TOKOLITIK
A. Pengertian dan seputar Tokolitik
Beberapa
golongan obat memiliki sifat tokolitik; golongan obat-obat tersebut
meliputi agonis adrenoreseptor beta2 (seperti ritrodin), magnesium
sulfat, penyekat saluran kalsium (seperti nifedipin), inhibitor
sintetase prostaglandin (seprti indometisin, suindac), antagonis
oksitosin (mis. Atosiban), alcohol dan gliserol trinitrat (Graves,
1996). Sebagian di antara obat-obat ini masih tengah diselidiki untuk
pemakaiannya pada persalinan premature/preterm. Dalam praktik obstetric
saat ini di Negara Inggris (UK), prepparat yang menjadi pilihan meliputi
agonis adrenoreseptor beta2 (BNF, 2000; Steer & Flint, 1999) atau
antagonis kalsium (mis. nifedipin) dengan indometisin yang hanya
digunakan sebagai preparat lini kedua (second line) mengingat
sifat toksisitasnya terhaadap janin (Reynolds et al, 1996). Penelitian
yang lebih luas diperlukan untuk menjawab persoalan prognosis pada janin
(Steer, 1999) (lihat Bab 9 untuk magnesium)
Tirah baring dan terapi hidrasi merupkan lini pertama (first line)
penatalaksanaan yang sudah dilakukan sejak lama untuk mengatasi
persalinan prematur, endati oobat-obat tokolitik sudah digunakan dengan
peranan terbatas dalam pencegahan persalinan premature pada ibu hamil
dengan usia kematian 24-33 minggu (BNF, 2000). Persalinan premature yang
lebih dini cenderung terjadi karena malformasi janin dan karena itu,
intervensi medic dianggap kurang tepat (Graves, 1996). Pemakaian
obat-obat tekolitik tampaknya berguna untuk menunda persalinan dalam
waktu yang cukup lama sehingga memberikan kesempatan yang memungkinkan:
· Pemindahan
pasien ke rumah sakit khusus untuk tindakan persalinan dengan
pembedahan jika timbul kedaan emerjensi seperti prolapsus tali pusat,
presentasi bokong ataupun solusio plasenta persial(Graves, 1996).
· Tersedianya
waktu (paling sedikit adalah 48jam) untuk pemberian kortikosteroid yang
akan mempercepat mturasi paru-paru janin (BNF,2000, Reynolds et al,
1996).
B. Preparat agonis Adrenoreseptor beta2
Kelompok preparat golongan simpatomimetik ini meliputi Ritodrin, Terbutalin, Salbutamol dan Adrenalin.
Ø Bagaimana tubuh menangani Agonis Adrenoresptor beta2
Obat-obat
ini dapat diberikan lewat penyuntikan Intravena, Intramuscular, dan
subcutan atau melalui jalur oral. Pemberian Intravena Ritrodin akan
memberikan hasil yang efektif dalam tempo lima menit dengan konsentrasi
puncak dan efek samping yang terjadi setelah 50 menit (Olsen &
D’Oria,1992). Karena bahaya edema paru, pemberian obat tersebut secara
Intravena dianjjurkan untuk dilakukan dalam larutan dekstrosa 5% dengan
volume yang minimal (BNF,2000;DoH,1996) sementara pemberian dalam
larutan salin harus dihindari (Lamont,2000). Yang penting, panduan ini
harus dicermati karena larutan Dekstrosa (yang berbeda dengan larutan
salin/garam fisiologis) akan terdistribusi ke dalam seluruh kompartemen
cairan tubuh dan bukan hanya terbatas pada komperttemen ekstrasel yang
bila terjadi penumpukan cairan dapat menimbulkan edema. Pemberian
ritrodin intravena harus dilakukan lewat infuse yang terkontrol,
khususnya dengan penggunaan pompa infuse (DoH,1996).
Program
untuk pemberian yang konvensional meliputi pengaturan dosis yang
sedikit demi sedikit menurut aktivitas uterus dan efek samping yang
terjadi; kendati demikian, dalam salah satu penelitihan (n=203) terlihat
bahwa pemberian loading dose disertai dengan efek merugikan yang
kebih sedikit (hollebom et al, 1996). Terapi rumatan sudah tidak lagi
dianjurkan (Sanchez-ramos et,al,1999;BNF,2000). Preparat Agonis
Adrenoreseptor beta2, misalnya ritrodin, salbutamol atau
terbutalin, merupakan preparat yang bekerja efektif selama sekitar empat
jam. Karena itu, obat ini harus diberikan tiap 4jam sekali, atau bahkan
lebih sering lagi (dua hingga tiga jam sekali) selama periode
terlihatnya altifitas uterus ( McKenry & salerno,1998).
Preparat Agonis adrenoreseptor beta2 melintasi plasenta dan memasuki ASI sehingga neonates dapat mengalami efek sampingnya. Preparat agonis adrenoreseptor beta2
ini akan dieliminasi oleh hati dan ginjal, tetapi karena komplektifitas
waktu paruh trifasik yang dimiliki obat-obat ini, eliminasi tersebut
dapat tertunda dan gejalah kardiovaskular bisa muncul kembali selama
12jam setelah penghentian pemakaian terbutalin. (Olsen&D’Oria,1992).
Ø Kerja preparat Agonis adrenoreseptor beta2
Obat-obat iini bekerja seperti adrenalin, yaitu dengan menstimulasi reseptor beta2
yang terdapat dalam hati dan otot polos serta kelenjar pada banyak
organ yaitu meliputi uterus, paru-paru serta usus. Kerja yang mencolok
juga terjadi pada reseptor beta1 yang akan menstimulasi
jantung dengan cara serupa dengan cara kerja adrenalin/ epinefrin dan
noradrenalin/neroprinefrin. Karena perbedaan pada masing-masing obat,
takaran pemberinnya harus sesuai disesuaikan menurut hasil pemantauan
terhadap respons pasien dan efek samping obat.
Ø Efek samping preparat agonis adrenoreseptor beta2
Efek
samping yang serius dsan bahkan fatal pernah terjadi pada penggunaan
preparat dan obat-obat golongan ini. Perry at al(1995) menemuhkan bahwa
0,54% ibu hamil yang memperoleh infuse terbutalin yang terus menerus
mengalami prob;lem kardiopulmoner yang serius (n=8709). Diakui bahwa
efek samping ini berhubungan dengan dosis total obat tesebut, kendati
perubahan takaran (Holleboom et al,1996) pernah dilaporkan (Hill,
1995).
Efek samping obat-obat tokollitik/relaksan uterus terjadi karena stimilasi pada adrenoreseptor beta2 yang mengenal:
§ System kardiovaskular
§ System rennin-angiotensi
§ System saraf pusat
§ Otot polos pada banyak organ
§ Kelenjar yang mensekresikan mucus
§ Proses metabolism
a. Stimulasi kardiovaskular
Obat-obat tokollitik adrenoreseptor beta2 memiliki hubungan dengan hormone-hormon yang digunakan untuk menggerakkan system kardiovaskular dalam situasi ‘fright, flight atau fight’. Hubungan ini maliputi peningkatan freluensi jantung, tekanan nadi dan kontraktilitas jantung lewat reseptor beta2. Pada
pemberian obat-obat golongan tokolitik, biasanya frekuensi jantung ibu
akan meningkat sebanyak 20-40 kali per menit dapat pula terjadi
takikardia neonatal. Takikardia lebih sering ditemukan pada pemberian
ritodrin ketimbang obat-obat lain golongan ini. (Mc Kenry& Salerno).
Disamping
peningkatan freluensi jantung, selanjutnya kerja jantung akan
meningkat dengan meningkatnya tekanan nadi yang biasanya berupa:
§ TD sistolik yang naik sekitar 10mmHg
§ TD diastolic yang turun sekitar 10-15mmHg (McKenry & Evans,1995)
Setiap peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba memilliki potensi untuk memicu serangan stroke (cerebrovaskular accident).
Hubungan yang diperkirakan terdapat antara fluktuasi tekanan darah
maternaldan perdarahan intraventrikuler periventrikuler pada bayi
premature memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Holleboom et al, 1996).
b. Vasodilatasi
Preparat agonis adrenoreseptor beta2
akan menghasilkan relaksasi otot polos vaskuler dan menimbulkan
dilatasi pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan tekanan darah
diastolic pada ibu dan janin yang tampak paling nyata jika ibu tersebut
berada dalam keadaan hipovolemik (Olsem & D’Oria, 1992). Dilatasi
pembuluh darah akan Meningkat aliran darah ke jaringan perifer yang
meliputi uterus. Karena itu, penggunaan obat-obat golongan agonis
adrenoreseptor beta2 tidak dianjurkan bila sudah terjadi perdarahan poatpartum.
c. Aktivasi system renin-angiotensin
Preparat agonis adrenoreseptor beta2
akan menstimulasi poros renin-angiotensi aldosteron. Keadaan ini
biasanya akan mempertahankan tekanan darah yang terjadi baik lewat
pengaturan keseinbangan cairan maupun melalui pembuluh arteriole yang
mengalami kontriksi. Bersama dengan pengembangan kardiovaskkular yang
terjadi pada kehamilan, stimulasi system renin-angiotensi dapat
menimbulkan edema paruh(Lamont,2000).
Stimulasi berlebih pada poros renin-angiotensi aldosteron dapat menimbulkan kematian karena;
§ Edema paru yang terjadi skunder akibat retensi cairan yang akut dan bisa disertai dengan gekjalah meteorismus.
§ Retensi cairan, meteorismus dan gagal jantung kongestif (Reynolds et al,1996)
§ Hipertensi
§ Hipokalemia.
Penurunan
yang paroksismal pada kadar kalium terjadi karena ekstraksi ion-ion
kalium ke dalam otot skelet yang disebbkan oleh stimulasi adrenoreseptor
beta2 (Ganong,1999). Keadaan ini mengakibatkan kelemahan,
kram, bradikardi dan disritmia jantung. Selama beberapa jam, kahilangan
kalium terjadi dalam tubuh melalui kerja aldosteron pasda tubulus renal.
Karena
gejalah sisa yang berpotensi serius seperti sindrom gawat nafas akut,
maka jika terjadi edema paru, pemberian infuse obat tokolitik harus
segera dihentikan dan kepada pasien diberikan preparat diiuretik
(Reynold et al,1996). Edema paru dapat terjadi kemudian pada ibu dan
janinnya (Olsen & O’Dria,1992).
d. Inhibisi otot polos
Inhibisi
otot polos traktus GI/usus dapat menyebabkan stasis lambung sehingga
timbul kahilangan selera makan, mual dan muntah. Pada pemberian
intravena, 10-15% pasien akan mengalami mual dan muntah. Refluks ambung
dapat menimbulkan gejalah nyeri uluhati. Sesudah pemberian obat selama
dua hingga tiga hari, pasien dapat mengalami konstipasi dan pada janin
bisa terjadi ileus paralitik (Olsen&D’Oria, 1992), inhibasi otot
polos system urogenital akan menurunkan aktivitas uterus tetapi juga
menimbulkan depresi kandung kemih serta penurunan kontraktilitas ureter
sehingga dapat terjadi retensio urine dan disuria.
e. System saraf pusat
Efek preparat agonis adrenoreseptor beta2
pada SSP sudah di ketahui denngan baik, yaitu tremor, gugup, sakit
kepala (10-15% kasus yang mendapatkan penyuntikan intravena), kecemasan,
gugup, insomnia, gelisah, ketidakstabilan, emosi, pusing, halusinasi
atau bahkan paranoia. Di samping itu, retinopati sudah pernah di temukan
pada bayi-bayi yang premature setelah ibunya menggunakan ritodrin atau
salbutomol. (Reynolds et al, 1996).
f. Efek samping metabolic Pengeringan sekresi mucus
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 menghambat sekresi mucus yang dapat menyebabkan:
§ Mulut kering sehingga perlu kumur berkali-kali dengan air
§ Pengeringan
sekresi paru yang dapat menimbulkan infeksi dada. Resiko ini dapat
dikurangi jika keadaan dehidrasi dihindari dan kemudian dilakukan nafas
yang dalam.
g. Efek samping metabolik
Pemberian preparat agonis adrenoreseptor beta2
dapat menimbulkan keadaan hiperglikemia. Jika ibu hamil yang akan
menggunakannya itu menderita penyakit diabetes, resiko timbulnya
ketoasidosis diabetes cukup besar dan akhirnya akan terjadi kematian
janin. Hiperglikemia dan efek samping lainnya lebih sering terjadi pada
pemakaian terbutalin (McKenry & salerno. 1998). Hiperglikemia dapat
menstimulasi produksi terlebih insulin fetal sehingga terjadi
hipoglikemia neonatal. Hipoglikemia pada neonates sudah pernah di
laporkan (Oisen&D’Oria, 1992).
h. Reaksi hipersensifitas meliputi:
§ Spasme bronkus
§ Ruam pada 3-4 % yang menggunakan obat ttersebut.
§ Deplesi sel-sel darah putih setelah pemberian selama beberapa minggu
§ Abnormalitas/kenaikan kadar enzim-enzim hati (De Arcos et al 1996)
§ Anafilaksis
Ø Kewaspadaan dan kontraindikasi
Keamanan dalam kehamilan pada penggunaan obat-obat golongan agonis adrenoreseptor beta2
masih belum ditetapkan dan efek pada neonates sudah pernah dilaporkan;
dalam hal ini, penggunaan obat-obat tersebut dalam trimester pertama dan
kedua kehamilan merupakan kontraindikasi (BNF,2000). Preparat Agonis
Adrenoreseptor Beta2 dianggap berbahaya terutama bagi ibu
hamil dengan kelainan jantung (yang congenital atau didapat),
hipertiroidisme atau hipertensi yang mencakup hipetensi pulmonalis
(Lamont,2000). Di samping itu, penyakit diabetes, hipokalemia atau
glaucoma sudut tertutup yang sudah ada sebelumnya dapat menjadi semakin
parah dan berbahaya. Penggunaan terapi tokolitik tidak boleh dilakukan
jika tindakan tersebut membahayakan keadaan janin, misalnya oleh
kompresi tali pusat. Meskipun keadaan pre-eklampsia yang berat merupakan
indikasi untuk tidak melakukan terapi tokolitik, namun pre-eklampsia
yang ringan dianggap sebagai kontraindikasi relative (BNF,2000).
Obat-obat tokolitik lainnya, seperti nifedipin, dpat digunakan bila
penggunaan preparat agonis adrenoreseptor beta2 merupakan kontraindikasi ( Van Dijk et al,1995).
Penyimpanan
obat harus dilakukan di tempat yang kering serta sejuk dan jauh dari
cahaya (Solvay Health Care,1995). Pompa infuse harus dijaga terhadap
kelembapannya bahkan njika pemberiannya dilakukan di dalam rumah
(McKenry & Salerno, 1998). Larutan obat yang sudah berubah warna,
berkabut atau mengendap harus dibuang (Malseed et al, 1995).
Ø Interaksi obat
© Hipokalemia
dapat bertambah berat dengan pemberian obat dan keadaan yang
meningkatkan kehilangan kalium seperti obat-obat steroid, teofilin,
diuretic, digoksin atau keadaan hipoksia. Jika edema paru terjadi,
kaedaan ini harus diatasi dengan pemberian diuretic (BNF,2000). Dalam
situasi ini, hipokalemia (yang meliputi disritmia jantung) merupakan
bahaya yang nyata harus dipantau dengan ketat.
© Rresiko
disritmia jantung, kelebihan beban cairan dan edema paru dapat
meningkatkan dengan pemberian kortikosteroid yang dilakukan secara
bersamaan (vasalainen et al, 1999).
© Resiko
desritmia jantung akan meningkat dengan penambahan obat-obat golongan
simpatomimetik yang lain (glosarium), seperti obat-obat salesma yang
dijual bebas, obat-obat golongan amfetamin, kokain, preparat
antidepresan, obat0obat yang diresepkan untuk penyakit asma seperti;
salbutamol dan tarbutalin.
Implikasi dalam praktek; Preparat Agonis Adrenoreseptor Beta2
Masalah potensial
|
Penatalaksanaan
|
Infeksi miokard, taklaritma, nyeri dada atau gagal jantung
|
© Lakukan
pemantauan frekuensi jantung setiap 15menit sekali. Lakukan
pemeriksaan EKG jika timbul kecurigaan. Waspada terhadap kemungkinan
timbulnya masalah sekalipun hasil EKGnya normal. Jangan meningkatkan
kecepatan ttetesan infuse jika frekuensi jantung lebih dari 135/140.
© Lakukan
pemantauan denyut nadi terlebih dahulu sebelum pemberian obat
dilakukan dan tunda pemberiannya. Jika frekuensi jantung lebih dari
110 atau 120. Lakukan pemantauan denyut nadi janin, detak jantung
janin harus tetap dibawah 170-180x permenit.
|
Hipertensi maternal yang menimbulkan serangan stroke
|
© Lakukan pemantauan TD setiap 15 menit sekali.
|
Hipotensi maternal yang menganggu perfusi uterus
|
© Tempatkan pasien dalam posisi berbaring pada sisi tubuh sebelah kiri (posisi lateral kiri).
|
Hiperglikemia yang menimbulkan hipoglikemia neonatal atau kadang-kadang ketoasidosis maternal atau neonatal.
|
© Lakukan pengukuran kadar glukosa darah setiap empat jam sekali dengan alat tes seperti BM stix.
|
Edema paru yang menimbulkan hipoksia dan sindrom gawat nafas akut
|
© Lakukan
pencatatan keseimbangan cairan dengan ketat. Batasi asupan cairan
hanya sampai 2.5 liter/24jam. Lakukan observasi untuk menemukan tanda
sesak nafas dan ketidakmampuan pasien untuk menyelesaikan pengucapan
kalimatnya. Lakukan auskultasi untuk mendengarkan suara paru-paru di
daerah dasar pulmonalis dengan menggunakan stetoskop yang baik.
© Lakukan pengukuran berat badan sebelum dan sesudah terapi
© Sediakan sarana untuk pemantauan obat-obat diuretic dan kalium.
|
Hipokalemia yang menimbulkan disritmia jantung atau henti jantung, dan kelemahan otot sehingga menganggu respirasi
|
© Mengambil
sumpel darah vena untuk pemeriksaan kadar ureum dan elektrolit paling
tidak setiap 24 jam sekali. Lakukan pemeriksaan EKG paling tidak
setiap 24jam sekali.
|
Stasis traktus GI
|
© Lakukan pemeriksaan gerakan usus. Persiapkan pasien bila ia mengalami muntah dan mual. Pertahankan asupan cairan yang adekuat.
|
Persalinan premature kendati sudah dilaksanakan terapi tokolisis
|
© Lakukan pemantauan uterus. Fasilitas untuk melahirkan bayi premature harus sudah disediahkan.
|
Peningkatan perdarahan uterus sehingga diperlukan SC
|
© Preparat penyekat beta harus sudah tersedia untuk menghadapi keadaan emerjensi
|
C. Beberapa contoh kasus seputar pemberian tokolitik
Kasus
ini melukiskan perlunya pemantauan yang hati-hati dan protocol kerja
yang ketat sebagaimana digambarkan pada implikasi dalam praktik.
Seorang ibu muda dengan usia kehamilan 33 minggu dan dalam proses
persalinan yang premature mendapatkan infuse retodrin selama tiga hari
sebelum pemberian lewat infuse tersebut dig anti dengan pemberian
retodrin oral. Pada saat pengobatan ini, ia mengalami takikardia yang
persisten dan terjadi gawat janin. Sesudah dilakukan SC timbul edema
paru. Keadaan ini menyebabkan kerusakan paru, fibrosis dan sindroma
gawat nafas akut (acuta respiratory distress syndrome) yang kemudian
berakhir dengan kematian.
Ritodrin
mungkin merupakan penyebab edema paru pada kasus ini. Waktu-paruh yang
lama pada ritodrin menyebabkan akumulasi obat ini. Ketika penggunaannya
dihentikan, obat tersebut tidak dapat segera di eliminasi. Karena itu,
kewaspadaan kita harus selalu dipertahankan kendati pemberian obat sudah
di hentikan. (DoH, 1996).
No comments:
Post a Comment