Friday, April 6, 2012

OSTEOPOROSIS


BAB I

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang.
Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, maka jumlah manusia lanjut usia di Republik ini akan bertambah banyak pula. Sehingga masalah penyakit akibat ketuaan akan semakin banyak kita hadapi. Salah satu penyakit yang harus diantisipasi adalah semakin banyaknya penyakit  osteoporosis dan patah tulang  yang diakibatkannya (Bayu Santoso, 2001).
Pada tahun 60 tahun ke depan akan terjadi perubahan demografik yang akan meningkatkan populasi warga usia lanjut dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena osteoporosis. Jumlah penderita patah tulang akibat osteoporosis yang pada tahun 1990 mencapai 1,7 juta akan menjadi 6,3 juta pada tahun 2050, kecuali jika ada tindakan pencegahan yang agresif (Joewono Soeroso, 2001).
Di Surabaya berdasarkan pengamatan Prof. Dr. Djoko Roeshadi pada penelitiannya tahun 1997, 26% diantara wanita pasca menoupouse mengalami osteoporosis.
80% osteoporosis terjadi pada wanita terutama yang sudah mencapai usia menoupouse. Osteopororis sebetulnnya adalah berkurangnya masa tulang yang kemudian diikuti dengan kerusakan arsitektur tulang, sehingga tulang mudah mengalami patah tulang (R.  Prayitno Prabowo, 2001).
Osteoporosis didefinisikan sebagai kelainan skeletal yang ditandai dengan adanya gangguan kekuatan tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar resikonya untuk mengalami patah tulang. (Edi Mutamsir, 2001).
Osteoporosis dibagi menjadi tiga yaitu osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik. Dalam penelitian ini  peneliti membatasi pada osteoporosis primer. Menurut Albright JA tahun 1979. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan merupakan kelompok yang terbesar. Ada dua faktor resiko yang menjadi penyebab utama terjadinya osteoporosis yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah.
Dengan mengetahui faktor resiko osteoporosis, kita dapat memperkirakan penyebab atau suatu hal yang dapat mempermudah terjadinya osteoporosis. Konsep ini sangat bermanfaat dalam upaya mengurangi angka kecacatan.

  1. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
  1. Bagaimana anatomi dan fisiologi Tulang?
  2. Apakah yang dimaksud Osteoporosis?
  3. Bagaimana penyebaran penyakit Diabetes Melitus?
  4. Apa sajakah klasifikasi, etiologi, factor resiko, manifestasi klinis penyakit Osteoporosis?
  5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Osteoporosis?
  6. Bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan medis dari penyakit Osteoporosis?
  7. Bagaimana komplikasi penyakit Osteoporosis?
  8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan Osteoporosis?

  1. Tujuan
1)      Tujuan Umum
Peserta diskusi diharapkan dapat menerapkan proses keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien dengan Osteoporosis.
2)      Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah:
a)      Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi tulang.
b)      Untuk mengetahui yang dimaksud Osteoporosis.
c)      Untuk mengetahui penyebaran penyakit Osteoporosis.
d)     Untuk mengetahui klasifikasi, etiologi, factor resiko, manifestasi klinis penyakit Osteoporosis?
e)      Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Osteoporosis?
f)       Untuk mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan medis dari penyakit Osteoporosis?
g)      Untuk mengetahui komplikasi penyakit Osteoporosis?
h)      Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Osteoporosis?

  1. Manfaat
1)      Mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit Osteoporosis.
2)      Meningkatkan pemahaman askep pada klien dengan Osteoporosis.
3)      Mampu memberikan ASKEP professional pada klien dengan Osteoporosis.
4)      Meningkatkan soft skill perawat dalam memenuhi kebutuhan dasar klien dengan Osteoporosis









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Anatomi dan fisiologi Tulang
1.  Anatomi & fisiologi Tulang
 Tulang terdiri atas matriks organic keras yang sangat diperkuat dengan endapan garam kalsium dan garam tulang. Matriks organik ini terdiri dari serat-serat kolagen dan medium gelatin homogen yang disebut substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat yang membantu mengatur pengendapan kalsium. Garam-garam tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat.  Rumus garam utamanya dikenal sebagai hidroksiapatit.
Tahap awal pembentukan tulang adalah sekresi kolagen (kolagen monomer) dan substansi dasar oleh osteoblas.  Kolagen monomer dengan cepat membentuk serat-serat kolagen dan jaringan akhir yang terbentuk adalah osteoid, yang akan menjadi tempat di mana kalsium mengendap.  Sewaktu osteoid terbentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid dan selanjutnya disebut osteosit. Osteoblas dapat dijumpai di permukaan luar tulang dan dalam rongga tulang.  Lawan dari osteoblas yang membentuk tulang adalah osteoklas yang menyerap tulang dan mengikisnya.
Pertumbuhan & Pembentukan Tulang
Pada pertumbuhan tulang normal, kecepatan pengendapan dan absorpsi tulang sama satu dengan lainnya, sehingga massa total dari tulang tetap konstan.  Biasanya, osteoklas terdapat dalam massa yang sedikit tetapi pekat, dan sekali massa osteoklas mulai terbentuk, maka osteoklas akan memakan tulang dalam waktu 3 minggu dan membentuk terowongan. Pada akhir waktu ini, osteoklas akan menghilang dan terowongan itu akan ditempati osteoblas.
Selanjutnya, mulai dibentuk tulang baru.Pengendapan tulang ini kemudian terus berlangsung selama beberapa bulan, dan tulang yang baru itu diletakkan pada lapisan berikutnya dari lingkaran konsentris (lamella) pada permukaan dalam rongga tersebut sampai pada akhirnya terowongan itu terisi semua.  Pengendapan ini berhenti setelah ada pembuluh darah yang mendarahi daerah tersebut.  Kanal yang dilewati pembuluh darah ini disebut kanal harvers.  Setiap daerah tempat terjadinya tulang baru dengan cara seperti ini disebut osteon.
Apabila mendapat beban yang berat, tulang akan menebal.  Selain itu, tulang akan terus melakukan regenerasi kalau sudah mulai perlu diganti.Kemampuan tulang melakukan regenerasi akibat adanya absorpsi-pengendapan tulang.Kecepatan absorpsi-pengendapan tulang yang berlangsung cepat, misalnya pada anak-anak, cenderung membuat tulang rapuh dibandingkan dengan absorpsi-pengendapan tulang yang lambat.  Jadi, pada anak-anak akan terjadi regenerasi yang cepat apabila ada kerusakan.
Tubuh manusia dewasa mengandung sekitar 1100gr kalsium, dan 99%nya berada dalam kerangka tubuh.  Kalsium dalam tulang terdiri Atas 2 tipe: cadangan yang dapat ditukar dengan cepat, dan cadangan kalsium yang jauh lebih besar ddengan proses penukaran yang lambat.  Ada 2 sistem homeostatik yang independen: sistem yang mengatur Ca2+ plasma yang tiap harinya bergerak keluar masuk dari cadangan yang mudah ditukar; dan sistem yang berperan dalam remodelling tulang melalui resropsi dan deposisi tulang yang konstan.
Ada 2 tipe kalsium: plasma dan bebas.  Kalsium plasma ada yang terikat pada protein (albumin dan globulin) dan ada juga yang berdifusi (berionisasi dan berkompleks dengan HCO3-, sitrat, dst).  Kalsium bebas yang terionisasi dalam cairan tubuh adalah perantara kedua dan diperlukan untuk pembekuan darah, kontraksi otot, dan fungsi saraf.  Penurunan kadar Ca2+ dapat menyebabkan tetani hipokalsemik yang ditandai dengan sejumlah besar spasme otot rangka, seperti yang terjadi pada laringospasme dimana jalan napas akan tersumbat dan menimbulkan asfiksia fatal.
Metabolisme kalsium pada manusia dewasa yang mengonsumsi 1000mg (25mmol) kalsium per hari. Terdapat 3 hormon yang mengatur metabolisme kalsium, yaitu: (1) 1,25-dihidroksikolikalsiferol yang merupakan hormon steroid yang dibentuk dari vitamin D.  Reseptor 1,25-dihidrokolekalsiferol ditemukan di banyak jaringan selain usus, ginjal, dan tulang.  Jaringan tersebut di antaranya adalah kulit, limfosit, monosit, otot rangka dan jantung, payudara, dan kelenjar hipofisis anterior.  Zat ini dapat mempermudah penyerapan Ca2+ dari usus, mempermudah reasorbsi Ca2+ di ginjal, meningkatkan aktivitas sintetik osteoblas, dan diperlukan untuk klasifikasi normal matriks.
(2) Hormon paratiroid (PTH) yang memobilisasi kalsium dari usus.  PTH bekerja langsung pada tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang, ekskresi fosfat dalam urine dan memobilisasi Ca2+. (3) Kalsitonin yang menurunkan kadar kalsium dengan cara menghambat resorpsi tulang, dan menghambat aktivitas osteoklas secara in vitro.
Ketiga hormon ini bekerja secara terpadu untuk mempetahankan kadar Ca2+ yang konstan dalam cairan tubuh.
Mineralisasi tulang merupakan proses penempatan kalsium ke dalam jaringan tulang. Sedangkan demineralisasi merupakan proses yang antagonis dengan mineralisasi yaitu proses pengambilan kalsium dari jaringan tulang.
Selama hidup, tulang secara terus-menerus diresobsi dan dibentuk tulang baru. Kalsium dalam tulang mengalami pergantian dengan kecepatan 100% per tahun pada bayi dan 18% per tahun pada orang dewasa. Remodeling tulang ini, sebagian bessar adalah proses local yang berlangsung di daerah yang terbatas oleh populasi sel yang disebut unit  remodeling tulang.
 Tulang mempertahankan bentuk eksternalnya selama masa pertumbuhan akibat proses remodeling konstan, disertai proses pengerasan tulang oleh osteoblas (mineralisasi) dan pada proses resoprsi oleh osteoklas (demineralisasi) yang terjadi pada permukaan dan di dalam tulang. Osteoklas membuat terowongan ke dalam tulang korteks yang diikuti oleh osteoblas, sedangkan remodeling tulang trabekular terjadi di permukaan trabekular. Pada kerangka manusia, setiap saat sekitar 5% tulang mengalami remodeling oleh sekitar 2 juta unit remodeling tulang. Kecepatan pembaruan untuk tulang adalah sekitar 4% per tahun untuk tulang kompak dan 20% per tahun untuk tulang trabekular.
Kelainan-kelainan pada Tulang
Terdapat beberapa kelainan yang dapat terjadi pada tulang, antara lain:  Osteopetrosis, osteoporosis, dan osteomalasia. Osteopetrosis merupakan penyakit tulang yang jarang sekali dijumpai dan sering kali parah. Hal ini dimana osteoklas mengalami gangguan dan tidak mampu menyerap tulang secara wajar sehingga osteoblas bekerja tanpa ada yang menyeimbagi. Akibatnya adalah pemadatan tulang, gangguan neurologik akibat penyempitan dan distorsi forame tempat lewatnya berbagai saraf, dan kelainan hematologik akibat dipenuhinya rongga sumsum.
Osteoporosis merupakan kelainan pada tulang yang disebabkan oleh kelebihan relatif fungsi osteoklas. Matriks tulang pada penyakit ini berkurang dan insidens fraktura meningkat. Artinya, keadaan tulang osteoporosis ini sangat rapuh karena osteoklas tidak diimbangi oleh osteoblas. Osteoporosis ini sering terjadi pada wanita dewasa terutama yang telah mnegalami menopaose karena tingkat estrogen sangat berpengaruh dalam pembetukan tulang atau osteoblas.
Osteomalasia merupakan kelainan pada tulang yang terjadi karena gagalnya osteoid pada tulang untuk mengeras karena kekurangan vitamin D dan Estrogen, selain itu juga penurunannya tingkat kalsium dan fosfat serta demineralisasi seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini juga terjadi karena meningkatnya hormon paratiroid dalam tubuh. Osteomalasia ini sering disebut softbone atau tulang lunak.




BAB III
PEMBAHASAN

OSTEOPOROSIS

A.    Pengertian.
Osteoporosis adalah kondisi dimana terjadi peningkatan porositas dari tulang. Atau dengan kata lain adalah sugresif dari masa tulang, sehingga memudahkan terjadinya patah tulang (Albright  JA, 1979).
Osteoporosis adalah penyakit metabolik tulang yang memiliki penurunan matrix dan proses mineralisasi yang normal tetapi massa atau densitas tulang berkurang (Gallagher, 1999)
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang.(Wikipedia.co.id)

Osteoporosis merupakan penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan meningkatnya fragilitas tulang sehingga tulang cenderung untuk mengalami fraktur spontan atau akibat trauma minimal. (Consensus Development Conference, 1993).
Definisi Osteoporosis lain yaitu menurut WHO adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang,  dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan resiko terjadinya fraktur tulang. Atas dasar definisi dari WHO ini maka osteoporosis diukur densitas massa tulang dengan ditemukan nilai t-score yang kurang dari – 2,5. Sedangkan dikatakan normal nilai   T-score  > [-]1 dan Osteopenia      apabila  T-score antara  [-]1  - [-] 2,5. Dan dikatakan  osteoporosis apabila nilai Z-score < 2.  
 
Bagian tulang yang umumnya diserang adalah (Djoko Roeshadi, 2001):
1.      Pada tulang radius distal
2.      Pada tulang vertebrae
3.      Pada tulang kollum femur / pelvis
B.     Klasifikasi
1.      Osteoporosis primer
Osteoporosis primer sering menyerang wanita paska menopause dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.
2.      Osteoporosis sekunder
Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan:
Ø  Cushing's disease
Ø  Hyperthyroidism
Ø  Hyperparathyroidism
Ø  Hypogonadism
Ø  Kelainan hepar
Ø  Kegagalan ginjal kronis
Ø  Kurang gerak
Ø  Kebiasaan minum alkohol
Ø  Pemakai obat-obatan/corticosteroid
Ø  Kelebihan kafein
Ø  Merokok
3.      Osteoporosis anak
Osteoporosis pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis.
C.    Etiologi.
a)      Osteoporosis postmenopausal (Primer) terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
b)      Osteoporosis senilis (sekunder) terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
c)      Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

D.    Faktor Resiko
ü  Faktor resiko yang tidak dapat diubah :
a)      Usia, lebih sering terjadi pada lansia.
b)      Jenis kelamin, tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh factor hormonal dan rangka tulang yang lebih kecil.
c)      Ras, kulit putih mempunyai risiko paling tinggi.
d)     Riwayat keluarga/keturunan, pada keluarga yang mempunyai riwayat osteoporosis, anak-anak yang dilahirkan juga cenderung mempunyai penyakit yang sama.
e)      Bentuk tubuh, adanya kerangka tubuh yang lemah dan scoliosis vertebramenyebabkan penyakit ini. Keadaan ini terutam trejadi pada wanita antara usia 50-60tahundengan densitas tulang yang rendah dan diatas usia 70tahun dengan BMI yang rendah.
ü  Factor risiko yang dapat diubah :
a)      Merokok.
b)      Defisisensi vitamin dan gizi (antara lain protein), kandungan garam pada makanan, peminum alcohol dan kopi yang berat. Nikotin dalam rokok menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsiumdari darah ke tulang sehingga pembentukan tulang oleh osteoblast menjadi melemah. Mengkonsumsi kopi lebih dari 3 cangkir perhari menyebabkan tubuh selalu ingin berkemih. Keadaan tersebut menyebabkan banyak kalsium terbuang bersama air kencing.
c)      Gaya hidup, aktivitas fisik yang kurang dan imobilisasi dengan penurunan penyangga berat badan merupakan stimulus penting bagi resorspi tulang. Beban fisik yang terintegrasi merupakan penentu dari puncak massa tulang.
d)     Gangguan makan (anoreksia nervosa)
e)      Menopause dini, menurunnya kadar estrogen menyebabkan resorpsi tulang menjadi lebih cepat sehingga akan terjadi penurunan massa tulang yang banyak.
f)       Penggunaan obat-obatan tertentu seperti diuretic, glukokortikoid, antikonvulsan, hormone tiroid berlebihan, dan kortikosteroid.

E.     Manifestasi klinis.
a)      Nyeri tulang akut.
ü  Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak.
ü  Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur.
ü  Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan aktivitas.
b)      Deformitas tulang.
ü  Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
ü  Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh.
ü  Kecenderungan penurunan tinggi badan
ü  Postur tubuh kelihatan memendek





Patofisiologi.
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-dihydrozy vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium, steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urine. Pada pasien dengan pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihydroxyvitamin D dalam serum menurun akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hydroxyvitamin D menjadi 1,25 dihydroxyvitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis, sehingga fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH, dan menurunkan produksi estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan seterlah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Risiko osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/d) dalam jangka waktu pendek (< 6 bulan), atau dosis yang rendah (prednison < 7,5 mg/d) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi. Secara umum, dosis yang rendah lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian 5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang (Gambar 1). Terapi steroid secara kronik menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan resorpsi tulang. 



Image








Gambar 3. Patofisiologi osteoporosis akibat steroid

F.     Pencegahan
Pencegahan osteoporosi meliputi:
a)      Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan mengonsumsi kalsium yang cukup.
Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Akan tetapi tablet kalsium dan susu yang dikonsumsi setiap hari akhir - akhir ini menjadi perdebatan sebagai pemicu terjadi osteoporosis, berhubungan dengan teori osteoblast.
b)      Melakukan olah raga dengan beban.
Olah raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan meningkatkan kepadatan tulang. Berenang tidak meningkatkan kepadatan tulang.
c)      Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu).
Estrogen membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause; tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi risiko patah tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memiliki efek terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah osteroporosis, bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau bersamaan dengan terapi sulih hormon.

G.    Pemeriksaan Penunjang.
a)      Laboratorium (Bone marker)
Pemeriksaan ini untuk menilai kecepatan bone turnover.
Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi biokimia ini dilakukan  melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.
v  Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation)
-          Osteocalcin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi membantu proses mineralisasi tulang.
-          Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.
v  Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption)
-          Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang.
-          CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya).
b)      Radiologi.
Pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral dilakukan untuk mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah terjadi penurunan densitas massa tulang lebih dari 30%.
c)      Pemeriksaan bone densitometri (DEXA)
Pemeriksaan densitometri tulang dilakukan menggunakan alat DEXA. Biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh.  Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis cukup diperiksa densitometri pada vertebra lumbal dan pangkal paha (femur proksimal). Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu pada daerah lumbal untuk wanita yang berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah pangkal paha (femur proksimal) pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun dan pada pria.
Gambar 4.  Alat pemeriksaan Densitometri
Untuk mendiagnosis osteoporosis, digunakan T-score. T score yang kurang dari 1 SD dibawah nilai rata-rata BMD normal memiliki risiko fraktur dua kali lipat. Untuk osteoporosis sekunder, nilai Z-score < [-] 2 sangat penting dalam penegakkan diagnosis.
H.    Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi.
Wanita pasca menopause yang menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat, yang bisa memperlambat atau menghentikan penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis.
Alendronat berfungsi:
a)      mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada wanita pasca menopause
b)      meningkatakan massa tulang di tulang belakang dan tulang panggul
c)      mengurangi angka kejadian patah tulang.
Supaya diserap dengan baik, alendronat harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain.
Alendronat bisa mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit kerongkongan dan lambung tertentu.
Kalsitonin dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang menderita patah tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan atau semprot hidung.Tambahan fluorida bisa meningkatkan kepadatan tulang. Tetapi tulang bisa mengalami kelainan dan menjadi rapuh, sehingga pemakaiannya tidak dianjurkan.
Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi. Jika kadar testosteronnya rendah, bisa diberikan testosteron.
Patah tulang karena osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul biasanya di atasi dengan tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan biasanya digips atau diperbaiki dengan pembedahan. Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace dan dilakukan terapi fisik.


I.       Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan.

J.      Asuhan keperawatan Teoritis

1.      Pengkajian
a.      Anamnesis
ü  Riwayat kesehatan.
Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi klien osteoporosis. Kadang keluhan utama (missal fraktur kolum femoris pada osteoporosis). Factor lain yang perlu diperhatikan adalah usia, jenis kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, kurang asupan kalasium, fosfat dan vitamin D. obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang, alkohol dan merokok merupakan factor risiko osteoporosis. Penyakit lain yang juga harus ditanyakan adalah ppenyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pancreas. Riwayat haid , usia menarke dan menopause, penggunaan obat kontrasepsi, serta riwayat keluarga yang menderita osteoporosis juga perlu dipertanyakan.
ü  Pengkajian psikososial.
Perlu mengkaji konsep diri pasien terutama citra diri khususnya pada klien dengan kifosis berat. Klien mungkin membatasi interaksi social karena perubahan yang tampak atau keterbatasan fisik, misalnya tidak mampu duduk dikursi dan lain-lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga diri rendah atau tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis menyebabkan fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji perasaan cemas dan takut pada pasien.
ü  Pola aktivitas sehari-hari.
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan dan toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan dengan menurunnya gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun, koordinasi menurun, dan dexterity (kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus) menurun.
Adapun data subyektif dan obyektif yang bisa didapatkan dari klien dengan osteoporosis adalah :
a)      Data subyektif :
-          Klien mengeluh nyeri tulang belakang
-          Klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun
-          Klien mengatakan membatasi pergaulannya karena perubahan yang tampak dan keterbatasan gerak
-          Klien mengatakan stamina badannya terasa menurun
-          Klien mengeluh bengkak pada pergelangan tangannya setelah jatuh
-          Klien mengatakan kurang mengerti tentang proses penyakitnya
-          Klien mengatakan buang air besar susah dan keras
b)      Data obyektif ;
-          tulang belakang bungkuk
-          terdapat penurunan tinggi badan
-          klien tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)
-          terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular
-          klien tampak gelisah
-          klien tampak meringis
b.      Pemeriksaan fisik
ü  B1 (breathing )
-          Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
-          Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
-          Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru
-          Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki
ü  B2 (blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan pusing, adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat
ü  B3 (brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien dapat mengeluh pusing dan gelisah
ü  B4 (Bladder)
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem perkemihan
ü  B5 (bowel)
Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses
ü  B6 (Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.

2.      Diagnosa Keperawatan.
Masalah yang biasa terjadi pada klien osteoporosis adalah sebagai berikut :
a)      Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis
b)      Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan
c)      Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk
d)     Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular
e)      Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)
f)       Gangguan eleminasi alvi yang berhubungan dengan kompresi saraf pencernaan ileus paralitik ditandai dengan klien mengatakan buang air besar susah dan keras.
g)      Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya, klien tampak gelisah.

3.      Rencana Intervensi Keperawatan
a)      Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan criteria hasil klien dapat mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat tenang dan istirahat, klien dapat mandiri dalam penanganan dan perawatannya secara sederhana.
Intervensi:
1)      Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk intensitas (skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada tanda vital dan emosi/prilaku)
R/ Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi.
2)      Ajarkan klien tentang alternative lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.
R/ alternative lain untuk mengatasi nyeri misalnya kompres hangat, mengatur posisi untuk mencegah kesalahan posisi pada tulang/jaringan yang cedera.
3)      Dorong menggunakan teknik manajemen stress contoh relaksasi progresif, latihan nafasa dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan teraupetik.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin menetap untuk periode lebih lama.
4)      Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi.
R/ diberikan untuk menurunkan nyeri.
b)     Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu melakukan mobilitas fisik dengan criteria hasil klien dapat meningkatkan mobilitas fisik, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/diperlukan, klien mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari secara mandiri.
1)      Kaji tingkat kemampuan klien yang masih ada.
R/ sebagai dasar untuk memberikan alternative dan latihan gerak yang sesuai dengan kemampuannya.
2)      Rencanakan tentang pemberian program latihan, ajarkan klien tentang aktivitas hidup sehari-hari yang dapat dikerjakan.
R/ latihan akan meningkatkan pergerakan otot dan stimulasi sirkulasi darah.
3)      Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas /perawatan diri secara bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan.
R/ kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba, memberikan bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan aktivitas.
c)      Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk.
Tujuan : cedera tidak terjadi dengan criteria hasil klien tidak jatuh dan tidak mengalami fraktur, klien dapat menghindari aktivitas yang mengakibatkan fraktur.
1)      Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya missal : tempatkan klien pada tempat tidur rendah, berikan penerangan yang cukup, tempatkan klien pada ruangan yang mudah untuk diobservasi.
R/ menciptakan lingkungan yang aman mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
2)      Ajarkan pada klien untuk berhenti secara perlahan,tidak naik tangga dan mengangkat beban berat.
R/ pergerakan yang cepat akan memudahkan terjadinya fraktur kompresi vertebra pada klien osteoporosis.
3)      Observasi efek samping obat-obatan yang digunakan.
R/ obat-obatan seperti diuretic, fenotiazin dapat menyebabkan pusing, mengantuk dan lemah yang merupakan predisposisi klien untuk jatuh.
d)     Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan atau gangguan gerak ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tulang belakang, kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas dan stamina menurun serta terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri klien terpenuhi dengan criteria hasil klien mampu mengungkapkan perasaan nyaman dan puas tentang kebersihan diri, mampu mendemonstrasikan kebersihan optimal dalam perawatan yang diberikan.
1)      Kaji kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas perawatan.
R/ untuk mengetahui sampai sejauh mana klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri.
2)      Beri perlengkapan adaptif jika dibutuhkan misalnya kursi dibawah pancuran, tempat pegangan pada dinding kamar mandi, alas kaki atau keset yang tidak licin, alat pencukur, semprotan pancuran dengan tangkai pemegang.
R/ peralatan adaptif ini berfungsi untuk membantu klien sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri dan optimal sesuai kemampuannya.
3)      Rencanakan individu untuk belajar dan mendemonstrasikan satu bagian aktivitas sebelum beralih ke tingkatan lebih lanjut.
R/ bagi klien lansia, satu bagian aktivitas bisa sangat melelahkan sehingga perlu waktu yang cukup untuk mendemonstrasikan satu bagian dari perawatan diri.
e)      Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace).
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri dengan criteria hasil klien mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri negative, mengungkapkan dan mendemonstrasikan peningkatan perasaan positif.

No comments:

Post a Comment