria, 1992). Dilatasi pembuluh darah akan Meningkat aliran darah ke jaringan perifer yang meliputi uterus. Karena itu, penggunaan obat-obat golongan agonis adrenoreseptor beta2 tidak dianjurkan bila sudah terjadi perdarahan poatpartum.

c.       Aktivasi system renin-angiotensin
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 akan menstimulasi poros renin-angiotensi aldosteron. Keadaan ini biasanya akan mempertahankan tekanan darah yang terjadi baik lewat pengaturan keseinbangan cairan maupun melalui pembuluh arteriole yang mengalami kontriksi. Bersama dengan pengembangan kardiovaskkular yang terjadi pada kehamilan, stimulasi system renin-angiotensi dapat menimbulkan edema paruh(Lamont,2000).
Stimulasi berlebih pada poros renin-angiotensi aldosteron dapat menimbulkan kematian karena;
§  Edema paru yang terjadi skunder akibat retensi cairan yang akut dan bisa disertai dengan gekjalah meteorismus.
§  Retensi cairan, meteorismus dan gagal jantung kongestif (Reynolds et al,1996)
§  Hipertensi
§  Hipokalemia.
Penurunan yang paroksismal pada kadar kalium terjadi karena ekstraksi ion-ion kalium ke dalam otot skelet yang disebbkan oleh stimulasi adrenoreseptor beta2 (Ganong,1999). Keadaan ini mengakibatkan kelemahan, kram, bradikardi dan disritmia jantung. Selama beberapa jam, kahilangan kalium terjadi dalam tubuh melalui kerja aldosteron pasda tubulus renal.
Karena gejalah sisa yang berpotensi serius seperti sindrom gawat nafas akut, maka jika terjadi edema paru, pemberian infuse obat tokolitik  harus segera dihentikan dan kepada pasien diberikan preparat diiuretik (Reynold et al,1996). Edema paru dapat terjadi kemudian pada ibu dan janinnya (Olsen & O’Dria,1992).

d.      Inhibisi otot polos
Inhibisi otot polos traktus GI/usus dapat menyebabkan stasis lambung sehingga timbul kahilangan selera makan, mual dan muntah.  Pada pemberian intravena, 10-15% pasien akan mengalami mual dan muntah. Refluks ambung dapat menimbulkan gejalah nyeri uluhati. Sesudah pemberian obat selama dua  hingga tiga hari, pasien dapat mengalami konstipasi dan pada janin bisa terjadi ileus paralitik (Olsen&D’Oria, 1992), inhibasi otot polos system urogenital akan menurunkan aktivitas uterus tetapi juga menimbulkan depresi kandung kemih serta penurunan kontraktilitas ureter sehingga dapat terjadi retensio urine dan disuria.

e.       System saraf pusat
Efek preparat agonis adrenoreseptor beta2 pada SSP sudah di ketahui denngan baik, yaitu tremor, gugup, sakit kepala (10-15% kasus yang mendapatkan penyuntikan intravena), kecemasan, gugup, insomnia, gelisah, ketidakstabilan, emosi, pusing, halusinasi atau bahkan paranoia. Di samping itu, retinopati sudah pernah di temukan pada bayi-bayi yang premature setelah ibunya menggunakan ritodrin atau salbutomol. (Reynolds et al, 1996).

f.        Efek samping metabolic Pengeringan sekresi mucus
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 menghambat sekresi mucus yang dapat menyebabkan:
§  Mulut kering sehingga perlu kumur berkali-kali dengan air
§  Pengeringan sekresi paru yang dapat menimbulkan infeksi dada. Resiko ini dapat dikurangi jika keadaan dehidrasi dihindari dan kemudian dilakukan nafas yang dalam.

g.      Efek samping metabolik
Pemberian preparat agonis adrenoreseptor beta2 dapat menimbulkan keadaan hiperglikemia. Jika ibu hamil yang akan menggunakannya itu menderita penyakit diabetes, resiko timbulnya ketoasidosis diabetes cukup besar dan akhirnya akan terjadi kematian janin. Hiperglikemia dan efek samping lainnya lebih sering terjadi pada pemakaian terbutalin (McKenry & salerno. 1998). Hiperglikemia dapat menstimulasi produksi terlebih insulin fetal sehingga terjadi  hipoglikemia neonatal. Hipoglikemia pada neonates sudah pernah di laporkan (Oisen&D’Oria, 1992).

h.       Reaksi hipersensifitas  meliputi:
§  Spasme bronkus
§  Ruam pada 3-4 % yang menggunakan obat ttersebut.
§  Deplesi sel-sel darah putih setelah pemberian selama beberapa minggu
§  Abnormalitas/kenaikan kadar enzim-enzim hati (De Arcos et al 1996)
§  Anafilaksis

Ø  Kewaspadaan dan kontraindikasi
Keamanan dalam kehamilan pada penggunaan obat-obat golongan agonis adrenoreseptor beta2 masih belum ditetapkan dan efek pada neonates sudah pernah dilaporkan; dalam hal ini, penggunaan obat-obat tersebut dalam trimester pertama dan kedua kehamilan merupakan kontraindikasi (BNF,2000). Preparat Agonis Adrenoreseptor Beta2 dianggap berbahaya terutama bagi ibu hamil dengan kelainan jantung (yang congenital atau didapat), hipertiroidisme atau hipertensi yang mencakup hipetensi pulmonalis (Lamont,2000). Di samping itu, penyakit diabetes, hipokalemia atau glaucoma sudut tertutup yang sudah ada sebelumnya dapat menjadi semakin parah dan berbahaya. Penggunaan terapi tokolitik tidak boleh dilakukan jika tindakan tersebut membahayakan keadaan janin, misalnya oleh kompresi tali pusat. Meskipun keadaan pre-eklampsia yang berat merupakan indikasi untuk tidak melakukan terapi tokolitik, namun pre-eklampsia yang ringan dianggap sebagai kontraindikasi relative (BNF,2000). Obat-obat tokolitik lainnya, seperti nifedipin, dpat digunakan bila penggunaan preparat agonis adrenoreseptor beta2 merupakan kontraindikasi ( Van Dijk et al,1995).
Penyimpanan obat harus dilakukan di tempat yang kering serta sejuk dan jauh dari cahaya (Solvay Health Care,1995). Pompa infuse harus dijaga terhadap kelembapannya bahkan njika pemberiannya dilakukan di dalam rumah (McKenry & Salerno, 1998). Larutan obat yang sudah berubah warna, berkabut atau mengendap harus dibuang (Malseed et al, 1995).

                                                                                          
Ø  Interaksi obat
©      Hipokalemia dapat bertambah berat dengan pemberian obat dan keadaan yang meningkatkan kehilangan kalium seperti obat-obat steroid, teofilin, diuretic, digoksin atau keadaan hipoksia. Jika edema paru terjadi, kaedaan ini harus diatasi dengan pemberian diuretic (BNF,2000). Dalam situasi ini, hipokalemia (yang meliputi disritmia jantung) merupakan bahaya yang nyata harus dipantau dengan ketat.
©      Rresiko disritmia jantung, kelebihan beban cairan dan edema paru dapat meningkatkan dengan pemberian kortikosteroid yang dilakukan secara bersamaan (vasalainen et al, 1999).
©      Resiko desritmia jantung akan meningkat dengan penambahan obat-obat golongan simpatomimetik yang lain (glosarium), seperti obat-obat salesma yang dijual bebas, obat-obat golongan amfetamin, kokain, preparat antidepresan, obat0obat yang diresepkan untuk penyakit asma seperti; salbutamol dan tarbutalin.
Implikasi dalam praktek; Preparat Agonis Adrenoreseptor Beta2
Masalah potensial
Penatalaksanaan
Infeksi miokard, taklaritma, nyeri dada atau gagal jantung
©      Lakukan pemantauan frekuensi jantung setiap 15menit sekali. Lakukan pemeriksaan EKG jika timbul kecurigaan. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya masalah sekalipun hasil EKGnya normal. Jangan meningkatkan kecepatan ttetesan infuse jika frekuensi jantung lebih dari 135/140.
©      Lakukan pemantauan denyut nadi terlebih dahulu sebelum pemberian obat dilakukan dan tunda pemberiannya. Jika frekuensi jantung lebih dari 110 atau 120. Lakukan pemantauan denyut nadi janin, detak jantung janin harus tetap dibawah 170-180x permenit.
Hipertensi maternal yang menimbulkan serangan stroke
©      Lakukan pemantauan TD setiap 15 menit sekali.
Hipotensi maternal yang menganggu perfusi uterus
©      Tempatkan pasien dalam posisi berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri (posisi lateral kiri).
Hiperglikemia yang menimbulkan hipoglikemia neonatal atau kadang-kadang ketoasidosis maternal atau neonatal.
©      Lakukan pengukuran kadar glukosa darah setiap empat jam sekali dengan alat tes seperti BM stix.
Edema paru yang menimbulkan hipoksia dan sindrom gawat nafas akut
©      Lakukan pencatatan keseimbangan cairan dengan ketat. Batasi asupan cairan hanya sampai 2.5 liter/24jam. Lakukan observasi untuk menemukan tanda sesak nafas dan ketidakmampuan pasien untuk menyelesaikan pengucapan kalimatnya. Lakukan auskultasi untuk mendengarkan suara paru-paru di daerah dasar pulmonalis dengan menggunakan stetoskop yang baik.
©      Lakukan pengukuran berat badan sebelum dan sesudah terapi
©      Sediakan sarana untuk pemantauan obat-obat diuretic dan kalium.
Hipokalemia yang menimbulkan disritmia jantung atau henti jantung, dan kelemahan otot sehingga menganggu respirasi
©      Mengambil sumpel darah vena untuk pemeriksaan kadar ureum dan elektrolit paling tidak setiap 24 jam sekali. Lakukan pemeriksaan EKG paling tidak setiap 24jam sekali.
Stasis traktus GI
©      Lakukan pemeriksaan gerakan usus. Persiapkan pasien bila ia mengalami muntah dan mual. Pertahankan asupan cairan yang adekuat.
Persalinan premature kendati sudah dilaksanakan terapi tokolisis
©      Lakukan pemantauan uterus. Fasilitas untuk melahirkan bayi premature harus sudah disediahkan.
Peningkatan perdarahan uterus sehingga diperlukan SC
©      Preparat penyekat beta harus sudah tersedia untuk menghadapi keadaan emerjensi

C.     Beberapa contoh kasus seputar pemberian tokolitik
Kasus ini melukiskan perlunya pemantauan yang hati-hati dan protocol kerja yang ketat sebagaimana digambarkan pada implikasi dalam praktik.
   Seorang ibu muda dengan usia kehamilan 33 minggu dan dalam proses persalinan yang premature mendapatkan infuse retodrin selama tiga hari sebelum pemberian lewat infuse tersebut dig anti dengan pemberian retodrin oral. Pada saat pengobatan ini, ia mengalami takikardia yang persisten dan terjadi gawat janin. Sesudah dilakukan SC timbul edema paru. Keadaan ini menyebabkan kerusakan paru, fibrosis dan sindroma gawat  nafas akut (acuta respiratory distress syndrome) yang kemudian berakhir dengan kematian.
Ritodrin mungkin merupakan penyebab edema paru pada kasus ini. Waktu-paruh yang lama pada ritodrin menyebabkan akumulasi obat ini. Ketika penggunaannya dihentikan, obat tersebut tidak dapat segera di eliminasi. Karena itu, kewaspadaan kita harus selalu dipertahankan kendati pemberian obat sudah di hentikan. (DoH, 1996).

TOKOLITIK

TOKOLITIK

A.     Pengertian dan seputar Tokolitik
Beberapa golongan obat memiliki sifat tokolitik; golongan obat-obat tersebut meliputi agonis adrenoreseptor  beta2 (seperti ritrodin), magnesium sulfat, penyekat saluran kalsium (seperti nifedipin), inhibitor sintetase prostaglandin (seprti indometisin, suindac), antagonis oksitosin (mis. Atosiban), alcohol dan gliserol trinitrat (Graves, 1996). Sebagian di antara obat-obat ini masih tengah diselidiki untuk pemakaiannya pada persalinan premature/preterm. Dalam praktik obstetric saat ini di Negara Inggris (UK), prepparat yang menjadi pilihan meliputi agonis adrenoreseptor beta2 (BNF, 2000; Steer & Flint, 1999) atau antagonis kalsium (mis. nifedipin) dengan indometisin yang hanya digunakan sebagai preparat lini kedua (second line) mengingat sifat toksisitasnya terhaadap janin (Reynolds et al, 1996). Penelitian yang lebih luas diperlukan untuk menjawab persoalan prognosis pada janin (Steer, 1999) (lihat Bab 9 untuk magnesium)
Tirah baring dan terapi hidrasi merupkan lini pertama (first line) penatalaksanaan yang sudah dilakukan sejak lama untuk mengatasi persalinan prematur, endati oobat-obat tokolitik sudah digunakan dengan peranan terbatas dalam pencegahan persalinan premature pada ibu hamil dengan usia kematian 24-33 minggu (BNF, 2000). Persalinan premature yang lebih dini cenderung terjadi karena malformasi janin dan karena itu, intervensi medic dianggap kurang tepat (Graves, 1996). Pemakaian obat-obat tekolitik tampaknya berguna untuk menunda persalinan dalam waktu yang cukup lama sehingga memberikan kesempatan yang memungkinkan:
·         Pemindahan pasien ke rumah sakit khusus untuk tindakan persalinan dengan pembedahan jika timbul kedaan emerjensi seperti prolapsus tali pusat, presentasi bokong ataupun solusio plasenta persial(Graves, 1996).
·         Tersedianya waktu (paling sedikit adalah 48jam) untuk pemberian kortikosteroid yang akan mempercepat mturasi paru-paru janin (BNF,2000, Reynolds et al, 1996).

B.     Preparat agonis Adrenoreseptor beta2
Kelompok preparat golongan simpatomimetik ini meliputi Ritodrin, Terbutalin, Salbutamol dan Adrenalin.
Ø  Bagaimana tubuh menangani Agonis Adrenoresptor beta2
Obat-obat ini dapat diberikan lewat penyuntikan Intravena, Intramuscular, dan subcutan atau melalui jalur oral. Pemberian Intravena Ritrodin akan memberikan hasil yang efektif dalam tempo lima menit dengan konsentrasi puncak dan efek  samping yang terjadi setelah 50 menit (Olsen & D’Oria,1992). Karena bahaya edema paru, pemberian obat tersebut secara Intravena dianjjurkan untuk dilakukan dalam larutan dekstrosa 5% dengan volume yang minimal (BNF,2000;DoH,1996) sementara pemberian  dalam larutan salin harus dihindari (Lamont,2000). Yang penting, panduan ini harus dicermati karena larutan Dekstrosa (yang berbeda dengan larutan salin/garam fisiologis) akan terdistribusi ke dalam seluruh kompartemen cairan tubuh dan bukan hanya terbatas pada komperttemen ekstrasel yang bila terjadi penumpukan cairan dapat menimbulkan edema. Pemberian ritrodin intravena harus dilakukan lewat infuse yang terkontrol, khususnya dengan penggunaan pompa infuse (DoH,1996).
Program untuk pemberian yang konvensional meliputi pengaturan dosis yang sedikit demi sedikit menurut aktivitas uterus dan efek samping yang terjadi; kendati demikian, dalam salah satu penelitihan (n=203) terlihat bahwa pemberian loading dose disertai dengan efek merugikan yang kebih sedikit (hollebom et al, 1996). Terapi rumatan sudah tidak lagi dianjurkan (Sanchez-ramos et,al,1999;BNF,2000). Preparat Agonis Adrenoreseptor beta2, misalnya ritrodin, salbutamol atau terbutalin, merupakan preparat yang bekerja efektif selama sekitar empat jam. Karena itu, obat ini harus diberikan tiap 4jam sekali, atau bahkan lebih sering lagi (dua hingga tiga jam sekali) selama periode terlihatnya altifitas uterus (  McKenry & salerno,1998).
Preparat Agonis adrenoreseptor beta2  melintasi plasenta dan memasuki ASI sehingga neonates dapat mengalami efek sampingnya. Preparat agonis adrenoreseptor beta2 ini akan dieliminasi oleh hati dan ginjal, tetapi karena komplektifitas waktu paruh  trifasik yang dimiliki obat-obat ini, eliminasi tersebut dapat tertunda dan gejalah kardiovaskular bisa muncul kembali selama 12jam setelah penghentian pemakaian terbutalin. (Olsen&D’Oria,1992).
Ø  Kerja preparat Agonis adrenoreseptor beta2
Obat-obat iini bekerja seperti adrenalin, yaitu dengan menstimulasi reseptor beta2 yang terdapat dalam hati dan otot polos serta kelenjar pada banyak organ yaitu meliputi uterus, paru-paru serta usus. Kerja yang mencolok juga terjadi pada reseptor beta1 yang akan menstimulasi jantung dengan cara serupa dengan cara kerja adrenalin/ epinefrin dan noradrenalin/neroprinefrin. Karena perbedaan pada masing-masing obat, takaran pemberinnya harus sesuai disesuaikan menurut hasil pemantauan terhadap respons pasien dan efek samping obat.
Ø  Efek samping preparat agonis adrenoreseptor beta2
Efek samping yang serius dsan bahkan fatal pernah terjadi pada penggunaan preparat dan obat-obat golongan ini. Perry at al(1995) menemuhkan bahwa 0,54% ibu hamil yang memperoleh infuse terbutalin yang terus menerus mengalami prob;lem kardiopulmoner yang serius (n=8709). Diakui bahwa efek samping ini berhubungan dengan dosis total obat tesebut, kendati perubahan takaran (Holleboom et al,1996)  pernah dilaporkan (Hill, 1995).
Efek samping obat-obat tokollitik/relaksan uterus terjadi karena stimilasi pada adrenoreseptor beta2 yang mengenal:
§  System kardiovaskular
§  System  rennin-angiotensi
§  System saraf pusat
§  Otot polos pada banyak organ
§  Kelenjar yang mensekresikan mucus
§  Proses metabolism

a.       Stimulasi kardiovaskular
Obat-obat tokollitik adrenoreseptor beta2 memiliki hubungan dengan hormone-hormon yang digunakan untuk menggerakkan system kardiovaskular dalam situasi ‘fright, flight atau fight’. Hubungan ini maliputi peningkatan freluensi jantung, tekanan nadi dan kontraktilitas jantung lewat reseptor beta2. Pada pemberian obat-obat golongan tokolitik, biasanya frekuensi jantung ibu akan meningkat sebanyak 20-40 kali per menit dapat pula terjadi  takikardia neonatal. Takikardia lebih sering ditemukan pada pemberian ritodrin ketimbang obat-obat lain golongan ini. (Mc Kenry& Salerno).
Disamping peningkatan freluensi jantung, selanjutnya kerja jantung  akan meningkat dengan meningkatnya tekanan nadi yang biasanya berupa:
§  TD sistolik yang naik sekitar 10mmHg
§  TD diastolic yang turun sekitar 10-15mmHg (McKenry & Evans,1995)
Setiap peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba memilliki potensi untuk memicu serangan stroke (cerebrovaskular accident). Hubungan yang diperkirakan terdapat antara fluktuasi tekanan darah maternaldan perdarahan intraventrikuler periventrikuler pada bayi premature memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Holleboom et al, 1996).

b.      Vasodilatasi
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 akan menghasilkan relaksasi otot polos vaskuler dan menimbulkan dilatasi pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan tekanan darah diastolic pada ibu dan janin yang tampak paling nyata jika ibu tersebut berada dalam keadaan hipovolemik (Olsem &  D’Oria, 1992). Dilatasi pembuluh darah akan Meningkat aliran darah ke jaringan perifer yang meliputi uterus. Karena itu, penggunaan obat-obat golongan agonis adrenoreseptor beta2 tidak dianjurkan bila sudah terjadi perdarahan poatpartum.

c.       Aktivasi system renin-angiotensin
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 akan menstimulasi poros renin-angiotensi aldosteron. Keadaan ini biasanya akan mempertahankan tekanan darah yang terjadi baik lewat pengaturan keseinbangan cairan maupun melalui pembuluh arteriole yang mengalami kontriksi. Bersama dengan pengembangan kardiovaskkular yang terjadi pada kehamilan, stimulasi system renin-angiotensi dapat menimbulkan edema paruh(Lamont,2000).
Stimulasi berlebih pada poros renin-angiotensi aldosteron dapat menimbulkan kematian karena;
§  Edema paru yang terjadi skunder akibat retensi cairan yang akut dan bisa disertai dengan gekjalah meteorismus.
§  Retensi cairan, meteorismus dan gagal jantung kongestif (Reynolds et al,1996)
§  Hipertensi
§  Hipokalemia.
Penurunan yang paroksismal pada kadar kalium terjadi karena ekstraksi ion-ion kalium ke dalam otot skelet yang disebbkan oleh stimulasi adrenoreseptor beta2 (Ganong,1999). Keadaan ini mengakibatkan kelemahan, kram, bradikardi dan disritmia jantung. Selama beberapa jam, kahilangan kalium terjadi dalam tubuh melalui kerja aldosteron pasda tubulus renal.
Karena gejalah sisa yang berpotensi serius seperti sindrom gawat nafas akut, maka jika terjadi edema paru, pemberian infuse obat tokolitik  harus segera dihentikan dan kepada pasien diberikan preparat diiuretik (Reynold et al,1996). Edema paru dapat terjadi kemudian pada ibu dan janinnya (Olsen & O’Dria,1992).

d.      Inhibisi otot polos
Inhibisi otot polos traktus GI/usus dapat menyebabkan stasis lambung sehingga timbul kahilangan selera makan, mual dan muntah.  Pada pemberian intravena, 10-15% pasien akan mengalami mual dan muntah. Refluks ambung dapat menimbulkan gejalah nyeri uluhati. Sesudah pemberian obat selama dua  hingga tiga hari, pasien dapat mengalami konstipasi dan pada janin bisa terjadi ileus paralitik (Olsen&D’Oria, 1992), inhibasi otot polos system urogenital akan menurunkan aktivitas uterus tetapi juga menimbulkan depresi kandung kemih serta penurunan kontraktilitas ureter sehingga dapat terjadi retensio urine dan disuria.

e.       System saraf pusat
Efek preparat agonis adrenoreseptor beta2 pada SSP sudah di ketahui denngan baik, yaitu tremor, gugup, sakit kepala (10-15% kasus yang mendapatkan penyuntikan intravena), kecemasan, gugup, insomnia, gelisah, ketidakstabilan, emosi, pusing, halusinasi atau bahkan paranoia. Di samping itu, retinopati sudah pernah di temukan pada bayi-bayi yang premature setelah ibunya menggunakan ritodrin atau salbutomol. (Reynolds et al, 1996).

f.        Efek samping metabolic Pengeringan sekresi mucus
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 menghambat sekresi mucus yang dapat menyebabkan:
§  Mulut kering sehingga perlu kumur berkali-kali dengan air
§  Pengeringan sekresi paru yang dapat menimbulkan infeksi dada. Resiko ini dapat dikurangi jika keadaan dehidrasi dihindari dan kemudian dilakukan nafas yang dalam.

g.      Efek samping metabolik
Pemberian preparat agonis adrenoreseptor beta2 dapat menimbulkan keadaan hiperglikemia. Jika ibu hamil yang akan menggunakannya itu menderita penyakit diabetes, resiko timbulnya ketoasidosis diabetes cukup besar dan akhirnya akan terjadi kematian janin. Hiperglikemia dan efek samping lainnya lebih sering terjadi pada pemakaian terbutalin (McKenry & salerno. 1998). Hiperglikemia dapat menstimulasi produksi terlebih insulin fetal sehingga terjadi  hipoglikemia neonatal. Hipoglikemia pada neonates sudah pernah di laporkan (Oisen&D’Oria, 1992).

h.       Reaksi hipersensifitas  meliputi:
§  Spasme bronkus
§  Ruam pada 3-4 % yang menggunakan obat ttersebut.
§  Deplesi sel-sel darah putih setelah pemberian selama beberapa minggu
§  Abnormalitas/kenaikan kadar enzim-enzim hati (De Arcos et al 1996)
§  Anafilaksis

Ø  Kewaspadaan dan kontraindikasi
Keamanan dalam kehamilan pada penggunaan obat-obat golongan agonis adrenoreseptor beta2 masih belum ditetapkan dan efek pada neonates sudah pernah dilaporkan; dalam hal ini, penggunaan obat-obat tersebut dalam trimester pertama dan kedua kehamilan merupakan kontraindikasi (BNF,2000). Preparat Agonis Adrenoreseptor Beta2 dianggap berbahaya terutama bagi ibu hamil dengan kelainan jantung (yang congenital atau didapat), hipertiroidisme atau hipertensi yang mencakup hipetensi pulmonalis (Lamont,2000). Di samping itu, penyakit diabetes, hipokalemia atau glaucoma sudut tertutup yang sudah ada sebelumnya dapat menjadi semakin parah dan berbahaya. Penggunaan terapi tokolitik tidak boleh dilakukan jika tindakan tersebut membahayakan keadaan janin, misalnya oleh kompresi tali pusat. Meskipun keadaan pre-eklampsia yang berat merupakan indikasi untuk tidak melakukan terapi tokolitik, namun pre-eklampsia yang ringan dianggap sebagai kontraindikasi relative (BNF,2000). Obat-obat tokolitik lainnya, seperti nifedipin, dpat digunakan bila penggunaan preparat agonis adrenoreseptor beta2 merupakan kontraindikasi ( Van Dijk et al,1995).
Penyimpanan obat harus dilakukan di tempat yang kering serta sejuk dan jauh dari cahaya (Solvay Health Care,1995). Pompa infuse harus dijaga terhadap kelembapannya bahkan njika pemberiannya dilakukan di dalam rumah (McKenry & Salerno, 1998). Larutan obat yang sudah berubah warna, berkabut atau mengendap harus dibuang (Malseed et al, 1995).

                                                                                          
Ø  Interaksi obat
©      Hipokalemia dapat bertambah berat dengan pemberian obat dan keadaan yang meningkatkan kehilangan kalium seperti obat-obat steroid, teofilin, diuretic, digoksin atau keadaan hipoksia. Jika edema paru terjadi, kaedaan ini harus diatasi dengan pemberian diuretic (BNF,2000). Dalam situasi ini, hipokalemia (yang meliputi disritmia jantung) merupakan bahaya yang nyata harus dipantau dengan ketat.
©      Rresiko disritmia jantung, kelebihan beban cairan dan edema paru dapat meningkatkan dengan pemberian kortikosteroid yang dilakukan secara bersamaan (vasalainen et al, 1999).
©      Resiko desritmia jantung akan meningkat dengan penambahan obat-obat golongan simpatomimetik yang lain (glosarium), seperti obat-obat salesma yang dijual bebas, obat-obat golongan amfetamin, kokain, preparat antidepresan, obat0obat yang diresepkan untuk penyakit asma seperti; salbutamol dan tarbutalin.
Implikasi dalam praktek; Preparat Agonis Adrenoreseptor Beta2
Masalah potensial
Penatalaksanaan
Infeksi miokard, taklaritma, nyeri dada atau gagal jantung
©      Lakukan pemantauan frekuensi jantung setiap 15menit sekali. Lakukan pemeriksaan EKG jika timbul kecurigaan. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya masalah sekalipun hasil EKGnya normal. Jangan meningkatkan kecepatan ttetesan infuse jika frekuensi jantung lebih dari 135/140.
©      Lakukan pemantauan denyut nadi terlebih dahulu sebelum pemberian obat dilakukan dan tunda pemberiannya. Jika frekuensi jantung lebih dari 110 atau 120. Lakukan pemantauan denyut nadi janin, detak jantung janin harus tetap dibawah 170-180x permenit.
Hipertensi maternal yang menimbulkan serangan stroke
©      Lakukan pemantauan TD setiap 15 menit sekali.
Hipotensi maternal yang menganggu perfusi uterus
©      Tempatkan pasien dalam posisi berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri (posisi lateral kiri).
Hiperglikemia yang menimbulkan hipoglikemia neonatal atau kadang-kadang ketoasidosis maternal atau neonatal.
©      Lakukan pengukuran kadar glukosa darah setiap empat jam sekali dengan alat tes seperti BM stix.
Edema paru yang menimbulkan hipoksia dan sindrom gawat nafas akut
©      Lakukan pencatatan keseimbangan cairan dengan ketat. Batasi asupan cairan hanya sampai 2.5 liter/24jam. Lakukan observasi untuk menemukan tanda sesak nafas dan ketidakmampuan pasien untuk menyelesaikan pengucapan kalimatnya. Lakukan auskultasi untuk mendengarkan suara paru-paru di daerah dasar pulmonalis dengan menggunakan stetoskop yang baik.
©      Lakukan pengukuran berat badan sebelum dan sesudah terapi
©      Sediakan sarana untuk pemantauan obat-obat diuretic dan kalium.
Hipokalemia yang menimbulkan disritmia jantung atau henti jantung, dan kelemahan otot sehingga menganggu respirasi
©      Mengambil sumpel darah vena untuk pemeriksaan kadar ureum dan elektrolit paling tidak setiap 24 jam sekali. Lakukan pemeriksaan EKG paling tidak setiap 24jam sekali.
Stasis traktus GI
©      Lakukan pemeriksaan gerakan usus. Persiapkan pasien bila ia mengalami muntah dan mual. Pertahankan asupan cairan yang adekuat.
Persalinan premature kendati sudah dilaksanakan terapi tokolisis
©      Lakukan pemantauan uterus. Fasilitas untuk melahirkan bayi premature harus sudah disediahkan.
Peningkatan perdarahan uterus sehingga diperlukan SC
©      Preparat penyekat beta harus sudah tersedia untuk menghadapi keadaan emerjensi

C.     Beberapa contoh kasus seputar pemberian tokolitik
Kasus ini melukiskan perlunya pemantauan yang hati-hati dan protocol kerja yang ketat sebagaimana digambarkan pada implikasi dalam praktik.
   Seorang ibu muda dengan usia kehamilan 33 minggu dan dalam proses persalinan yang premature mendapatkan infuse retodrin selama tiga hari sebelum pemberian lewat infuse tersebut dig anti dengan pemberian retodrin oral. Pada saat pengobatan ini, ia mengalami takikardia yang persisten dan terjadi gawat janin. Sesudah dilakukan SC timbul edema paru. Keadaan ini menyebabkan kerusakan paru, fibrosis dan sindroma gawat  nafas akut (acuta respiratory distress syndrome) yang kemudian berakhir dengan kematian.
Ritodrin mungkin merupakan penyebab edema paru pada kasus ini. Waktu-paruh yang lama pada ritodrin menyebabkan akumulasi obat ini. Ketika penggunaannya dihentikan, obat tersebut tidak dapat segera di eliminasi. Karena itu, kewaspadaan kita harus selalu dipertahankan kendati pemberian obat sudah di hentikan. (DoH, 1996).