Oleh Ardyan pradana putra
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN.
Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan/dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian dari tim kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, yang karena seringnya keluhan itu kita temukan kadang kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien.
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi dengan pasien.
B. DEFINISI.
Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah “ suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan “, dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.
Pada tahun 1999, the Veteran’s Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.
Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak” yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya.McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada “.
C. TIPE NYERI.
Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif.
D. RESPON TERHADAP NYERI.
Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku. Untuk nyeri akut repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal), peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat dingin, respon perilakunya adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi, ketakutan dan disstress.
Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal, denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering, dan respon perilakunya berupa imobilisasi atau ketidak aktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat khususnya menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya.
E. HAMBATAN DALAM MEMBERIKAN MANAJEMEN NYERI YANG TEPAT.
Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri yaitu :
1) Ketakutan akan timbulnya adiksi.
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.
Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai hal itu, sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas.
2) Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri.
Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi percepatan dalam pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang profesional.
Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi, mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale , diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale yang paling sering digunakan, dimana pasien diminta untuk “merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti tidak da nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri, sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang.
F. MANAJEMEN NYERI.
Tindakan Farmakologis
Umumnya nyeri direduksi dengan cara pemberian terapi farmakologi. Nyeri ditanggulangi dengan cara memblokade transmisi stimulant nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri
Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah :
1. Analgesik Narkotik.
Opiat merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri yang sangat berat. Pengaruhnya sangat bervariasi tergantung fisiologi klien itu sendiri. Klien yang sangat muda dan sangat tua adalah yang sensitive terhadap pemberian analgesic ini dan hanya memerlukan dosisi yang sangat rendah untuk meringankan nyeri (Long,1996).
Narkotik dapat menurunkan tekanan darah dan menimbilkan depresi pada fungsi – fungsi vital lainya, termasuk depresi respiratori, bradikardi dan mengantuk. Sebagian dari reaksi ini menguntungkan contoh : hemoragi, sedikit penurunan tekanan darah sangan dibutuhkan. Namun pada pasien hipotensi akan menimbulkan syok akibat dosis yang berlebihan.
2. Analgesik Lokal
Analgesik bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung ke serabut saraf.
3. Analgesik yang dikontrol klien
Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari Infus yang diisi narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena. Pengandalian analgesik oleh klien adalah menekan sejumlah tombol agar masuk sejumlah narkotik. Cara ini memerlukan alat khusus untuk mencegah masuknya obat pada waktu yang belum ditentukan. Analgesik yang dikontrol klien ini penggunaanya lebih sedikit dibandingkan dengan cara yang standar, yaitu secara intramuscular. Penggunaan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri pasca bedah, nyeri kanker, krisis sel.
4. Obat – obat nonsteroid
Obat – obat nonsteroid antiinflamasi bekerja terutama terhadap penghambatan sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat – obat ini bersifat analgesic. Pada dosis tinggi, obat obat ini bersifat antiinflamatori sebagai tambahan dari khasiat analgesik.
Prinsip kerja obat ini adalah untuk mengendalikan nyeri sedang dari dismenorea, arthritis dan gangguan musculoskeletal yang lain, nyeri postoperative dan migraine. NSAID digunakan untuk menyembuhkan nyeri ringan sampai sedang.
Tindakan Non Farmakologis.
Saat ini marak dikembangkan terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, seperti:
Kompres hangat/dingin.
Latihan nafas dalam.
Musik.
Aromatherapi.
Imajinasi terbimbing.
Hipnosis.
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penaganan berdasarkan :
1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :
Stimulasi kulit.
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.
Stimulasi electric (TENS).
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
Akupuntur.
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
Plasebo.
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi :
Relaksasi.
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.
Latihan Relaksasi
Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.
Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.
Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.
Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.
Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan energi yang dapat membantu menyembuhkan diri anda.
Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan semua keluhan anda.
Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas dan relaks, turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung anda.
Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.
Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda mulai anda rasakan lebih baik.
Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang dan nyaman, lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan hayati, dan nikmati lebih mendalam.
Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan kapanpun anda menginginkannya.
Umpan balik biologis.
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
Hipnotis.
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
Distraksi.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur).
Guided Imagery (Imajinasi terbimbing).
Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
G. IMPLIKASI KEPERAWATAN.
1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan dikuasai oleh perawat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itu kita tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan non farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien.
Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda terhadap nyeri, sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu yang satu dengan yang lainnya.Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri yang dirasakan oleh pasien.
B. SARAN.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang Tak Retak”,demikian pula dengan makalah ini,tentu masih banyak kekurangan,maka dari pada itu,kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/manajemen-nyeri/
http://contoh-askep.blogspot.com/2008/09/manajemen-nyeri.html
http://perawattegal.wordpress.com/2009/08/29/manajemen-nyeri-akut-dan-nyeri-refrakter/
No comments:
Post a Comment