A. PENDAHULUAN
Bedah jantung dilakukan untuk menangani berbagai
masalah jantung. Prosedur yang sering mencakup angioplasti koroner
perkutan, revaskularisasi arteri koroner dan perbaikan penggantian katup
jantung yang rusak
Di masa kini, pasien dengan penyakit jantung dan
komplikasi yang menyertainya dapat dibantu untuk mencapai kualitas hidup
yang lebih besar dan yang diperkirakan sepuluh tahun sham. Dengan
prosedur diagnostik yang canggih yang memungkinkan diagnostik dimulai
lebih awal dan lebih akurat, menyebabkan penanganan dapat dilakukan jauh
sebelum terjadi kelemahan yang berarti. Penanganan dengan teknologi dan
farmakoterapi yang baru terus dikembangkan dengan cepat dan dengan
keamanan yang semakin meningkat.
Mungkin tak ada intervensi terapi
yang begitu berarti seperti pembedahan jantung yang dapat memperbaiki
kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung.
Pembedahan jantung
pertama yang berhasil, penutupan luka tusuk ventrikel kanan, telah
dilakukan di tahun 1895 oleh ahli bedah halls de Vechi. Di Amerika
Serikat pembedahan serupa yang sukses, jugs penutupan luka tusuk,
dilakukan di tahun 1902. Diikuti oleh pembedahan katup di tahun 1923 dan
1925, penutupan duktus paten di tahun 1937 dan 1938, dan reseksi
koarktasi aorta pada tahun 1944. Era baru tandur pintasan arteri koroner
bermula di tahun 1954.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam
perkembangan pembedahan jantung adalah teknik pintasan jantung-paru.
Pertama kali digunakan dengan berhasil pada manusia di tahun 1951. Di
masa kini lebih dari 250.000 prosedur yang dilakukan dengan menggunakan
pintasan jantung paru. Terbanyak (lebih dari 200.000) dilakukan di
Amerika Utara. Kebanyakan prosedur adalah graft pintasan arteri koroner
(CABG = coronary artery bypass graft) dan perbaikan atau penggantian
katup.
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, teknik bedah
dan anestesia, dan pintasan jantung paru, dan juga perawatan yang
diberikan di unit perawatan kritis serta program rehabilitasi telah
banyak membantu pembedahan menjadi pilihan penanganan yang aman untuk
pasien dengan penyakit jantung.
B. PINTASAN JANTUNG PARU
Banyak
prosedur bedah jantung bisa dijalankan karena adanya pintasan
jantung-paru (sirkulasi ekstrakorponeal). Prosedur ini merupakan alat
mekanis untuk sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh pada
saat “memintas” jantung dan paru. Mesin jantung-panu memungkinkan
dicapainya medan openasi yang bebas darah Sementara perfusi tetap dapat
dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh.
Pintasan
jantung-paru dilakukan dengan memasang kanula di atrium kanan, vena
kava, atau vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh. Kanula
kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik
(biasanya dekstrosa 5% dalam larutan Ringer laktat). Darah vena yang
terambil dari tubuh dan kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan
atau dihangatkan. dan kemudian dikembalikan ke tubuh. Kanula yang diper
gunakan uniuk mengembalikan darah teroksigenasi biasanya dimasukkan ke
aorta asendens, tapi bisa jugs dimasukkan ke arteri femoralis.
Meskipun
pintasan jantung-paru merupakan teknik yang biasa pada pembedahan
jantung, namun sebenarna sangat kompleks. Pasien memerlukan antikoagulan
dengan hatiin untuk rnencegah pembentukan trombus dan kemungkinan
embolisasi yang dapat terjadi ketika danah berhubungan dengan permukaan
asing sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh dengan pompa
mekanis (bukan pembuluh darah dan jantung normal) Setelah dibebaskan
dari mesin pintasan, pasien diberikan protamin sullal untiuk menangkal
efek heparin.
Selama dilakukannya prosedur ini, tubuh dijaga agar
selalu dalam keadaan hipotermia, biasanya 28°C sampai 32°C(82,4°F sampai
89,6°F). Darah didinginkan selama pintasan jantung paru dan
dikembalikan ke tubuh. Darah yang didinginkan tersebut akan menurunkan
kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan oksigen juga
berkurang. Darah yang dingin biasanya mempunyai kekentalan yang tinggi,
namun larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan
mengencerkan darah tadi Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah
dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru.
Haluaran
urin, tekanan darah, gas darah arteri, elektrolit, uji pembekuan darah,
dan elektrokardiograrn (EKG) semuanya dipakai untuk memantau status
pasien selama pintasan jantung-paru.
Masih banyak hal yang harus
dipelajari mengenai pintasan jantung paru. Ada berbagai sirkuit pintasan
dan mekanisme pensompaan yang digunakan pada masa kini. Sampai saat ini
masih terus diusahakan agan pasien bisa lebih lama berada dalam mesin
pintasan jantung-paru dengan lebih aman. Penelitian terus dilakukan
untuk memperbaiki mesin pintasan jantung paru untuk mencegah atau
meminimalkan masalah-masalah berikut: hemolisis, peningkatan
permeabilitas memhran kapiler dan kehilangan elektrolit, hipoksia dan
anoksia jaringan, pembentukan trombus atau emboli. diseksi jantung dan
pembuluh danah, meningkatnya ketekolamin dan hormon antidiuretik (ADH),
dan respons inflamasi sistemik yang merupakan komplikasi prosedur itu.
C. JANTUNG BUATAN
Pemasangan
jantung buatan telah menarik perhatian dunia sejak akhir tahun 1950-an.
Semenjak itu banyak terjadi kemajuan sehingga jantung buatan secara
klinis dapat dipakai manusia. Cooley menggunakan jantung buatan di Texas
pada tahun 1969 untuk menunjang sirkulasi sebelum transpiantasi.
Implantasi permanen jantung buatan total dilakukan pertama kali pada
tahun 1982 untuk drg. Barney Clark di University of Utah.. Perkembangan
jantung buatan terus berlanjut untuk memperbaiki daya tahan hidup dan
mengurangi morbiditas. Institut Jantung, Paru, dan Darah Nasional
(National Heart, Lung, and Blood Institute, NHLBI) dan Institut
Kesehatan Nasional (National Institutes of Health, NIH) telah
menyediakan pendanaan untuk jantungbuatan elektromekanik permanen tanpa
kabel. Institut jantung Texas dan 3-M dan Penn Statet Abiomed turut
berpartisipasi dalam eksperimen fase II. Tujuan keseluruhan pemasangan
mi adalah untuk memberi kualitas hidup yang tinggi bagi pasien yaitu
bebas dan pemasangan jalur perkutaneus. Alat mi dijalankan menggunakan
sistem transmisi energi listrik transkutaneus (transcutaneous electrical
energy transmission systems, TEETS) dengan baterai portabel.
D. TRANSPLANTASI JANTUNG
Transplantasi
dari manusia ke manusia, pertama kali dilakukan di tahun 1967. sejak
itu prosedur, peralatan dan pengobatan transplantasi terus dikembangkan.
Di tahun 1983, sikosporin sudah tersedia untuk penggunaan umum.
Siklosporin adalah imunosupresan yang menekan dengan kuat kemampuan
tubuh menolak protein asing seperti, organ yang ditransplansikan.
Sayangnya siklosporin juga menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan
infeksi, sehingga harus diperoleh keseimbangan yang sangat baik antara
penekanan penolakan dan pencegahan infeksi. Sejak tersedianya
siklosporin di tahun 1983, transplantasi jantung telah menjadi terapi
pilihan bagi pasien dengan penyakit jantung tahap akhir.
Indikasi
transplantasi yang paling sering adalah kardiomiopati, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung kongenital, penyakit katup dan penolakan
transplantasi jantung sebelumnya. Pasien biasanya memiliki gejala sangat
berat yang tidak dapat dikontrol dengan pengobatan, tidak ada pilihan
pembedahan lain dan prognosis hidupnya kurang dari 12 bulan. Pasien
diseleksi oleh suatu tim multidisipliner sebelum dinyatakan sebagai
kandidat transplantasi jantung. Umur pasien, status paru, kondisi
kesehatan kronis lain, infeksi, riwayat transplantasi, penyesuaian dan
status kesehatan terakhir digunakan untuk mengevaluasi pasien untuk
transplantasi.
Transplantasi jantung dianggap sebagai uaha terakhir
untuk mengatasi untuk mengatasi penyakit jantung tahap akhir yang
refrakter terhadap pengobatankonvensional dan pembedahan. Gagal jantung
kelas III dan IV memiliki harapan hidup kurang dan satu tahun. Dua
penyebab tersering memburuknya miokardium adalah kardiomiopati kongestif
dan penyakit koroner lanjut. Penyakit-penyakit ini merupakan 80%-90%
alasan dilakukarmya transplàntasi jantung.
Kardiomiopati adalah
penyakit otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya. Kunci yang
membedakan kardiomiopati dan kelainan jantung lain adalah adanya
penyakit mendasari yang hanya menyerang miokardium ventrikel namun tidak
menyerang struktur miokardium lain seperti katup atau arteria
koronaria. Kardiomiopati dikelompokkan menurut tiga jenis kelainan
struktur dan fungsi: (1) kongestif (dilatasi), (2) restriktif atau
obliteratif, atau (3) hipertrofi.
Kardiomiopati kongestif ditandai
dengan dilatasi nyata dan ventrikel yang hipodinamik. Dapat teijadi
hipertrofi miokardium yang lebih ringan. Ventrikel yang hipodinamik
berkontraksi secara buruk, menyebabkan gagal ke depan dan ke belakang
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu dicatat bahwa keempat
ruang jantung mengalami dilatasi sekunder akibat bertambahnya volume dan
tekanan. Seringkali terbentuk trombus dalam ruang-ruang ini akibat
darah yang mengumpul dan stasis; sehingga terancam terjadi emboli.
Biasanya awitan penyakit tidak jelas; tetapi dapat berkembang menjadi
gagal jantung tahap akhir yang refrakter. Prognosis gagal jantung
refrakter sangat buruk dan dapat menyebabkan dipertimbangkarmya
transplantasi jantung. Penyebab pasti kardiomiopati kongestif masih
belum diketahui; namun diperkirakan disebabkan faktorautoimun dan virus.
Penyebab multifaktorial mungkin merupakan penjelasan yang lebih
memuaskan.
Kardiomiopati hipertrofik, berlawanan dengari
kardiomiopati kongestif, ditandai oleh jantung yang hipertrofi dan
hiperdinamik. Bertambahnya massa otot tidak disertai dilatasi miokardium
bermakna. Diduga terdapat dasar genetika. Kardiomiopati restriktif
mencerminkan gangguan pengisian ventrikel akibat berkurangnya daya
regang ventrikel. Fibrosis endokardium atau miokardium dapat
mengakibatkan restriksi pengisian. Restriksi mengurangi ukuran rongga;
berkembangnya kardiomiopati ke bentuk restriksi rongga yang lebih berat
dikenal sebagai kardiomiopati obliteratif Meskipun kardiomiopati
hipertrofik dan restriktif dapat mengakibatkan gagal jantung,
kardiomiopati kongestif merupakan penyebab tersering dilakukannya
transpiantasi jantung.
Kriteria Seleksi
Resipien transplantasi
jantung yang memenuhi kriteria seleksi menjalani pemeriksaan klinis dan
psikologis yang terperinci. Dengan semakin luasnya penerapan prosedur
ini, keputusan untuk menentukan siapa yang berhak menjalani
ttansplantasi jantung menjadi semakin kontroversial. Tersedianya donor
tetap merupakan faktor pembatas. Akibatnya, begitu diputuskan untuk
melakukan transpiantasi, maka timbul masalah dalam menentukan prioritas
antara satu dengan yang lain. Penentuan yang lebih sulit lagi adalah
untuk menentukan prioritas di antara pasien pengguna VADs dan jantung
buatan sebagai jembatan untuk dilakukannya transplantasi.
Umumnya,
faktor-faktor yang dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi atau
memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang harus disingkirkan.
Faktor-faktor ini mencakup penyakit atau infeksi sistemik aktif,
hipertensi pulmonalis dengan resistensi vaskular paru yang menetap
(lebih dan 4 satuan Wood), emboli atau infark paru, ulkus peptikum yang
aktif, diabetes melitus bergantung insulin dengan penyakit sekunder pada
organ lain, gagal ginjal atau hati yang ireversibel, peminum alkohol
atau pecandu obat-obatan. Hal-hal yang tidak nyata, seperti motivasi
untuk melakukan rehabilitasi, dukungan keluarga, dan keadaan psikologis,
juga harus dipertimbangkan. Dengan makin luasnya penggantian oleh
asuransi, masalah keuangan pribadi menjadi semakin kurang berarti untuk
proses seleksi. Apabila diidentifikasi tidak terdapat kontraindikasi,
maka dapat dimulai proses pencarian donor.
Donor potensial biasanya
adalah korban kecelakaan usia muda yang tidak mengalami kerusakan
jantung atau penyakit jantung yang jelas dan tidak ada infeksi sistemik.
Pencocokan jaringan donor terhadap resipien meliputi pencocokan sistem
ABO. Pencocokan berat tubuh yang sesuai juga penting untuk dilakukan;
20% perbedaan berat tubuh dianggap masth dapat diterima. Prosedur
Teknik
pembedahan untuk transpiantasi jantung relatif mudah dimengerti,
seperti yang digambarkan pada Gbr. 33—17. Bagian dan kedua atrium
dibiarkan pada tempatnya untuk beranastomosis pada jantung donor. Bagian
atrium kanan dekat vena kava superior dibiarkan utuh untuk
mempertahankan fungsi nodus sinus. Jantung donor kemudian dijahit pada
kedua atrium resipien dan pada aorta dan arteria pulmonalis. Prosedur mi
(yaitu saat transplan menggantikan jantung resipien) dikenal sebagai
transpiantasi ortotopik, berbeda dengan transpiantasi heterotopik atau
“piggyback”, yang dilakukan oleh beberapa pusat kesehatan jika
resistensi vaskular paru-paru sangat tinggi dan bila beban akhir yang
tinggi pada arteria pulmonalis mungkin menyebabkan gagal ventrikel kanan
refrakter pada jantung transplan. Alasannya adalah bahwa ventrikel
kanan yang asli telah beradaptasi dengan beban akhir yang tinggi
sehingga harus dibiarkan pada tempatnya. Sebagai alternatif, beberapa
pusat kesehatan melakukan transplantasi kardiopulmonar pada hipertensi
pulmonalis primer atau penyakit vaskular paru-paru akibat penyakit
jantung kongenital.
Penolakan dan Infeksi
Tantangan terbesar
dalam transplantasi adalah penanganan reaksi penolakan. Usaha tubuh
untuk menolak jaringan asing merupakan proses biologis yang mendasar.
Penemuan sikiosporin dan antibodi monoklonal telah banyak memperbaiki
kelangsungan hidup setelah transpiantasi. Terapi imunosupresif dengan
sikiosporin dapat dimulai sebelum operasi. Terapi imunosupresif tiga
obat dengan azatioprin, siklosporin, dan steroid diberikan terus menerus
setelah operasi. Pemantauan imunologis akan tandatanda penolakan
dilakukan dengan ketat. Biopsi endomiokardium tramsvenosa adalah penentu
pasti (standar emas) untuk deteksi dan diagnosis penolakan. Biopsi
dilakukan dalam selang waktu tertentu dan sesuai indikasi. (Metode
non-invasif untuk mendeteksi reaksi penolakan, seperti MRI dan
ekokardiografi, masih diteliti) Teknik biopsi endomiokardium meliputi
pemasangan kateter biopsi (atau bioptome) melalui vena jugularis dekstra
atau vena subklavia ke dalam ventrikel kanan untuk mengambil beberapa
bagian endokardium untuk analisis. Selanjutnya terapi imunosupresif
dapat disesuaikan berdasarkan hasil biopsi. Antitimosit globulin (ATG),
antilimfosit globulin (ALG), atau antibodi-antibodi monoklonal OKT3
dapat ditambahkan untuk menangani reaksi penolakan. Selain reaksi
penolakan, juga merupakan masalah serius akibat terapi imunosupresif.
Infeksi merupakan penyebab utama kematian dalam tahun pertama setelah
transplantasi. Untuk itu dilakukan pencegahan dan tindakan terapeutik
yang tepat.
Perjalanan Pascaoperasi. Pasien transplantasi jantung
harus tetap dijaga dalam keseimbangan antara risiko penolakan dan risiko
infeksi. Mereka harus mcmaluhi aturan kompleks tentang diit,
obat-obatan, aktivitas, pemeriksaan laboratorium. biopsi (untuk
mendiagnosa penolakan) dan kunjungan ke klinik. Pasien sering diberi
siklosporin dan kortikosteroid untuk meminirnalkan penolakan. Selain
penolakan dan infeksi, komplikasi dapat mencakup percepatan terjadinya
arteriosklerosis arteri koroner; hipertensi dan hipotensi; gangguan
sistern saraf pusat, pernapasan, dan gastrointestinal (UI); gagal
ginjal; dan respons terhadap stres psikososial akibat tran.splantasi
organ.
Pasien transplantasi jantung dengan angka bertahan hidup 1
tahun sekitar 80% sampai 90% dan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar
60% sarnpai 70%.
E. EKSISI TUMOR
Tumor jantung cukup
jarang. Tumor primer terjadi kurang dan 1% pada populasi; tumor
metastatik dilaporkan terjadi 1,5% sampai 35% pada pasien onkologi.
Tumor bisa menjadi tempat pembentukan trombus sehingga menciptakan
risiko emboli. Disritmia dapat terjadi bila mengenai miokardium atau
sistem hantaran. Kebanyakan tumor jantung adalah jinak.
Eksisi bedah
dilakukan hanya untuk mencegah obstruksi ruang jantung atau katup.
Pintasan jantung-paru digunakan. kecuali pada tumor epikardial, yang
dapat dieksisi tanpa memasuki jantung dan tanpa menghentikan denyutan
jantung. Akibat lokasinya, eksisi tumor mungkin perlu diikuti
penggantian katup. penambalan jantung, atau implantasi pacu jantung.
Asuhan keperawatan sama dengan yang diberikan pada pembedahan jantung
lain.
F. PERBAIKAN PADA TRAUMA
Pasien yang memerlukan
pembedahan akibat trauma antung bisa akibat pukulan tumpul, luka tembak,
atau luka tusuk. Perbaikannya tentu saja pada katup dan septum bila
penyebabnya trauma tumpul, dan pada dinding atrium atau ventrikel bila
penyebabnya luka tembus. Dilakukan debridemen luka dan ditutup secara
bedah bila mungkin, namun perbaikan katup dan penggantlan atau tambalan
tandur pada septum dan dinding atrium aau ventrikel mungkin diperlukan.
Pembedahan di sini biasanya merupakan prosedur darurat, sehingga risiko
komplikasi akibat cedera ataupun pembedahan sangat tinggi.
G. ALAT BANTU MEKANIS DAN JANTUNG BUATAN TOTAL
Penggunaan
pintasan jantung-paru pada pembedahan jantung dan kemungkinan dilakukan
transplantasi jamung pada penyakit jantung stadium akhir telah
rneningkatkan kebutuhan akan alat bantu jantung. Pasien yang tak mampu
dilepas dan pintasan jantung paru atau pasien yang sedang berada dalarn
syok kardiogenik dapat memperoleh keuntungan dari periode bantuan
jantung mekanis. Alat yang paling sering digunakan adalah pompa balon
ultra aorta (IABP - intra-aortic baloon pump). IABP nsengurangi kerja
jantung selama kontraksi, namun tidak menyerupai kinerja jantung yang
sebenarnya.
Alat dengan kinerja yang menyerupai sebagian atau scmua
fungsi pemompaan untuk jantung juga sedang dikembangkan. Alat bantu
ventrikel yang lebih canggih ini dapat mensirkulasi darah tiap menit
seperti yang dilakukan jantung. Tiap alat bantu ventrikel digunakan
untuk masing-mnasilig ventrikel. Saat ini yang paling sering digunakan
adalah pompa sentrifugal. Banyak alat dorong pneumatis yang digunakan,
dan basil klinisnya cukup menianjikan. Beberapa alat bantu ventrikel
dapat dikombinasikan dengan oxvgenalor-ex!racorporeal membrane
oxygenation (ECMO). Alat bantu kombinasi ventrikuler-oksigenator
digunakan pada pasien yang jantungnya tak dapat memompa darah secara
adekuat ke paru atau tubuhnya.
Jantung buatan total dirancang untuk
mengganti kedua ventrikel. Jantung pasien harus diangkat untuk nmemasang
jantung buatan total tadi. Semua alat-alat tadi masih dalam taraf
ekspenimental. Janvik-7 telah mengalami keberhasilan jangka pendek,
tetapi hasil jangka panjangnya cukup mengecewakan. Kebanyakan peneliti
jantung buatan total berharap dapat mengembangkan alat yang dapat
dipasang secara permanen dan yang akan dapat menggantikan kebutuhan
transplantasi jantung donor manusia untuk penanganan penyakit jantung
stadium akhir.
Alat bantu ventrikel dari jantung buatan total
sekarang sedang digunakan sebagai penanganan temporer. sementara pasien
menunggu jantungnya sendiri sembuh atau sampai tersedia jantung donor
yang sesuai untuk ditransplantasi. Kelainan pembekuan darah, perdarahan,
trombus, emboli, hemolisis, infeksi, dan kegagalan mekanis adalah
beberapa komplikasi jantung buatan total dan alat bantu ventrikel.
Asuhan keperawatan untuk pasien ini ditujukan tidak hanya pada
pengkajian dan meminimalkan komplikasi tersebut. tetapi juga melibatkan
dukungan emosi dan penyuluhan mengenai alat bantu mekanis itu sendiri.
I. Patofisiologi Bedah jantung
Krdiomiopati, penyakit jantung congenital Aterosklerosis ,Spasme aa. Coronaria
Hipoksia
Jaringan iskemic
Perubahan metabolisme
Fungsi Ventrike menurun
Gangguan gerakan jantung
Kontraksi Miokardium menurun
Perubahan hemodinamik
Curah jantung menurun
Ischemic meluas
Necrosis
Infark miokard
Bedah jantung
Gagal jantung
Transplantasi jantung
Nyeri Perubahan Perfusi jaringan Risiko Kekurangan volume cairan Hipertermia
sumber : www.ners-gun.blogspot.com
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF
1. PENATALAKSANAAN PRA OPERATIF
Pengkajian
Pengkajian
Kesehatan. Riwayat praoperatif dan pengkajian kesehatan harus lengkap
dan didokumentasikan dengan balk karena merupakan landasan sebagai
pembanding pascaoperatif. Pengkajian sistematis mengenai semua sistem
harus dilakukan, dengan penekanan pada fungsi kardiovaskuler.
Status
fungsional sistem kardiovaskuler ditentukan dengan mengamati
simptomatologi pasien. termasuk pengalaman sekarang maupun masa lampau
tentang adanya nyeri dada, hipertensi. berdebar-debar. sianosis, susah
bernapas (dispnu). nyeri tungkai yang terjadi setelah berjalan, ortopnu.
dispnu nokturnal paroksismal, edema perifer dan klaudikasio intermiten.
Karena perubahan curah jantung dapat mempengaruhi fungsi ginjal,
pernapasan. gastrointestinal, kulit, hematologi dan saraf. maka
sistem-sistem tersebut harus dikaji dengan lengkap. Riwayat penyakit
utama, pembedahan sebelumnya, terapi obat-obatan, dan penggunaan obat,
alkohol dan tembakau juga harus dieksplorasi.
Dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, dengan penekanan khusus pada parameter berikut:
a. Keadaan umum dan tingkah laku
b. Tanda-tanda vital
c. Status nutrisi dan cairan, berat dan tinggi badan
d.
Inspeksi dan palpasi jantung, menentukan titik impuls maksima!
(PMI = point of maximal impulse), pulsasi abnomsal, thrill
e. Auskukasi jantung, mencatat frekuensi nadi, mama dan kualitasnya. S, S4, snap, klik, murmur, friction rub
f. Tekanan vena jugularis
g. Denyut nadi perifer
h. Edema perifer
Pengkajian
Psikososial. Pengkajian psikososial dan pengkajian kebutuhan
belajar—mengajar pasien dan keluarganya sama pentingnya dengan
pemeriksaan tisik. Persiapan pembedahan jantung merupakan sumber stres
yang berat bagi pasien dan keluarganya. Mereka akan menjadi cemas dan
ketakutan dan kadang mempunyai banyak pertanyaan yang tidak terjawab.
Kecemasan mereka biasanya bertambah saat pasien dirawat di rumah sakit
dan segera dilakukan operasi. Pengkajian beratnya kecemasan sangat
penting. Bila ringan, mungkin merupakan penolakan. Bila berat, perlu
diajarkan pemakaian mekanisme koping secara .efektif melalui penyuluhan
praoperatif. Pertanyaan perlu diajukan untuk memperoleh informasi
berikut mengenai pasien maupun keluarganya:
- Arti pembedahan bagi pasien dan keluarganya
- Mekanisme koping yang digunakan
- Cara yang digunakan pada masa lampau untuk mengatasi stres
- Perubahan gaya hidup yang diantisipasi
- Sistem pendukung yang efektif
- Ketakutan mengenai masa kini dan masa mendatang
- Pengetahuan dan pemahaman prosedur pembedahan, perjalanan pascaoperasi, dan rehabilitasi jangka panjang
Diagnosis Keperawatan
Diagnosa
keperawatan bagi pasien yang menjalani pembedahan jantung sangat
bervariasi antara pasien satu dengan pasien lain, tergantung penyakit
jantung mereka dan simptomatologinya - Kebanyakari pasien mernpunyai
diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Selain itu, diagnosa
kepenawatan praoperatif bagi kebanyakan pasien mencakup yang berikut:
a. Takut sehubungan dengan prosedur pembedahan. hasil pembedahan yang belum jelas, dan takut akan kehilangan keadaan sehat
b. Kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pcmbedahan dan penjalanan pascaoperatif
Masalah Kolaborasi / Komplikasi Potensial
Stres
karena pembedahan yang akan dilakukan dapat mencetuskan komplikasi yang
memerlukan penatalaksanaan secara kolaboratif dcngan doktcr.
Berdasarkan data pengkajian, komplikasi potensial yang mungkin terjadi
meliputi:
a. Angina (atau yang sesuai dengan angina)
b. Kecemasan berat yang mcmerlukan obat antiolitik (pengurang-kecemasan)
c. Henti jantung
Intervensi Keperawatan
a.
Mengurangi Ketakutan. Pasien dan keluarganya harus diberi
kesempatan yang cukup dan untuk mengekspresikan ketakutan mereka. Bila
ada ketakutan yang tidak diketahui, pengalaman operasi lain yang pernah
dijalani pasien dapat dihandingkan dengan pembedahan yang akan
dilakukan. Terkadang sangat mcnibantu menjelaskan kepacla pasien
perasaan yang akan timbul (Anderson dan Masur 1989). Bila pasien pernah
menjalani kateterisasi jantung, maka persamaan dan perbedaan prosedur
ini dengan pembedahan yang akan dijalankan dapat dibandingkan. Pasien
juga didorong untuk menyatakan mengenai setiap keprihatinan yang
berhubungan dengan pengalaman sebelumnya.
b. Penyuluhan Pasien
dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Pendidikan pasien dan keluarganya
didasarkan pada kebutuhan belajar yang telah dikaji. Penyuluhan biasanya
meliputi informasi mengenai perawatan di rumah sakit, mengenai
pembedahan (asuhan praoperatif dan pascaoperatif, latnanya pembedahan,
nyeri dan ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, jam berkunjung, dan
prosedur di unit kritis), dan informasi mengenai fase pemulihan (lamanya
perawatan di rumah sakit, kapan aktivitas normal seperti pekerjaan
rumah tangga, helanja dan bekerja dapat dimulai kembali). Setiap
perubahan yang dilakukan pads terapi obat-obatan dan persiapan
praoperatif harus dijelaskan dan ditekankan.
c. Pemantauan dan
Penatalaksanaan Komplikasi Potensial. Pasien yang mengalami angina
biasanya berespons dengan terapi angina yang biasa, yang tersering
adalah nitrogliserin yang diletakkan di bawah lidah Beberapa pasien
memerlukan oksigen dan drip nitrogliserin intravena.
Evaluasi
Hasil yang Diharapkan
a. Memperlihatkan berkurangnya kecetnasan
- Mengidentifikasi rasa takut
- Mendiskusikan rasa takut dengan keluarga
- Menggunakan pengalaman dahulu sebagai fokus perbandingan
- Mengekspresikan pandangan positif mengenai hasil pembedahan
- Mengeksprcsikan rasa percaya diri mengenai cara yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit
b. Menerima pcngetahuan mengenai prosedur pembedahan dan perjalanan pascaoperatif
- Mengidentifikasi maksud prosedur persiapan praoperatif
- Meninjau unit perawatan intensif bila diinginkan
- Mengidentitikasi keterbatasan hasil setelah pembedahan
- Mendiskusikan lingkungan pascaoperatif dengan segera, mis, pipa. mesin. pemeriksaan perawat.
-
Memperagakan aktivitas yang seharusnya dilakukan setelah
pembedahan (mis., menarik napas dalam, batuk efektif, latihan kaki)
2. PENATALAKSANAAN INTRA OPERATIF
Kebanyakan
prosedur pembedahan jantung dilakukan melalui insisi sternotomi median.
Pasien dipersiapkan untuk pemantauan bcrkcsinambungan: elektroda,
kateter indwelling, dan probe dipasang sebelum prosedur untuk
rnemudahkan pengkajian status pasien dan penubahan terapi bila
diperlukan. Pipa intravena harus dipasang bila diperlukan pemberian
cairan, obat, dan komponen darah. Selain itu pasien akan diintubasi dan
dihubungkan dengan ventilasi mekanis.
Sebelum insisi dada ditutup,
dipasang tabung dada untuk pengeluaran udara dan drainase dan
mediastinum dan toraks. Elektroda pacu jantung epikardial
diimplantasikan pada permukaan atrium kanan dan ventrikel kanan.
Elektroda epikardial ini dapat dipakai pascaoperatif untuk memacu
jantung atau untuk memantau jantung apabila ada disritmia melalui lead
atrium.
Selain membantu prosedur pembedahan, perawat bedah juga
bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan keamanan pasien. Ruang lingkup
intervensinya meliputi mengatur posisi, perawatan kulit, serta dukungan
emosional terhadap pasien dan keluarganya.
Komplikasi intraoperatif
yang mungkin terjadi meliputi disritmia, pendarahan, infark miokardium,
cedera pembuluh darah otak, emboli, dan gagal organ akibat syok, embolus
atau reaksi obat. Pengkajian pasien imraoperatif yang cermat sangat
penting dalam mencegah komplikasi tersebut selain dapat mendeteksi
gejala dan memulai tindakan segera.
3. PENATALAKSANAAN POST OPERATIF
Pengkajian
Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut;
Ø
Status neurologis—tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi
terhadap cahaya, refleks, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman
tangan.
Ø Status Jantung—frekuensi dan irama jantung, suara
jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan
arteri paru, tekanan baji arteri paru (PAWP = pulmonary artery wedge
pressure). tekanan atrium kiri (LAP), bentuk gelombang dan pipa tekanan
darah invasif, curah jantung atau indeks. tahanan pembuluh darah
sistemik dan paru, saturasi oksigen arteri paru (SVO,) bila ada,
drainase rongga dada, dan status serta fungsi pacemaker.
Ø
Status respirasi—gerakan dada, suana napas, penentuan ventilator
(fnekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode [mis, SIMV], tekanan
positif akhir ekspirasi [PEEPfl, kecepatan napas, tekanan ventilator,
saturasi oksigen anteri (SaO,), CO2 akhir tidal, pipa drainase rongga
dada, gas darah arteri.
Ø Status pembuluh darah perifer—denyut
nadi perifer, warna kulit, dasar kuku, mukosa. bibir dan cuping telinga,
suhu kulit, edema, kondisi balutan dan pipa invasif.
Ø Fungsi ginjal—haluaran urin, berat jenis urin, dan osmolaritas
Ø
Status cairan dan elektrolit—asupan; haluaran dan semua pipa
drainase. serta parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseinibangan
elektrolit berikut:
Hipokalemia: intoksikasi digitalis, disritmia (gelombang U, AV blok, gelombang T yang datar atau terbalik)
Hiperkalemia.-
konfusi mental, tidak tenang, mual, kelemahan, parestesia eksremitas,
disrirmia (tinggi, gelombang T puncak, meningkatnya amplitudo, pelebaran
kompleks QRS; perpanjangan interval QT)
Hiponatremia: kelemahan, kelelahan, kebingungan, kejang, koma
Hipokalsemia parestesia, spasme tangan dan kaki, kram otot, tetani
Hiperkalsemia intoksikasi digitalis, asistole
Ø
Nyeri—sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus
dibedakan dengan nyeri angina): aprehensi, respons terhadap analgetika.
Ø
Catatan: Beberapa pasien yang telah menjalani CABG dengan arteri
mamaria interns akan mengalaini parestesis nervus ulnanis pada sisi yang
sama dengan graft yang diambil. Parestesia tersebut bisa sementara atau
permanen. Pasien yang menjalani CABG dengan arieni gasiroepiploika juga
akan mengalami ileus selama beberapa waktu pascaoperatif dan akan
mengalami nyeri abdomen pada tempat insisi selain nyeri dada.
Pengkajian
juga mencakup observasi segala peralatan dan pipa untuk menentukan
apakah fungsinya baik: pipa endotrakheal, ventilator, monitor CO2 akhir
tidal, monitor Sa02, kateter arteri paru, monitor SO2, pipa arteri dan
vena, slat infus intravena dan selang, monitor jantung, pacemaker, pipa
dada, dan sistem drainase urin.
Begitu pasien sadar dan mengalami
kemajuan selama periode pascaoperatif, perawat harus mengembangkan
pengkajian dengan memasukkan parameter yang menunjukkan status
psikologis dan emosional. Pasien dapat irternperlihatkan iingkah laku
yang mencerminkan penolakan dan depresi atau dapat pula mengalami
psikosis pasca kardiotomi. Tanda khas psikosis meliputi (1) ilusi
persepsi sementara, (2) halusinasi dengar dan penglihatan (3)
disorientasi dan waham paranoid.
Pengkajian Komplikasi
Pasien
terus-menerus dikaji mengenai adanya indikasi ancaman komplikasi.
Perawat dan dokter bekerja secara kolaboratif unruk mengetahui tanda dan
gejala awal komplikasi dan memberikan tindakan untuk mencegah
perkemhangannya.
Penurunan Curah Jantung. Penurunan curah jantung
selalu merupakan ancaman bagi pasien yang baru saja menjalani pembedahan
jantung. Hal ini dapat terjadi karena berbagai penyebab:
a.
Gangguan preload—terlalu sedikit atau terlalu banyak volume darah yang
kembali ke jantung akibat hipovolemia. perdarahan yang berlanjut.
tamponade jantung, atau cairan yang berlebihan.
b. Gangguan
afterload—arteri dan kapiler yang terlalu konstriksi atau terlalu
dilatasi karena perubahan suhu tubuh atau hipertensi.
c. Gangguan frekuensi jantung—terlalu cepat, terlalu lambat. atau disritmia
d. Gangguan kontraktilitas—gagal jantung. infark miokardium. ketidakseiinbangan elektrolit, hipoksia
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi setelah pembedahan
jantung. Pengkajian keperawatan untuk komplikasi ini meliputi pemantauan
asupan dan haluaran, berat PAWP, hasil pengukuran tekanan atrium kiri
dan CVP, tingkat hematokrit, distensi vena leher, edema, ukuran hati,
suara napas (misalnya krekels halus, wheezing) dan kadar elektrolit.
Perubahan
elektrolit serum harus dilaporkan segera sehingga penanganan dapat
segera diberikan. Yang penting kadar kalium, natrium dan kalsium tinggi
atau rendah.
Gangguan pertukaran gas.
Gangguan pertukaran gas
adalah komplikasi lain yang mungkin terjadi pasca bedah jantung. Semua
jaringan tubuh memerlukan suplai oksigen dan nutrisi yang adekuat untuk
bertahan hidup. Untuk mencapai hal tersebut pada pasca pembedahan, maka
perlu dipasang pipa endotrakeal dengan bantuan ventilator selama 4
sampai 48 jam atau lebih. Bantuan ventilasi dilanjutkan sampai nilai gas
darah pasien normal dan pasien menunjukkan kemampuan bernapas sendiri.
Pasien yang stabil setelah pembedahan dapat diekstubasi segera setelah 4
jam pasca pembedahan, sehingga mengurangi kecemasannya sehubungan
dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi.
Pasien dikaji terus
menerus untuk adanya indikasi gangguan pertukaran gas; gelisah, cemas,
sianosis pada selaput lendir dan jaringan perifer, takikardia dan
berusaha melepas ventilator. Suara napas dikaji sesering mungkin untuk
mendeteksi adanya cairan dalam paru dan untuk memantau pengembangan paru
Gas darah arteri selalu dipantau.
Gangguan Peredaran Darah Otak.
Fungsi
otak sangat tergantung pada suplai oksigen darah yang berkesinambungan.
Otak tidak memiliki kapasitas untuk menyimpan oksigen dan sangat
bergantung pada perfusi berkesinambungan yang adekuat dan jantung. Jadi
sangat penting mengobservasi pasien mengenai adanya gejala hipoksia:
gelisah, sakit kepala, konfusi. dispnu, hipotensi. dan sianosis. Gas
darah arteri, SaO, SO dan CO akhir tidal harus dikaji bila ada penurunan
oksigen dan peningkatan karbondioksida. Pengkajian status neurologis
pasien meliputi tingkat kesadaran. respons terhadap perintah verbal dan
stimulus nyeri, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya. gerakan
ekstremitas. kekuatan menggenggarn tangan. adanya denyut nadi poplitea
dan kaki, begitu juga suhu dan warna ekstremitas. Setiap tanda yang
menunjukkan adanya perubahan status harus dicatat dan setiap temuan yang
abnormal harus dilaporkan ke ahli bedah segera karena bisa merupakan
tanda awal komplikasi pada periode pascaoperatif. Hipoperfusi dan
mikroemboli dapat rnenyebahkan kerusakan sistem saraf pusat setelah
pembedahan jantung.
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian dan jenis prosedur bedah yang dilakukan. diagnosis utama keperawatan mencakup yang berikut:
a. Menurunnya curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu.
b. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma akibat pembedahan dada ekstensif
c. Risiko kekurangan volume cairan dan keseirnbangan elektrolit berhubungan dengan berkurangan volume darah yang beredar
d.
Risiko gangguan persepsi-penginderaan berhubungan dengan
penginderaan yang berlebihan (suasana ruangan asuhan kritis, pengalaman
pembedahan)
e. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan iritasi akibat selang dada
f.
Risiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan stasis
vena, embolisasi. penyakit aterosklerosis yang mendasarinya. efek
vasopresor, atau rnasalah pembekuan darah.
g. Risiko perubahan perfusi ginjal berhubungan dengan penurunan curah jantung, hemolisis, atau terapi obat vasopresor
h. Risiko hipertermia berhubungan dengan infeksi atau sindrorn pasca perikardiotomi
i. Kurang pengetahuan mengenai aktivitas perawatan diri
Masalah Kolaboratif / Komplikasi Potensial
Berdasarkan pada data pengkajian, komplikasi potensial yang dapat terjadi mencakup:
a. Komplikasi jantung: gagal jantung kongestif, infark miokardium, henti jantung. disritmia.
b.
Komplikasi paru: edema paru, emboli paru. efusi pleura, pneumo
atau hematotoraks, gagal napas. sindrom distres napas dewasa
c. Perdarahan
d. Komplikasi neurologis: cedera serebrovaskuler, emboli udara
e. Nyeri
f. Gagal ginjal, akut atau kronis
g. Ketidakseimbangan elektrolit
h. Gagal hati
i. Koagulopati
j. Infeksi, sepsis
Perencanaan dan Implementasi
Tujuan.
Tujuan utama meliputi restorasi curali jantung, pertukaran gas yang
adekuat, pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit. berkurangnya
gejala penginderaan yang berlebihan. penghilangan nyeri, usaha untuk
beristirahat, pemeliharaan perfusi jaringan yang memadai, pemeliharaan
perfusi ginjal yang memadai, pemeliharaan suhu tubuh normal, mempelajari
aktivitas perawatan diri. dan tidak adanya komplikasi.
Intervensi Keperawatan
Menjaga Curah Jantung.
Penatalaksanaan
keperawatan mencakup observasi terus-menerus status jantung pasien dan
segera memberitahu ahli bedah setiap perubahan yang menunjukkan
penurunan curah jantung. Perawat dan ahli bedah kemudian bekerja sarna
secara kolaboratif untuk memperbaiki masalah yang terjadi.
Disritmia,
yang dapat terjadi ketika perfusi jantung berkurang, juga merupakan
indikator penting mengenai fungsi jantung. Disritmia yang paling sening
terjadi selama peniode pascaoperasi adalah bradikardi, takikardi dan
denyutan ektopik. Observasi terus-menerus pantauan jantung untuk adanya
berbagai disritmia merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan dan
perawatan pasien.
Setiap petunjuk adanya penurunan curah jantung
harus segera dilaporkan ke dokter. Data dan hasil pengkajian uji
tersebut kemudian akan digunakan dokter untuk menentukan penyebab
masalahnya. Begitu diagnosa telah ditegakkan, dokter bersama perawat
bekerja secara kolaboratif untuk menjaga curah jantung dan mencegah
komplikasi lebih lanjut. Bila perlu, dokter dapat membenikan komponen
darah, cairan, digitalis, diuretik, vasodilator, atau vasopresor. Bila
perlu dilakukan pembedahan lagi, maka pasien dan keluanganya harus
dibenitahu mengenai prosedur tersebut.
Promosi Pertukaran Gas yang Memadai.
Untuk
meyakinkan adanya pertukaran gas yang memadai, perawat harus mengkaji
dan menjaga patensi selang endotrakheal. selang harus dihisap bila ada
wheezing atau krekel (ronkhi). Pengisapan dapat dilakukan melalui
kateter yang sudah ada; perawat dan ahli terapi napas harus menaikkan
fraksi oksigen inspirasi ventilator (Fi02) selama tiga tarikan napas
atau lebih, sebelurn mulai menghisap. Bisa juga, oksigen 100% diherikan
kepada pasien dengan resusitator manual (Ambu) sebelum dan sesudah
penghisapan untuk mencegah hipoksia yang dapat terjadi akibat prosedur
penghisapan. Pengukuran gas darah arteri harus dibandingkan dengan data
awal dan setiap ada perubahan harus dilaporkan kepada dokter segera.
Menjaga Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.
Untuk
promosi keseimbangan cairan dan elektrolit, peravat harus mengkaji
dengan cermat setiap pemasukan dan pengeluaran. Pergunakan lembar khusus
untuk mencatat keseimbangan cairan positif atau negatif. Semua masukan
cairan harus dicatat, termasuk cairan intravena, larutan pembilas yang
digunakan untuk membilas kateter arteri dan vena dan pipa nasogastrik,
dan cairan peroral. Begitu pula, semua keluaran juga harus dicatat,
meliputi urin, drainase nasogastrik, dan drainase dada.
Parameter
hemodinamika (tekanan darah, tekanan baji pulmonal dan atrium kiri, dan
CVP) harus sesuai dengan asupan, haluaran dan berat badan untuk
menentukan kecukupan hidrasi dan curah jantung. Elektrolit serum harus
dipantau dan pasien harus diobservasi mengenai adanya tanda
ketidakseimbangan kalium, natrium dan kalsium (hipokalemia,
hiperkalemia, hiponatremia dan hipokalsemia).
Menurunkan Gejala Penginderaan yang Berlebihan.
Penginderaan
yang berlebihan mempakan efek yang biasa terjadi, yang berhubungan
dengan pengalaman pembedahan dan faktor lingkungan di unit perawatan
kritis. Psikosis pasca kardiotomi dapat terjadi setelah pembedahari
jantung. Istilah mi mengacu pada sekelompok tingkah laku abnormal yang
terjadi dalam intensitas dan durasi yang beragam pada kebanyakan pasien.
Pada tahun-tahun awal pembedahn jantung, fenomena ini lebih sering
terjadi dibanding sekarang. Pada saat itu disebabkan karena kurangnya
perfusi otak selama pembedahan, mikroemboli, dan lamanya pasien berada
dalam mesin pintasan jantung paru. Kemajuan dalam teknik pembedahan
telah menurunkan secara bermakna faktor-faktor tadi. Sekarang, apabila
terjadi, mungkin disebabkan oleh kecemasan, kurang tidur, masukan
indrawi yang berlebihan, dan disorientasi terhadap malam dan siang saat
pasien kehilangan perjalanan waktu. Ada temuan penting yang menunjukkan
bahwa pasien yang tak mampu mengekspresikan kecemasannya sebelum
pembedahan akan lebih rentan mengalami psikosis pada periode pasca
operasi.
Pengurangan Nyeri.
Nyeri dalam kemungkinan tidak
dapat dirasakan tepat di atas daerah cedera tetapi ke tempat yang lebih
luas dan merata. Pasien yang baru saja menjalani pembedahan jantung akan
mengalami nyeri akibat terpotongnya syaraf interkostal sepanjang irisan
dan iritasi pleura oleh kateter dada. (Begitu pula, pasien dengan CABG
arteria mamaria interna dapat mengalami parestesia saraf ulna pada sisi
yang sama dengan sisi grafnya.)
Observasi dan mendengarkan adanya
Tanda nyeri yang diucapkan ataupun tidak diucapkan oleh pasien perlu
diperhatikan. Perawat harus mencatat secara akurat sifat, jenis, lokasi,
dan durasi nyeri. (Nyeri irisan harus dibedakan dengan nyeri angina.)
Pasien harus dianjurkan minum obat sesuai resep untuk mengurangi nyeri.
Kemudian pasien harus dapat berpartisipasi dalam benlatih menarik napas
dalam dan batuk. dan secara progresif memngkatkan perawatan diri.
Nyeri
menyebabkan ketegangan. yang akan menstimulasi sistem saraf pusat untuk
mengeluarkan adrenalin, yang mengakibatkan konstriksi arteri. Hal ini
akan mengakibatkan peningkatan afrerload dan penurunan curah jantung.
Morfin sulfat dapat mcngurangi nyeri dan kecemasan serta merangsang
tidur, yang pada gilirannya menurunkan kecepatan metabolik dan keburuhan
oksigen. Setelah pemberian opioid (narkotika), setiap tanda-tanda
adanya penurunan aprehensi dan nyeri harus dicatat dalam status pasien.
Pasien juga harus dipantau akan adanya tanda efek depresi pernapasan
akibat analgetika. Bila terjadi depresi pernapasan. harus diberikan
antagonis opioid (mis., naloxone [Narcan]) untuk melawan efek rersebut.
Meningkatkan Istirahat.
Upaya
dasar untuk memberikan rasa nyaman pada pasien bersama dengan pembehan
analgetika akan memperkuat efek analgesia dan meningkatkan istirahat.
Pasien harus dibantu merubah posisi setiap 1 sampai 2 jam dan
diposisikan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari ketegangan pada
daerah luka operasi dan selang dada. Penekanan pada daerah irisan selama
batuk dan nenarik napas clalam dapat mengurangi nyeri. Aktivita
keperawatan dijadwalkan sebanyak mungkin uniuk mengurangi gangguan saat
istirahat. Bila kondisi sudah mulai stabil dan prosedur terapi serta
pemantauan sudah mulai berkurang, maka pasien dapat beristirahat lebih
lama lagi.
Menjaga Perfusi Jaringan yang Adekuat.
Denyut nadi
perifer (pedis, poplitea. tibialis, femoralis, radialis, brakhialis)
dipalpasi secara rutin untuk mengkaji adanya obstruksi arteri. Bila
tidak teraba denyutan pada satu ekstremitas, penyebabnya mungkin akibat
kateterisasi sebelurnnya pada ekstremitas tersebut. Bila ada denyut yang
baru saja menghilang harus segera dilaporkan kepada dokter.
Setelah
pembedahan harus diupayakan mencegah stasis vena yang dapat
mengakibatkan pembentukan trombus dan selanjutnya emboli: (1) memakai
stoking elastik atau halutan elastik, (2 menghindari menyilang kaki. (3)
menghindari pengunaan peninggi lutut pada tempat tidur, (4) mengambil
semua bantal pada rongga popliteal. dan (5) memberikan latihan pasif
diikuti dengan latihan aktif umuk meningkaikan sirkulasi dan mencegah
hilangnya tonus otot.
Gejala embolisasi, yang berbeda menurut
tempatnya, bisa ditandai dengan (1) nyeri abdomen atau punggung tengah
(2) nyeri, hilangnya denyutan, pucat, rasa baal, atau dingin pada
ekstremitas (3) nyeri dada atau distres pernapasan pada emboli paru dan
infark miokardium: dan (4) kelemahan satu sisi dan perubahan pupil,
seperti yang terjadi pada cedera pembuluh darah otak. Semua gejala yang
timbul harus segera dilaporkan.
Menjaga Kecukupan Perfusi Ginjal.
Perfusi
ginjal yang tidak mencukupi dapat tenjadi sebagai akibat pembedahan
janrung terbuka. Salah satu penyebab yang mungkin adalah rendahnva curah
jantung. Selain itu trauma terhadap sel darah selama pintasan jantung
paru menyebabkan hernolisis sel darah merah. Kejadian ini mengakibatkan
terbentuknya senyawa racun karena glomerulus tersumbat oleh debris sel
darah merah yang rusak tadi. Penggunaan bahan vasopresor untuk
meningkatkan tekanan darah juga dapat menyebabkan penurunan alinan darah
ke ginjal.
Penatalaksanaan keperawatan meliputi pengukuran haluaran
urin yang akurat. Haluaran urin kurang dari 20 ml jam menunjukkan adanya
hipovolemia. Berat jenis juga harus diukur untuk mengetahui kemampuan
ginjal mengkonsentrasilcan urin dalam tubulus renalis. Diuretik kerja
cepat atau obat inotropika (digitalis, isopnoterenol) dapat diberikan
untuk meningkatkan cunah jantung dan aliran darah ginjal. Perawat harus
memperhatikan nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum serta
kadar elektrolit serum. Bila ditemukan ketidaknormalan segera laporkan
kepada dokter karena mungkin diperlukan pembatasan cairan dan pembatasan
pemakaian ohat-obat yang biasanya diekskresi melalui ginjal.
Menjaga Suhu Tubuh Tetap Normal.
Pasien
biasanva hipotermik saat dimasukkan ke unit perawatan intensif dan
prosedur pembedahan jantung. Pasien harus dihangatkan secara bertahap
sampai ke suhu normal, yang sebagian dapat diperoleh dari proses
metabolisme basal pasien itu sendiri dan ditambah bantuan udara
ventilator yang dihangatkan, selimut hangat, atau lampu pemanas. Selain
pasien masih hipotermik, proses pembekuan menjadi kurang efisien.
jantung rentan terhadap disritmia, dan oksigen tidak segera siap
dipindahkan dan hemoglobin ke jaringan. Karena anestesi menekan
metabolisme basal. suplai oksigen yang ada biasanya sudah mencukupi
kebutuhan sel.
Setelah pembedahan jantung, pasien berisiko mengalami
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi atan sindrorn pascaperikardiotomi.
Peningkatan kecepatan metabolisme yang terjadi akan meningkatkan
kebutuhan oksigen jaringan sehingga meningkatkan beban kerja jantung.
Upaya harus dilakukan untuk mencegah terjadinya urutan kejadian tersebut
atau menghentikannya begitu diketahui.
Evaluasi
Hasil yang Diharapkan
a. Tercapainya curah jantung yang adekuat
b. Terpeliharanya pertukaran gas yang adekuat
c. Terpeliharanva keseimbangan cairan dan elekirolit
d. Hilangnya gejala penginderaan yang berlebihan, kembali terorientasi terhadap orang. tempat dan waktu
e. Hilangnya nyeri
f. Terpeliharanya perfusi jaringan yang adekuat
g. Tercapainya istirahat yang adekuat
h. Terpeliharanya perfusi ginjal yang adekuat
i. Terpeliharanya suhu tubuh normal
j. Mampu melakukan aktivitas perawatan diri
DAFTAR PUSTAKA
Sylvia
A. Price et. Al (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth(Ed. 8 Vol 2), EGC, Jakarta.
Carpenito
Lynda Juall (1999). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi
Keperawatan (Ed. 2), Jakarta : Penerbit buku kedokteran. EGC.
Barbara
C Long, (1996). Perawatan Medikal Bedah, Edisi II, Yayasan ikatan
alumni pendidikan keperawatan padjajaran Bandung: Bandung.
Engram
(1999). Rencanan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, Terjemahan
dari Medical Surgical Nursing Planning, (1993), Alih bahasa Suharyati,
EGC: Jakarta.
Doenges E Marlynn (1999) Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi
3) Penerbit buku kedokteran. EGC
No comments:
Post a Comment