BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang.
Dengan bertambahnya
usia harapan hidup orang Indonesia, maka jumlah manusia lanjut usia di Republik
ini akan bertambah banyak pula. Sehingga masalah penyakit akibat ketuaan akan
semakin banyak kita hadapi. Salah satu penyakit yang harus diantisipasi adalah
semakin banyaknya penyakit osteoporosis
dan patah tulang yang diakibatkannya
(Bayu Santoso, 2001).
Pada tahun 60 tahun ke
depan akan terjadi perubahan demografik yang akan meningkatkan populasi warga
usia lanjut dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena osteoporosis.
Jumlah penderita patah tulang akibat osteoporosis yang pada tahun 1990 mencapai
1,7 juta akan menjadi 6,3 juta pada tahun 2050, kecuali jika ada tindakan
pencegahan yang agresif (Joewono Soeroso, 2001).
Di Surabaya berdasarkan
pengamatan Prof. Dr. Djoko Roeshadi pada penelitiannya tahun 1997, 26% diantara
wanita pasca menoupouse mengalami osteoporosis.
80% osteoporosis
terjadi pada wanita terutama yang sudah mencapai usia menoupouse. Osteopororis
sebetulnnya adalah berkurangnya masa tulang yang kemudian diikuti dengan
kerusakan arsitektur tulang, sehingga tulang mudah mengalami patah tulang
(R. Prayitno Prabowo, 2001).
Osteoporosis
didefinisikan sebagai kelainan skeletal yang ditandai dengan adanya gangguan
kekuatan tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar resikonya untuk
mengalami patah tulang. (Edi Mutamsir, 2001).
Osteoporosis dibagi
menjadi tiga yaitu osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis
idiopatik. Dalam penelitian ini peneliti
membatasi pada osteoporosis primer. Menurut Albright JA tahun 1979.
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan
merupakan kelompok yang terbesar. Ada dua faktor resiko yang menjadi penyebab
utama terjadinya osteoporosis yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang
tidak dapat diubah.
Dengan mengetahui
faktor resiko osteoporosis, kita dapat memperkirakan penyebab atau suatu hal
yang dapat mempermudah terjadinya osteoporosis. Konsep ini sangat bermanfaat
dalam upaya mengurangi angka kecacatan.
- Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
- Bagaimana
anatomi dan fisiologi Tulang?
- Apakah yang
dimaksud Osteoporosis?
- Bagaimana
penyebaran penyakit Diabetes Melitus?
- Apa sajakah
klasifikasi, etiologi, factor resiko, manifestasi klinis penyakit Osteoporosis?
- Bagaimana
patofisiologi dari penyakit Osteoporosis?
- Bagaimana
pencegahan dan penatalaksanaan medis dari penyakit Osteoporosis?
- Bagaimana
komplikasi penyakit Osteoporosis?
- Bagaimana
asuhan keperawatan pada klien dengan Osteoporosis?
- Tujuan
1) Tujuan
Umum
Peserta
diskusi diharapkan dapat menerapkan proses keperawatan dalam memenuhi kebutuhan
klien dengan Osteoporosis.
2) Tujuan
Khusus
Adapun
tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah:
a) Untuk
mengetahui anatomi dan fisiologi tulang.
b) Untuk
mengetahui yang dimaksud Osteoporosis.
c) Untuk
mengetahui penyebaran penyakit Osteoporosis.
d) Untuk
mengetahui klasifikasi, etiologi, factor resiko, manifestasi klinis penyakit Osteoporosis?
e) Untuk
mengetahui patofisiologi dari penyakit Osteoporosis?
f) Untuk
mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan medis dari penyakit Osteoporosis?
g) Untuk
mengetahui komplikasi penyakit Osteoporosis?
h) Untuk
mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Osteoporosis?
- Manfaat
1) Mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit Osteoporosis.
2) Meningkatkan
pemahaman askep pada klien dengan Osteoporosis.
3) Mampu
memberikan ASKEP professional pada klien dengan Osteoporosis.
4) Meningkatkan
soft skill perawat dalam memenuhi kebutuhan dasar klien dengan Osteoporosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
dan fisiologi Tulang
1. Anatomi & fisiologi Tulang
Tulang terdiri atas
matriks organic keras yang sangat diperkuat dengan endapan garam kalsium dan
garam tulang. Matriks organik ini terdiri dari serat-serat kolagen dan medium
gelatin homogen yang disebut substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri atas
cairan ekstraseluler ditambah proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan
asam hialuronat yang membantu mengatur pengendapan kalsium. Garam-garam tulang
terutama terdiri dari kalsium dan fosfat.
Rumus garam utamanya dikenal sebagai hidroksiapatit.
Tahap
awal pembentukan tulang adalah sekresi kolagen (kolagen monomer) dan substansi
dasar oleh osteoblas. Kolagen monomer
dengan cepat membentuk serat-serat kolagen dan jaringan akhir yang terbentuk
adalah osteoid, yang akan menjadi tempat di mana kalsium mengendap. Sewaktu osteoid terbentuk, beberapa osteoblas
terperangkap dalam osteoid dan selanjutnya disebut osteosit. Osteoblas dapat
dijumpai di permukaan luar tulang dan dalam rongga tulang. Lawan dari osteoblas yang membentuk tulang
adalah osteoklas yang menyerap tulang dan mengikisnya.
Pertumbuhan &
Pembentukan Tulang
Pada
pertumbuhan tulang normal, kecepatan pengendapan dan absorpsi tulang sama satu
dengan lainnya, sehingga massa total dari tulang tetap konstan. Biasanya, osteoklas terdapat dalam massa yang
sedikit tetapi pekat, dan sekali massa osteoklas mulai terbentuk, maka
osteoklas akan memakan tulang dalam waktu 3 minggu dan membentuk terowongan. Pada
akhir waktu ini, osteoklas akan menghilang dan terowongan itu akan ditempati
osteoblas.
Selanjutnya,
mulai dibentuk tulang baru.Pengendapan tulang ini kemudian terus berlangsung
selama beberapa bulan, dan tulang yang baru itu diletakkan pada lapisan
berikutnya dari lingkaran konsentris (lamella) pada permukaan dalam rongga
tersebut sampai pada akhirnya terowongan itu terisi semua. Pengendapan ini berhenti setelah ada pembuluh
darah yang mendarahi daerah tersebut.
Kanal yang dilewati pembuluh darah ini disebut kanal harvers. Setiap daerah tempat terjadinya tulang baru
dengan cara seperti ini disebut osteon.
Apabila
mendapat beban yang berat, tulang akan menebal.
Selain itu, tulang akan terus melakukan regenerasi kalau sudah mulai
perlu diganti.Kemampuan tulang melakukan regenerasi akibat adanya
absorpsi-pengendapan tulang.Kecepatan absorpsi-pengendapan tulang yang
berlangsung cepat, misalnya pada anak-anak, cenderung membuat tulang rapuh
dibandingkan dengan absorpsi-pengendapan tulang yang lambat. Jadi, pada anak-anak akan terjadi regenerasi
yang cepat apabila ada kerusakan.
Tubuh
manusia dewasa mengandung sekitar 1100gr kalsium, dan 99%nya berada dalam
kerangka tubuh. Kalsium dalam tulang
terdiri Atas 2 tipe: cadangan yang dapat ditukar dengan cepat, dan cadangan
kalsium yang jauh lebih besar ddengan proses penukaran yang lambat. Ada 2 sistem homeostatik yang independen:
sistem yang mengatur Ca2+ plasma yang tiap harinya bergerak keluar masuk dari
cadangan yang mudah ditukar; dan sistem yang berperan dalam remodelling tulang
melalui resropsi dan deposisi tulang yang konstan.
Ada
2 tipe kalsium: plasma dan bebas.
Kalsium plasma ada yang terikat pada protein (albumin dan globulin) dan
ada juga yang berdifusi (berionisasi dan berkompleks dengan HCO3-, sitrat,
dst). Kalsium bebas yang terionisasi
dalam cairan tubuh adalah perantara kedua dan diperlukan untuk pembekuan darah,
kontraksi otot, dan fungsi saraf.
Penurunan kadar Ca2+ dapat menyebabkan tetani hipokalsemik yang ditandai
dengan sejumlah besar spasme otot rangka, seperti yang terjadi pada
laringospasme dimana jalan napas akan tersumbat dan menimbulkan asfiksia fatal.
Metabolisme
kalsium pada manusia dewasa yang mengonsumsi 1000mg (25mmol) kalsium per hari.
Terdapat 3 hormon yang mengatur metabolisme kalsium, yaitu: (1)
1,25-dihidroksikolikalsiferol yang merupakan hormon steroid yang dibentuk dari
vitamin D. Reseptor
1,25-dihidrokolekalsiferol ditemukan di banyak jaringan selain usus, ginjal,
dan tulang. Jaringan tersebut di
antaranya adalah kulit, limfosit, monosit, otot rangka dan jantung, payudara,
dan kelenjar hipofisis anterior. Zat ini
dapat mempermudah penyerapan Ca2+ dari usus, mempermudah reasorbsi Ca2+ di
ginjal, meningkatkan aktivitas sintetik osteoblas, dan diperlukan untuk
klasifikasi normal matriks.
(2)
Hormon paratiroid (PTH) yang memobilisasi kalsium dari usus. PTH bekerja langsung pada tulang untuk
meningkatkan resorpsi tulang, ekskresi fosfat dalam urine dan memobilisasi
Ca2+. (3) Kalsitonin yang menurunkan kadar kalsium dengan cara menghambat
resorpsi tulang, dan menghambat aktivitas osteoklas secara in vitro.
Ketiga
hormon ini bekerja secara terpadu untuk mempetahankan kadar Ca2+ yang konstan
dalam cairan tubuh.
Mineralisasi
tulang merupakan proses penempatan kalsium ke dalam jaringan tulang. Sedangkan
demineralisasi merupakan proses yang antagonis dengan mineralisasi yaitu proses
pengambilan kalsium dari jaringan tulang.
Selama
hidup, tulang secara terus-menerus diresobsi dan dibentuk tulang baru. Kalsium
dalam tulang mengalami pergantian dengan kecepatan 100% per tahun pada bayi dan
18% per tahun pada orang dewasa. Remodeling tulang ini, sebagian bessar adalah
proses local yang berlangsung di daerah yang terbatas oleh populasi sel yang
disebut unit remodeling tulang.
Tulang mempertahankan bentuk eksternalnya
selama masa pertumbuhan akibat proses remodeling konstan, disertai proses
pengerasan tulang oleh osteoblas (mineralisasi) dan pada proses resoprsi oleh
osteoklas (demineralisasi) yang terjadi pada permukaan dan di dalam tulang.
Osteoklas membuat terowongan ke dalam tulang korteks yang diikuti oleh
osteoblas, sedangkan remodeling tulang trabekular terjadi di permukaan
trabekular. Pada kerangka manusia, setiap saat sekitar 5% tulang mengalami
remodeling oleh sekitar 2 juta unit remodeling tulang. Kecepatan pembaruan
untuk tulang adalah sekitar 4% per tahun untuk tulang kompak dan 20% per tahun
untuk tulang trabekular.
Kelainan-kelainan pada
Tulang
Terdapat
beberapa kelainan yang dapat terjadi pada tulang, antara lain: Osteopetrosis, osteoporosis, dan osteomalasia.
Osteopetrosis merupakan penyakit tulang yang jarang sekali dijumpai dan sering
kali parah. Hal ini dimana osteoklas mengalami gangguan dan tidak mampu
menyerap tulang secara wajar sehingga osteoblas bekerja tanpa ada yang
menyeimbagi. Akibatnya adalah pemadatan tulang, gangguan neurologik akibat
penyempitan dan distorsi forame tempat lewatnya berbagai saraf, dan kelainan
hematologik akibat dipenuhinya rongga sumsum.
Osteoporosis
merupakan kelainan pada tulang yang disebabkan oleh kelebihan relatif fungsi
osteoklas. Matriks tulang pada penyakit ini berkurang dan insidens fraktura
meningkat. Artinya, keadaan tulang osteoporosis ini sangat rapuh karena
osteoklas tidak diimbangi oleh osteoblas. Osteoporosis ini sering terjadi pada
wanita dewasa terutama yang telah mnegalami menopaose karena tingkat estrogen
sangat berpengaruh dalam pembetukan tulang atau osteoblas.
Osteomalasia
merupakan kelainan pada tulang yang terjadi karena gagalnya osteoid pada tulang
untuk mengeras karena kekurangan vitamin D dan Estrogen, selain itu juga
penurunannya tingkat kalsium dan fosfat serta demineralisasi seperti yang telah
dijelaskan di atas. Hal ini juga terjadi karena meningkatnya hormon paratiroid
dalam tubuh. Osteomalasia ini sering disebut softbone atau tulang lunak.
BAB III
PEMBAHASAN
OSTEOPOROSIS
A. Pengertian.
Osteoporosis
adalah kondisi dimana terjadi peningkatan porositas dari tulang. Atau dengan
kata lain adalah sugresif dari masa tulang, sehingga memudahkan terjadinya patah
tulang (Albright JA, 1979).
Osteoporosis
adalah penyakit metabolik tulang yang memiliki penurunan matrix dan proses
mineralisasi yang normal tetapi massa atau densitas tulang berkurang
(Gallagher, 1999)
Osteoporosis
adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang
rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang
yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang.(Wikipedia.co.id)
Osteoporosis
merupakan penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang
rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan
meningkatnya fragilitas tulang sehingga tulang cenderung untuk mengalami
fraktur spontan atau akibat trauma minimal. (Consensus Development Conference,
1993).
Definisi
Osteoporosis lain yaitu menurut WHO adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang,
dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan resiko terjadinya fraktur
tulang. Atas dasar definisi dari WHO ini maka osteoporosis diukur densitas
massa tulang dengan ditemukan nilai t-score yang kurang dari – 2,5. Sedangkan
dikatakan normal nilai T-score > [-]1 dan
Osteopenia apabila T-score antara
[-]1 - [-] 2,5. Dan dikatakan osteoporosis apabila nilai Z-score
< 2.
Bagian
tulang yang umumnya diserang adalah (Djoko Roeshadi, 2001):
1. Pada
tulang radius distal
2. Pada
tulang vertebrae
3. Pada
tulang kollum femur / pelvis
B. Klasifikasi
1. Osteoporosis primer
Osteoporosis
primer sering menyerang wanita paska menopause dan juga pada pria usia lanjut
dengan penyebab yang belum diketahui.
2. Osteoporosis sekunder
Sedangkan
osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan:
Ø Cushing's disease
Ø Hyperthyroidism
Ø Hyperparathyroidism
Ø Hypogonadism
Ø Kelainan hepar
Ø Kegagalan ginjal kronis
Ø Kurang gerak
Ø Kebiasaan minum alkohol
Ø Pemakai obat-obatan/corticosteroid
Ø Kelebihan kafein
Ø Merokok
3. Osteoporosis anak
Osteoporosis
pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis.
C. Etiologi.
a) Osteoporosis
postmenopausal (Primer) terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada
wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun,
tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita
memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita
kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita
kulit hitam.
b) Osteoporosis senilis
(sekunder) terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang
yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih
sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopausal.Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh
obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
c) Osteoporosis juvenil
idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal
ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi
hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang
jelas dari rapuhnya tulang.
D. Faktor Resiko
ü Faktor resiko yang tidak dapat diubah :
a) Usia, lebih sering terjadi
pada lansia.
b) Jenis kelamin, tiga kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Perbedaan ini mungkin disebabkan
oleh factor hormonal dan rangka tulang yang lebih kecil.
c) Ras, kulit putih mempunyai
risiko paling tinggi.
d) Riwayat
keluarga/keturunan, pada keluarga yang mempunyai riwayat osteoporosis,
anak-anak yang dilahirkan juga cenderung mempunyai penyakit yang sama.
e) Bentuk tubuh, adanya
kerangka tubuh yang lemah dan scoliosis vertebramenyebabkan penyakit ini.
Keadaan ini terutam trejadi pada wanita antara usia 50-60tahundengan densitas
tulang yang rendah dan diatas usia 70tahun dengan BMI yang rendah.
ü Factor risiko yang dapat diubah :
a) Merokok.
b) Defisisensi vitamin dan
gizi (antara lain protein), kandungan garam pada makanan, peminum alcohol dan
kopi yang berat. Nikotin dalam rokok menyebabkan melemahnya daya serap sel
terhadap kalsiumdari darah ke tulang sehingga pembentukan tulang oleh
osteoblast menjadi melemah. Mengkonsumsi kopi lebih dari 3 cangkir perhari
menyebabkan tubuh selalu ingin berkemih. Keadaan tersebut menyebabkan banyak
kalsium terbuang bersama air kencing.
c) Gaya hidup, aktivitas
fisik yang kurang dan imobilisasi dengan penurunan penyangga berat badan
merupakan stimulus penting bagi resorspi tulang. Beban fisik yang terintegrasi
merupakan penentu dari puncak massa tulang.
d) Gangguan makan (anoreksia
nervosa)
e) Menopause dini, menurunnya
kadar estrogen menyebabkan resorpsi tulang menjadi lebih cepat sehingga akan
terjadi penurunan massa tulang yang banyak.
f) Penggunaan obat-obatan
tertentu seperti diuretic, glukokortikoid, antikonvulsan, hormone tiroid
berlebihan, dan kortikosteroid.
E. Manifestasi klinis.
a) Nyeri tulang akut.
ü Nyeri terutama terasa pada
tulang belakang, nyeri dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri
timbul mendadak.
ü Nyeri berkurang pada saat
beristirahat di tempat tidur.
ü Nyeri ringan pada saat
bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan aktivitas.
b) Deformitas tulang.
ü Dapat terjadi fraktur
traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan
medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
ü Gambaran klinis sebelum
patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang
belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi
patah tulang, klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri
(nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan
tangan setelah jatuh.
ü Kecenderungan penurunan
tinggi badan
ü Postur tubuh kelihatan
memendek
Patofisiologi.
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang
diakibatkan oleh pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan
tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption).
Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan
mencegah transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi
dengan baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein.
Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan
penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin
pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons
osteoblast terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor
pertumbuhan, dan 1,25-dihydrozy vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor
parakrin lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan
tulang dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan
yang mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang,
penelitian mengenai gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh
steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid.
Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar
paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga
disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid.
Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar
hormon paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan
peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh
tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama
di setiap segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil,
tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium,
steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urine. Pada pasien dengan
pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat
mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli
renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini
belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihydroxyvitamin D dalam serum menurun
akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hydroxyvitamin D menjadi
1,25 dihydroxyvitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari
hipofisis, sehingga fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan
testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH, dan menurunkan produksi
estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan
sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling
memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning
terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal.
Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan
sampai 12 bulan seterlah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan
tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Risiko
osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih
tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang
lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/d) dalam jangka waktu pendek (< 6
bulan), atau dosis yang rendah (prednison < 7,5 mg/d) tetapi dalam
waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat
dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi. Secara umum, dosis yang rendah
lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang
benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian
5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi.
Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko
osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara
skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat digambarkan
sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan pembentukan tulang
dan kenaikan resorpsi tulang (Gambar 1). Terapi steroid secara kronik
menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik
secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan meningkatkan
ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid
seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan
resorpsi tulang.
Gambar 3. Patofisiologi osteoporosis
akibat steroid
F. Pencegahan
Pencegahan osteoporosi meliputi:
a) Mempertahankan atau
meningkatkan kepadatan tulang dengan mengonsumsi kalsium yang cukup.
Mengkonsumsi
kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan
tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan
vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah
baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Akan tetapi tablet
kalsium dan susu yang dikonsumsi setiap hari akhir - akhir ini menjadi
perdebatan sebagai pemicu terjadi osteoporosis, berhubungan dengan teori
osteoblast.
b) Melakukan olah raga dengan
beban.
Olah
raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan meningkatkan kepadatan
tulang. Berenang tidak meningkatkan kepadatan tulang.
c) Mengkonsumsi obat (untuk
beberapa orang tertentu).
Estrogen
membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering diminum
bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih estrogen paling efektif dimulai
dalam 4-6 tahun setelah menopause; tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun
setelah menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi
risiko patah tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru,
yang mungkin kurang efektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang,
tetapi tidak memiliki efek terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah
osteroporosis, bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau
bersamaan dengan terapi sulih hormon.
G. Pemeriksaan Penunjang.
a) Laboratorium
(Bone marker)
Pemeriksaan
ini untuk menilai kecepatan bone turnover.
Penilaian
bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas formasi tulang
dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas pembentukan/formasi tulang
lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini
memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi biokimia ini
dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.
v
Petanda
untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation)
-
Osteocalcin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi
membantu proses mineralisasi tulang.
-
Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang
berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.
v Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang
(bone resorption)
-
Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang
dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi
proses resorpsi/ penyerapan tulang.
-
CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang
spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin
dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum
pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya).
b)
Radiologi.
Pemeriksaan
radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral dilakukan untuk
mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk
mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena pemeriksaan ini
baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah terjadi penurunan densitas massa
tulang lebih dari 30%.
c)
Pemeriksaan bone densitometri (DEXA)
Pemeriksaan
densitometri tulang dilakukan menggunakan alat DEXA. Biasanya digunakan untuk
mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan
bawah distal dan seluruh tubuh. Secara rutin, untuk diagnosis
osteoporosis cukup diperiksa densitometri pada vertebra lumbal dan pangkal paha
(femur proksimal). Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan
pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu pada daerah lumbal untuk wanita yang
berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah pangkal paha (femur proksimal) pada
wanita yang berumur lebih dari 60 tahun dan pada pria.
Gambar
4. Alat pemeriksaan Densitometri
Untuk
mendiagnosis osteoporosis, digunakan T-score. T score yang kurang dari 1 SD
dibawah nilai rata-rata BMD normal memiliki risiko fraktur dua kali lipat.
Untuk osteoporosis sekunder, nilai Z-score < [-] 2 sangat penting dalam
penegakkan diagnosis.
H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah
meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita, terutama yang menderita
osteoporosis, harus mengonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang
mencukupi.
Wanita pasca menopause yang
menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan
progesteron) atau alendronat, yang bisa memperlambat atau menghentikan
penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis.
Alendronat berfungsi:
a) mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada wanita
pasca menopause
b) meningkatakan massa tulang di tulang belakang dan
tulang panggul
c) mengurangi angka kejadian patah tulang.
Supaya diserap dengan baik,
alendronat harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam
waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain.
Alendronat bisa mengiritasi
lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh
berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya. Obat ini tidak boleh diberikan
kepada orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit kerongkongan dan
lambung tertentu.
Kalsitonin dianjurkan untuk
diberikan kepada orang yang menderita patah tulang belakang yang disertai
nyeri. Obat ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan atau semprot
hidung.Tambahan fluorida bisa meningkatkan kepadatan tulang. Tetapi tulang bisa
mengalami kelainan dan menjadi rapuh, sehingga pemakaiannya tidak dianjurkan.
Pria yang menderita
osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika
hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam
jumlah yang mencukupi. Jika kadar testosteronnya rendah, bisa diberikan
testosteron.
Patah tulang karena
osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul biasanya di atasi dengan
tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan biasanya digips atau diperbaiki
dengan pembedahan. Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang
hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace dan
dilakukan terapi fisik.
I. Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan
tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis
sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis
dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur
colles pada pergelangan tangan.
J. Asuhan keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
a.
Anamnesis
ü Riwayat
kesehatan.
Anamnesis
memegang peranan penting pada evaluasi klien osteoporosis. Kadang keluhan utama
(missal fraktur kolum femoris pada osteoporosis). Factor lain yang perlu
diperhatikan adalah usia, jenis kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma
minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya
paparan sinar matahari, kurang asupan kalasium, fosfat dan vitamin D.
obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang, alkohol dan merokok merupakan
factor risiko osteoporosis. Penyakit lain yang juga harus ditanyakan adalah
ppenyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pancreas.
Riwayat haid , usia menarke dan menopause, penggunaan obat kontrasepsi, serta
riwayat keluarga yang menderita osteoporosis juga perlu dipertanyakan.
ü Pengkajian
psikososial.
Perlu mengkaji konsep diri pasien terutama citra diri
khususnya pada klien dengan kifosis berat. Klien mungkin membatasi interaksi
social karena perubahan yang tampak atau keterbatasan fisik, misalnya tidak
mampu duduk dikursi dan lain-lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga
diri rendah atau tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis
menyebabkan fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji perasaan cemas dan
takut pada pasien.
ü Pola
aktivitas sehari-hari.
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan
olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan dan
toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan dengan menurunnya
gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun, koordinasi menurun, dan
dexterity (kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus) menurun.
Adapun data subyektif dan obyektif yang bisa didapatkan dari
klien dengan osteoporosis adalah :
a) Data subyektif :
-
Klien
mengeluh nyeri tulang belakang
-
Klien
mengeluh kemampuan gerak cepat menurun
-
Klien
mengatakan membatasi pergaulannya karena perubahan yang tampak dan keterbatasan
gerak
-
Klien
mengatakan stamina badannya terasa menurun
-
Klien
mengeluh bengkak pada pergelangan tangannya setelah jatuh
-
Klien
mengatakan kurang mengerti tentang proses penyakitnya
-
Klien
mengatakan buang air besar susah dan keras
b) Data obyektif ;
-
tulang
belakang bungkuk
-
terdapat
penurunan tinggi badan
-
klien
tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)
-
terdapat
fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular
-
klien
tampak gelisah
-
klien
tampak meringis
b. Pemeriksaan fisik
ü B1
(breathing )
-
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga
dada dan tulang belakang
-
Palpasi : traktil fremitus seimbang
kanan dan kiri
-
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh
lapang paru
-
Auskultasi : pada usia lanjut biasanya
didapatkan suara ronki
ü B2
(blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1
detik sering terjadi keringat dingin dan pusing, adanya pulsus perifer memberi
makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek
obat
ü B3
(brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis,
pada kasus yang lebih parah klien dapat mengeluh pusing dan gelisah
ü B4
(Bladder)
Produksi urine dalam batas normal
dan tidak ada keluhan padasistem perkemihan
ü B5
(bowel)
Untuk kasus osteoporosis tidak ada
gangguan eleminasi namun perlu dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feses
ü B6
(Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah
kolumna vertebralis, klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis atau gibbus
(dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan,
deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang
terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
2. Diagnosa Keperawatan.
Masalah yang biasa terjadi pada
klien osteoporosis adalah sebagai berikut :
a) Nyeri akut yang berhubungan dengan
dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri
tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur
traumatic pada vertebra, klien tampak meringis
b) Hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) ,
nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh kemampuan
gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan
terdapat penurunan tinggi badan
c) Risiko cedera yang berhubungan
dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai
dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat
bungkuk
d) Kurang perawatan diri yang
berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh
nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan
badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada
vertebra dan menyebabkan kifosis angular
e) Gangguan citra diri yang berhubungan
dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh
penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan
tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)
f) Gangguan eleminasi alvi yang
berhubungan dengan kompresi saraf pencernaan ileus paralitik ditandai dengan
klien mengatakan buang air besar susah dan keras.
g) Kurang pengetahuan mengenai proses
osteoporosis dan program terapi yang berhubungan dengan kurang informasi, salah
persepsi ditandai dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya,
klien tampak gelisah.
3. Rencana Intervensi Keperawatan
a)
Nyeri
akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai
dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan
tangan, terdapat fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan criteria hasil klien dapat
mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat tenang dan istirahat, klien
dapat mandiri dalam penanganan dan perawatannya secara sederhana.
Intervensi:
1) Evaluasi keluhan
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk intensitas
(skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada tanda vital
dan emosi/prilaku)
R/
Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi.
2) Ajarkan klien tentang alternative
lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.
R/
alternative lain untuk mengatasi nyeri misalnya kompres hangat, mengatur posisi
untuk mencegah kesalahan posisi pada tulang/jaringan yang cedera.
3) Dorong menggunakan teknik manajemen
stress contoh relaksasi progresif, latihan nafasa dalam, imajinasi visualisasi,
sentuhan teraupetik.
R/
Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control dan dapat meningkatkan
kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin menetap untuk periode lebih
lama.
4) Kolaborasi dalam pemberian obat
sesuai indikasi.
R/
diberikan untuk menurunkan nyeri.
b)
Hambatan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan
skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien
mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas,
stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien mampu melakukan mobilitas fisik dengan criteria
hasil klien dapat meningkatkan mobilitas fisik, berpartisipasi dalam aktivitas
yang diinginkan/diperlukan, klien mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari
secara mandiri.
1) Kaji tingkat kemampuan klien yang
masih ada.
R/
sebagai dasar untuk memberikan alternative dan latihan gerak yang sesuai dengan
kemampuannya.
2) Rencanakan tentang pemberian program
latihan, ajarkan klien tentang aktivitas hidup sehari-hari yang dapat
dikerjakan.
R/
latihan akan meningkatkan pergerakan otot dan stimulasi sirkulasi darah.
3) Berikan dorongan untuk melakukan
aktivitas /perawatan diri secara bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan
sesuai kebutuhan.
R/
kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba,
memberikan bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam
melakukan aktivitas.
c) Risiko cedera yang berhubungan
dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai
dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat
bungkuk.
Tujuan : cedera tidak terjadi dengan
criteria hasil klien tidak jatuh dan tidak mengalami fraktur, klien dapat menghindari
aktivitas yang mengakibatkan fraktur.
1) Ciptakan lingkungan yang bebas dari
bahaya missal : tempatkan klien pada tempat tidur rendah, berikan penerangan
yang cukup, tempatkan klien pada ruangan yang mudah untuk diobservasi.
R/
menciptakan lingkungan yang aman mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
2) Ajarkan pada klien untuk berhenti
secara perlahan,tidak naik tangga dan mengangkat beban berat.
R/
pergerakan yang cepat akan memudahkan terjadinya fraktur kompresi vertebra pada
klien osteoporosis.
3) Observasi efek samping obat-obatan
yang digunakan.
R/
obat-obatan seperti diuretic, fenotiazin dapat menyebabkan pusing, mengantuk
dan lemah yang merupakan predisposisi klien untuk jatuh.
d) Kurang perawatan diri yang
berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh
nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan
badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada
vertebra dan menyebabkan kifosis angular.
Tujuan : setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan perawatan diri klien terpenuhi dengan criteria hasil
klien mampu mengungkapkan perasaan nyaman dan puas tentang kebersihan diri,
mampu mendemonstrasikan kebersihan optimal dalam perawatan yang diberikan.
1) Kaji kemampuan untuk berpartisipasi
dalam setiap aktifitas perawatan.
R/
untuk mengetahui sampai sejauh mana klien mampu melakukan perawatan diri secara
mandiri.
2) Beri perlengkapan adaptif jika
dibutuhkan misalnya kursi dibawah pancuran, tempat pegangan pada dinding kamar mandi,
alas kaki atau keset yang tidak licin, alat pencukur, semprotan pancuran dengan
tangkai pemegang.
R/
peralatan adaptif ini berfungsi untuk membantu klien sehingga dapat melakukan
perawatan diri secara mandiri dan optimal sesuai kemampuannya.
3) Rencanakan individu untuk belajar
dan mendemonstrasikan satu bagian aktivitas sebelum beralih ke tingkatan lebih
lanjut.
R/
bagi klien lansia, satu bagian aktivitas bisa sangat melelahkan sehingga perlu
waktu yang cukup untuk mendemonstrasikan satu bagian dari perawatan diri.
e) Gangguan citra diri yang berhubungan
dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh
penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan
tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace).
Tujuan : setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan adaptasi dan menyatakan
penerimaan pada situasi diri dengan criteria hasil klien mengenali dan menyatu
dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri negative,
mengungkapkan dan mendemonstrasikan peningkatan perasaan positif.
No comments:
Post a Comment