Saturday, October 1, 2011
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN EPILEPSI
BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Dengan berubahnya kurikulum yang ada di Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Mataram. Dengan kurikulum baru ini mahasiswa dituntut untuk lebih aktif dalam setiap perkuliahan, khususnya pada mata kuliah “KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR II”. Oleh karena itu, program SCL (Student Center Learning) merupakan program yang sangat membangun mahasiswa untuk lebih aktif dalam proses perkuliahan.
Salah satu penyakit gangguan system persarafan sehubungan dengan konduksi antara lain adalah “Epilepsi”. Epilepsi sudah dikenal sejak zaman dahulu. Yang selama berabad-abad telah dikelilingi oleh mitos-mitos, ketakutan dan kebingungan sampai tahun 400 SM Hipocrates dalam bukunya “On the Secred Disease” manyatakan bahwa epilepsy disebabkan oleh adanya perubahan di dalam bukan oleh hal-hal yang supernatural.
Di Indonesia epilepsi lebih dikenal dengan nama-nama seperti : sawan, ayan atau gila babi dan hingga saat ini masih banyak yang menghubungkannya dengan hal gaib dan berusaha menyembuhkannya dengan cara-cara mistik.
Karena pengertian yang salah mengenai epilepsi di masyarakat menyebabkan penatalaksanaan epilepsibelum mencapai optimal.penderita sering tidak dibawa berobat tapi malahan disembinyikan karena dianggap sakit jiwa, membawa sial dan merupakan aib bagi keluarga.
Epilepsy merupakan suatu masalah neurologis yang relative sering terjadi dan epilepsy dapat menyerang semua kelompok usia, juga segala jenis bangsa dan keturunan di seluruh dunia. Lebih kurang70% dapat terjadi sebelum usia 20 tahun dan lebih sering terjadi pada masa kanak-kanak.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian epilepsi, etiologi dan klasifikasi, patofisiologi, penatalaksanaan, pemeriksaan diagnostik, dan proses keperawatan pada klien epilepsi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami memperoleh rumusan masalah :
1. Apa pengertian epilepsi ?
2. Apa penyebab dan patofisiologi dari epilepsi?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada epilepsi ?
4. Bagaimana proses keperawatan epilepsi?
1.3 Tujuan
Umum :
Untuk menambah pengetahuan lebih jauh tentang epilepsi.
Khusus :
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami
dan menjelaskan :
1. Pengertian epilepsi
2. Etiologi dan patofisiologi epilepsi.
3. penatalaksanaan epilepsi.
4. Proses keperawatan pada epilepsi
1.4 Manfaat
Manfaat dari tersusunnya makalah ini adalah sebagai pengetahuan dasar bagi kami maupun pembaca untuk dapat mengetahui lebih banyak mengenai Epilepsi sehingga dapat menambah pengetahuan dan membantu dalam proses keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kejang (konvulsi) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, dan/atau gangguan fenomena sensori.
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
Fase dari aktivitas kejang adalah :
1. Fase prodromal meliputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungin mengawali kejang beberapa jam/beberapa hari.
2. Fase aura adalah awal dari munculnya aktivitas kejang dan mungkin berupa gangguan penglihatan, pendengaran,atau rasa raba.
3. Fase iktal merupakan fase dari aktivitas kejang, yang biasanya terjadi gangguan muskuluskletal.
4. Fase posiktal adalah periode waktu dari kekacauan mental/samnolen/peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.
Ada dua golongan utama epilepsy yaitu :
1. Epilepsi parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik.
Pada epilepsi sederhana, anya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut dapat tersentak tak terkontrol, invidu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, mengalami sinar, bunyi ban, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berfikir, invidu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau pekat rangsangan. Focus epileptic pada jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan umum ( motorik utama )
2. Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedu sisi tubuh bereksi. Mungkin ada kekakuan pada seluruh tubuh yng diikuti dngan kejang yang bergantian dengan kejang dengan relaksasi dan kontraksi otot ( kontraksi tonik-klonik umum ).
Epilepsy tonik-klonik merupakan serangan epilepsi yang klasik, serangan epilepsy ini ditandai oleh adanya aura diikuti oleh hilangnya kesadaran dan kejang tonk-klonik. Aura merupakan suatu indikasi sensorik yang menyatakan akan datangnya serangan epilepsi. Aura ini dapat berupa suatu sensasi penglihatan, pendengaran, penciuman yang hanya berlangsung selama beberapa saat.
2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari epilepsi masih belum diketahui (idiopayik) dan masih menjadi banyak spekulasi.predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsy meliputi :
• Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala.
• Riwayat ibu dari ibu yang menggunkan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan.
• Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi).
• Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan {mumps},epilepsy bakteri).
• Adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan).
• Riwayat gangguan sirkulasi serebral.
• Riwayat demam tinggi.
• Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi.
• Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol.
• Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan.
• Riwayat keturunan epilepsi.
2.3 Patofisiologi
Gejala-gejala serangan epilepsy sebagian timbul sesudah otak mangalami gangguan, sedangakan beratnya serangan tergantung dari lokasi dan keadaan patologi.
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia).
Aktivitas serangan epilepsy dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajad dan lokasi dari lesi. Lesi pada otak tengah, talamus dan korteks serebri kemungkinan bersifat epileptogenik. sedangkan lesi pada sereblum dan batang otak biasanya tidak mengakibatkan serangan epilepsy (Brunner, 2003).
Bangkitan epilepsi yang terjadi karena adanya lepas muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neuron di susunan saraf pusat yangdapat tetap terlokalisir pada kelompok neuron tersebut atau meluas keseluruh hemisfer dan batang otak. Lepas muatan listrik yang abnormal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara proses eksistasi dan inhibisi pada interaksi neuron. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada sel neuronnya sendiri maupun transmisi sinaptik.
Pada tingkatan membrane sel, neuron epileptic ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah :
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersesnsitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang dan terangsang secara berturut-turut.
3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan,hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi) karena terjadi perbedaan potensial listrik lapisan intrasel dan ekstrasel rata-rata 70 mvolt, dimana intraseluler relative lebih rendah.
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu terjadi serangan keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami berubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan membrane neuron mengalami depolarisasi.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kea rah epilepsy. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini membarikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlabihan, hilangnya tonus otot, serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala.
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptic adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini.
Pola awal kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal. Juga penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda sebalum kejang epileptic yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat kilatan sinar dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipital).
Pathway :
2.4 Manifestasi Klinis
• Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
• Kelainan gambaran EEG
• Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
• Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epilepsy dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien dan tidak hanya untuk mengatasi tetapi juga mencegah kejang.
Penatalaksanaan berbeda dari satu klien dengan klien lainnya karena beberapa bentuk epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan bergantung pada perubahan kimia otak.
• Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang
• Farmakoterapi
Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
• Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
• Jenis obat yang sering digunakan :
1. Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
2. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
3. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
4. Carbamazine (tegretol)
Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyai efek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguanfungsi hati.
5. Diazepam
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).
Pemberian I.M. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan I.V. atau intra rektal.
6. Nitrazepam (Inogadon)
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
7. Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
8. Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
9. Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
10. ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
2.6 Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan epilepsi atau status epileptikus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak family center, tumbuh kembang, dan dampak hospitalisasi).
a. Anamnesis
1) Bio data : nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, agama, serta data keluarga.
2) Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang dan penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat penyakit saat ini
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien. Di sini harus ditnya dengan jelas tentang gejala yang timbul sepeti kapan mulai serangan, stimulus yang sering menyebabkan respons kejang, dan seberapa jauh akibat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien.
Tanyakan factor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsy. Apakah sebalumnya pernah mengalami trauma kepala dan infeksi serta ke mana saja klien sudah meminta pertolongan setelah mengalami keluhan. Penting ditanyakan tentang pemakaian obat-obat sebelumnya seperti pamakaian obat-obatan antikonvulsan, obat antipiretik,dan sebagainya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Penting ditanyakan riwayat antenatal, intranatal, pascanatal dari kelahiran klien, karena hal ini sangat mendukung predisposisi dari adanya keluhan kejang saat ini.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penurunan kesadaran.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai adanya gangguan pada system pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a) Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan resposn terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
b) Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsy tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
c) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh mangalami fotofobia (sensitive yang berlebihan terhadap cahaya).
Saraf V. Pada klien epilepsy umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif, dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menalan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan travezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.
d) System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada epilepsy tahap lanjut mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periostenum derajad reflex pada respons normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia.pada keadaan tertentuklien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan epilepsy disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan epilepsi. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
g) System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan proprioseptif normal, dan perasaan diskrikinatif normal. Peka rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsy. Pascakejang sering dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubingkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic bertujuan dalam menentukan tipe kejang, frekuensi dan beratnya, serta factor-faktor pencetus. Riwayat perkembangan yang mencakup kejadian kehamilan dan kelahiran, untuk mencari kejadian cedera sebelum kejang. Sebuah penelitian dibuat untuk penyakit atau cedera kepala yang dapat memengaruhi otak. Selain itu dilakukan pangkajian fisik dan neurologi, hematologi, serta pemeriksaan serologi.
- Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang.
- Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
- Ureum/kreatin : Meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksin yang berhubungan dengan pengobatan.
- Sel Darah Merah (SDM) : Anema aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat.
- Kadar obat pada serum : Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik.
- Pungsi lumbal (PL) : Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut.
- Foto ronsen kapala : Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
- Elektoensefalogram (EEG) : Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak. Gelonbang otak untuk menentukan karakteristik dari gelombang pada mesing-masing tipe dari aktivitas kejang tersebut.
- Skan CT : Mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral, trauma, abses, tumor, dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras.
2. Diagnosa dan Intervensi keperawatan :
a. Nyeri akut berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pascakejang (postikal).
Tujuan : dalam waktu 1x 24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit teradaptasi(terkontrol).
Kriteria hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dan klien menyatakan rasa sakit berkurang.
Intervensi keperawatan :
- Lakukan manajemen nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi napas dalam.
R: Membantu menurunkan (memutuskan) stimulus sensasi rasa nyeri.
- Berikan lingkungan yang aman dan tenang.
R: Menurunkna reaksi terhadap rangsangan eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya dan menganjurkan klien untuk beristirahat.
- Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati.
R: Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak nyaman.
- Kolaborasi dalam pemberian analgesic.
R: Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit.
b. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 1x 24jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : klien dan kluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur unutk menurunkan intensitas kejang.
Intervensi keperawatan :
- Kaji tingkat pengeyahuan pasien dan keluarga cara penanganan saat kejang.
R: Data dasar untuk intervensi selanjutnya.
- Ajarkan klien dan keluarga metode pengontrol demam.
R: Orang tua dan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres hangat, obat anti piretik).
- Anjurkan kontroling pascacedera kepala.
R: Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang member keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengambangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala.
- Anjurkan keluarga klien agar mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.
R: Melindungi klien bila kejang terjadi.
- Anjurkan untuk menghindari rangsang cahaya yang berlabihan.
R: kien sering mengalmi peka rangsang terhadap cahaya yang sangat silau. Beberapa klien perlu menghindari stimulasi fotik (cahaya menyilaukan yang kelap-kelip, menonton televisi). Dengan menggunakan kacamata hitam atau menutup salah satu mata dapat membantu mengontorl masalah ini.
- Anjurkan mempertahankan bedrest total selama fase akut.
R: mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi.
- Kolaborasi pemberian terapi fenition (dilantin).
R: terapi medikasi unutk mengontrol menurunkan respons kejang berulang
c. Ketakutan berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan : dalam waktu 2 x 24jam setelah intervensi ketakutan klien hilang atau berkurang.
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, dan menyatakan ketakutan berkurang/hilang.
Intervensi keperawatan :
- Bantu klien mengekspresikan perasaan takut.
R: ketakutan berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik.
- Lakukan kerja sama dengan keluarga.
R: kerja sama klien dan keuarga sepenuhnya penting. Mereka harus yakin terhadap manfaat program yang ditetapkan.
- Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
- Ajarkan kontrol kejang.
R: Kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerja sama klien. Gaya hidup dan lingkungan dikaji untuk mengidentifikasi factor-faktor yang dapat mencetus kejang; gangguan emosi, stressor lingkungan baru.
- Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak bau.
- Kurangi stimulus ketagangan.
R: keadaan tegang (ansietas, frustasi) mengakibatkan kejang pada beberapa klien. Pengkalsifikasian penatalaksanaan stress akan bermanfaat.
- Tingkatkan kontrol sensasi klien.
R: Kontrol sensasi klien (dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif.
- Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
R: orientasi dapat menurunkan kecemasan.
- Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
R: dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
- Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.
R: memberikan waktu unutk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya kelurga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (mambaca) akan menurunkan perasaan terisolir.
d. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat apilepsi.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24jam setelah intervensi harga diri klien meningkat.
Kriteria hasil : klien mampu menyatakan tau mengkomunikasikan denga orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi keperawatan :
- Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajad ketidakmampuan.
R: Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
- Identifikasi dari kehilangan atau disfungsi pada klien.
R: Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara aktif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan, mengenal, dan mengatur kekurangan.
- Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan termasuk hostility dan kemarahan.
R: Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenal dan memulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
- Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan.
R: Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
- Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
R: Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang.
- Monitor gangguan tidur meningkatan kesulitan konsentrasi, letargi.
R: Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke di mana memerlukan intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
- Kolaborasi : rujuk pada ahli neuropsikologi dan konselinng bila ada indikasi.
R: Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif/ kurang mengingat.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah dilakukan intervensi klien dan keluarga mengerti dan memahami kondisi dan kebutuhan pengobatan.
Kriteria hasil: klien dan keluarga dapat mengetahui kondisi dan kebutuhan pengobatan.
Intervensi keperawatan :
- Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarga.
R: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual.
- Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses penyakit dan pengaruh sesudahnya.
R: membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
- Berikan kembali penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang. Identifikasi program yang kontinu setelah proses penyembuhan.
R: aktivitas, pembatasan, pengobatan/kebutuhan terapi yang direkomendasikan diberikan/disusun atas dasar pendekatan antardisiplin dan evaluasi sangat penting untuk perkembangan pemulihan/pencegahan terhadap penyakit.
- Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
- Berikan instruksi daam bentu tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan, dan factor-faktor penting lainnya.
R: memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
Penyebab pasti dari epilepsi masih belum diketahui (idiopayik) dan masih menjadi banyak spekulasi.predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsy meliputi :
• Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala.
• Riwayat ibu dari ibu yang menggunkan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan.
• Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi).
• Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan {mumps},epilepsy bakteri).
• Adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan).
• Riwayat gangguan sirkulasi serebral.
• Riwayat demam tinggi.
• Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi.
• Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol.
• Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan.
• Riwayat keturunan epilepsi.
Manifestasi klinik dari epilepsy dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan, kelainan gambaran EEG tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen, dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
2.2 Saran
Bagi ibu yang anaknya penderita kejang-kejang, segera bawa anak ibu ke RS untuk segera diperiksa oleh tim medis, sehingga anak ibu dapat diberikan terapi oleh tim medis dalam mengatasi kejang-kejangnya. Bagi penderita epilepsy jangan takut, karena epilepsy merupakan sebuah penyakit melainkan sebuah manifestasi.
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. Buku saku keperawatan medikal bedah. 2000. EGC. Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan.Jakarta: Salemba Medika
www.google.com/asuhan keperawatan epilepsi. Hidayat2’s Blog.2009
www.goole.com/asuhan keperawatan epilepsi. Nersunhas’s Blog.2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment