Saturday, October 1, 2011
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE)
A. Pendahuluan
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik yang frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis.
Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan.
Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik.Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis.
Pada refluks esofagitis terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa perubahan histologik dinding esofagus.
Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofagus tergantung dari berat ringannya penyakit dan terdiri dari beberapa tahap / fase.
B. Etiologi
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok, kehamilan.Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus.
C. Patofisiologi
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esophagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring. Secara ringkas dapat dilihat pada skema di bawah ini:
D. Gejala
Gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal, antara lain:
1. Rasa panas di dada (heart burn), terutama post prandial heart burn.
2. Nyeri dada substernal
3. Sendawa
4. Mual
5. Muntah
6. Cegukan
7. Disfagia
8. Odinofagia
9. Suara serak, dll.
Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD)
Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD)
Latar Belakang B-GELS atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pertolongan Pertama Pada Gawat Darurat (PPGD) adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian. Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Melalui artikel ini, saya ingin sedikit memperkenalkan PPGD kepada pembaca sekalian.
Prinsip Utama Prinsip Utama PPGD adalah menyelamatkan pasien dari kematian pada kondisi gawat darurat. Kemudian filosofi dalam PPGD adalah “Time Saving is Life Saving”, dalam artian bahwa seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar- benar efektif dan efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa dalam hitungan menit saja ( henti nafas selama 2-3 menit dapat mengakibatkan kematian)
Langkah-langkah Dasar Langkah-langkah dasar dalam PPGD dikenal dengan singkatan A-B-C-D ( Airway - Breathing - Circulation - Disability ). Keempat poin tersebut adalah poin-poin yang harus sangat diperhatikan dalam penanggulangan pasien dalam kondisi gawat darurat
***
Algortima Dasar PPGD:
1.Ada pasien tidak sadar
2.Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
3.Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
4.Cek kesadaran pasien
a.Lakukan dengan metode AVPU
b.A –> Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
c. V –> Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban ( pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien ), jika tidak merespon lanjut ke P
d.P –> Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital)
e.U –> Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive
5.Call for Help, mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans (118) dengan memberitahukan :
a.Jumlah korban
b.Kesadaran korban (sadar atau tidak sadar)
c. Perkiraan usia dan jenis kelamin ( ex: lelaki muda atau ibu tua)
d.Tempat terjadi kegawatan ( alamat yang lengkap)
6.Bebaskan lah korban dari pakaian di daerah dada ( buka kancing baju bagian atas agar dada terlihat
7.Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien
8.Cek apakah ada tanda-tanda berikut :
a.Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
b.Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
c. Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher
9.Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena disini tedapat syaraf-syaraf yg mengatur fungsi vital manusia (bernapas, denyut jantung)
a.Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift.
Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu (bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi seperti figure berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas korban.
b.Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.
10. Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien.
11. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel
Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut simetris ? Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian)
Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :
a.Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut
b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).
c.Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja
Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan :
a.Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan daerah diantara tulang scapula di punggung
b.Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik tangan ke arah belakang atas.
c.Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.
Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?
12. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernapasan pasien itu dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit)
13. Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap melakukan Look Listen and Feel
14. Jika frekuensi nafas < 12-20 kali permenit, berikan nafas bantuan (detail tentang nafas bantuan dibawah)
15. Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan (detail tentang nafas buatan dibawah)
16. Setelah diberikan nafas buatan maka lakukanlah pengecekan nadi carotis yang terletak di leher (ceklah dengan 2 jari, letakkan jari di tonjolan di tengah tenggorokan, lalu gerakkan lah jari ke samping, sampai terhambat oleh otot leher (sternocleidomastoideus), rasakanlah denyut nadi carotis selama 10 detik.
17. Jika tidak ada denyut nadi maka lakukanlah Pijat Jantung(figure D dan E , figure F pada bayi), diikuti dengan nafas buatan(figure A,B dan C),ulang sampai 6 kali siklus pijat jantung-napas buatan, yang diakhiri dengan pijat jantung
18. Cek lagi nadi karotis (dengan metode seperti diatas) selama 10 detik, jika teraba lakukan Look Listen and Feel (kembali ke poin 11) lagi. jika tidak teraba ulangi poin nomer 17.
19. Pijat jantung dan nafas buatan dihentikan jika a.Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi b.Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat) c.Bantuan sudah datang d.Teraba denyut nadi karotis
20. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien : a.Denyut nadi >100 kali per menit b.Telapak tangan basah dingin dan pucat c.Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi)
21. Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung
22. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang
23. Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara menekan atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
24. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look Listen and Feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.
***
Nafas Bantuan
Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk menormalkan frekuensi nafas pasien yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela setiap nafas spontan dia sehingga total nafas permenitnya menjadi normal (12 kali).
Prosedurnya :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai pembatas antara mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2
3. Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk menutup hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).
4. Mata memperhatikan dada pasien
5. Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong
6.Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien mengembang)
7.Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien menghembuskan nafas keluar (ekspirasi)
8.Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal
***
Nafas Buatan
Cara melakukan nafas buatan sama dengan nafas bantuan, bedanya nafas buatan diberikan pada pasien yang mengalami henti napas. Diberikan 2 kali efektif (dada mengembang )
***
Pijat Jantung
Pijat jantung adalah usaha untuk “memaksa” jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, pijat jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak teraba. Pijat jantung biasanya dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada algortima di atas)
Prosedur pijat jantung :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)
3. Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar
4.Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)
5.Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (seperti gambar kiri bawah)
6. Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal (seperti gambar kanan atas)
7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan menghitung dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
Satu Dua Tiga EmpatSATU Satu Dua Tiga Empat DUA Satu Dua Tiga Empat TIGA Satu Dua Tiga Empat EMPAT Satu Dua Tiga Empat LIMA Satu Dua Tiga Empat ENAM
8. Prinsip pijat jantung adalah :
a. Push deep
b. Push hard
c. Push fast d. Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
e. Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh diinterupsi)
***
Perlindungan Diri Penolong
Dalam melakukan pertolongan pada kondisi gawat darurat, penolong tetap harus senantiasa memastikan keselamatan dirinya sendiri, baik dari bahaya yang disebabkan karena lingkungan, maupun karena bahaya yang disebabkan karena pemberian pertolongan.
Poin-poin penting dalam perlindungan diri penolong :
1.Pastikan kondisi tempat memberi pertolongan tidak akan membahayakan penolong dan pasien
2.Minimasi kontak langsung dengan pasien, itulah mengapa dalam memberikan napas bantuan sedapat mungkin digunakan sapu tangan atau kain lainnya untuk melindungi penolong dari penyakit yang mungkin dapat ditularkan oleh korban
3.Selalu perhatikan kesehatan diri penolong, sebab pemberian pertolongan pertama adalah tindakan yang sangat memakan energi. Jika dilakukan dengan kondisi tidak fit, justru akan membahayakan penolong sendiri.
Penutup
Sekian tulisan ini penulis buat, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dapat di alamatkan ke email.etja@gmail.com Semoga dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan terutama untuk penulis sendiri
***
Acknowledgements
Gambar-gambar yang digunakan pada tulisan ini didapat dari situs : http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html http://www.toadspad.net/ems/graphics/cpr-head-tilt.jpg http://z.about.com/f/p/440/graphics/images/en/18158.jpg http://www.medtrng.com/cls2000a/fig11-1.gif
Penulis mengucapkan terimakasih atas segala ilmu yang diberikan oleh seluruh co-instructor PPGD FK UNAIR, bagian anaesthesiologi dan reanimasi RSUD Dr.Soetomo
Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat
Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat
Technorati Tags: gawat,darurat,jalan napas,airway
Pengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh
Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong
Gambar 1. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Tindakan
Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal
• Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)
• Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)
• Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)
Gambar dan penjelasan lihat dibawah.
Ingat! Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
• Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.
• Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
• Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)
• Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.
Gambar 2. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakan teknik cross finger
Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :
• Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi : chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
• Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.
• Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.
2. Membersihkan jalan nafas
Sapuan jari (finger sweep)
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.
Cara melakukannya :
• Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
• Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.
Gambar 3. Tehnik finger sweep
3. Mengatasi sumbatan nafas parsial
Dapat digunakan teknik manual thrust
• Abdominal thrust
• Chest thrust
• Back blow
Gambar dan penjelasan lihat di bawah!
Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :
• Gelisah oleh karena hipoksia
• Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
• Gerak dada dan perut paradoksal
• Sianosis
• Kelelahan dan meninggal
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS!
• Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas
• Beri oksigen bila ada 6 liter/menit
• Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan, posisi leher netral
• Nilai apakah ada suara nafas tambahan.
Gambar4. Pasien tidak sadar dengan posisi terlentang, perhatikan jalan nafasnya! Pangkal lidah tampak menutupi jalan nafas
Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan terganjal!
Chin Lift
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan
Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian angkat.
Head Tilt
Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.
Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke depan.
Gambar 5. tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.
Jaw thrust
Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas
Gambar 6 dan 7. manuver Jaw thrust dikerjakan oleh orang yang terlatih
Mengatasi sumbatan parsial/sebagian. Digunakan untuk membebaskan sumbatan dari benda padat.
Gambar 8. Tampak ada orang yang tersedak atau tersumbat jalan nafasnya
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)
Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.
Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma – abdomen).
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk
Caranya : penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)
Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.
Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri
Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.
Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi
Gambar 9. Abdominal Thrust dalam posisi berdiri
Back Blow (untuk bayi)
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)
Gambar 10. Back blow pada bayi
Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan
KONSEP DASAR SCREENING
KONSEP
DASAR SCREENING
A. PENGERTIAN
Screening adalah suatu strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu, atau suatu usaha secara aktif untuk mendeteksi atau mencari pendeerita penyakit tertentu yang tampak gejala atau tidak tampak dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu melalui suatu tes atau pemeriksaan yang secara singkat dan sederhana dapat memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka yang kemungkinan besar menderita, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis dan pengobatan.
Screening dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk mengidentifikasikan dan memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan beresiko terkena penyakit, dari mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut. Screening dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim untuk menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti.
Uji tapis bukan untuk mendiagnosis tapi untuk menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi yang diagnosisnya positif dilakukan pengobatan intensif agar tidak menular dengan harapan penuh dapat mengurangi angka mortalitas.
Screening pada umumnya bukan merupakan uji diagnostic dan oleh karenanya memerlukan penelitian follow-up yang cepat dan pengobatan yang tepat pula.
B. DASAR PEMIKIRAN ADANYA SKRINING
1. Yang diketahui dari gambaran spectrum penyakit hanya sebagian kecil saja sehingga dapat diumpamakan sebagai puncak gunung es sedangkan sebagian besar masih tersamar.
2. Diagnosis dini dan pengobatan secara tuntas memudahkan kesembuhan.
3. Biasanya penderita datang mencari mencari pengobatan setelah timbul gejala atau penyakit telah berada dlm stadium lanjut hingga pengobatan menjadi sulit atau bahkan tidak dapat disembuhkan lagi.
4. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.
C. TUJUAN
1. Deteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tdk khas terdapat pada orang yang tampak sehat,tapi mungkin menderita penyakit ( population risk)
2. Dengan ditemukannya penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara tuntas hingga mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun lingkungannya dan tidak menjadi sumber penularan hingga epidemic dapat dihindari
3. Mendapatkan penderita sedini mungkin untuk segera memperolleh pengobatan.
4. Mendidik masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin
D. SASARAN
Sasaran utama Uji tapis ata Skrining adalah :
Penderita penyakit KRONIS
1. Infeksi bakteri ( Lepra,TBC, dll)
2. Infeksi Virus ( hepatitis )
3. Penyakit non infeksi :
a. Hipertensi
b. Diabetus miletus
c. Penyakit jantung
d. Karsinoma serviks
e. Prostate
f. Glaukoma
4. Aids
E. PRINSIP PELAKSANAAN
Proses Uji tapis terdiri dari dua tahap :
1. Melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita penyakit dan bila hasil test negative maka dianggap orang tersebut tidak menderita penyakit.
2. Bila hasil positif maka dilakukan pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji tapis dapat berupa pemeriksaan laborat atau radiologist misalnya :
1. Pemeriksan gula darah
2. Pemeriksaan radiology untuk uji tapis TBC
Pemeriksaan tersebut harus dapat dilakukan :
1. Dengan cepat dapat memilah sasaran utk periksan lebih lanjut
2. Tidak mahal
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa
F. MACAM SCREENING
1. Penyaringan Massal (Mass Screening)
Penyaringan yang melibatkan populasi secara keseluruhan.
Contoh: screening prakanker leher rahim dengan metode IVA pada 22.000 wanita
2. Penyaringan Multiple
Penyaringan yang dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik uji penyaringan pada saat yang sama.
Contoh: skrining pada penyakit aids
3. Penyaringan yg. Ditargetkan
Penyaringan yg dilakukan pada kelompok – kelompok yang terkena paparan yang spesifik.
Contoh : Screening pada pekerja pabrik yang terpapar dengan bahan Timbal.
4. Penyaringan Oportunistik
Penyaringan yang dilakukan hanya terbatas pada penderita – penderita yang berkonsultasi kepada praktisi kesehatan
Contoh: screening pada klien yang berkonsultasi kepada seorang dokter.
G. KRITERIA UNTUK MELAKSANAKAN SCREENING
1. Sifat Penyakit
- Serius
- Prevalensi tinggi pada tahap praklinik
- Periode yg panjang diantara tanda – tanda pertama sampai timbulnya penyakit
2. Uji Diagnostik
- Sensitif dan Spesifik
- Sederhana dan Murah
- Aman dan Dapat Diterima
- Reliable
- Fasilitas adekwat
3. Diagnosis dan Pengobatan
- Efektif dan dapat diterima
- Pengobatan g aman telah tersedia.
H. LOKASI SCREENING
Uji tapis dapat dilakukan di lapangan,rumah sakit umum,rumah sakit khusus,pusat pelayanan khusus dll :
1. Lapangan : Uji skrining TBC
2. RSU : Pap smear
3. RSK : Uji tapis glaikoma di RS mata
4. Yan Khu : RS jantung, RS kanker.
I. VALIDITAS TES UJI SKRINING
Agar hasil pengukuran dari Penyaringan/Screening itu Valid, maka harus diukur dengan menggunakan Sensitivitas & Spesifitas;
a. SENSITIVITAS
Adalah Proporsi dari orang – orang yang benar – benar sakit yang ada di dalam populasi yang disaring, yang diidentifikasi dengan menggunakan uji penyaringan sebagai penderita sakit.
b. SPESIFISITAS
Adalah proporsi dari orang – orang yang benar – benar sehat, yang juga diidentifikasi dengan menggunakan uji penyaringan sebagai individu sehat.
J. KRITERIA EVALUASI
Screening mengandalkan tes, tidak hanya satu tes, tetapi sederetan tes. Oleh karena itu, kegiatan screening hanya akan efektif bila tes dan pemeriksaan yang digunakan juga efektif. Dengan demikian, setiap tes memerlukan validitas dan reliabilitas yang kuat. Validitas tes ditunjukkan melalui seberapa baik tes secara aktual mengukur apa yang semestinya diukur. Jika ini adalah tes screening kolesterol, pertanyaannya adalah: dapatkah tes itu memberikan informasi yang cukup akurat sehingga individu dapat mengetahui tinggi atau rendahnya kadar kolesterolnya sekarang? Validitas ditentukan oleh sensitivitas dan spesifitas uji.
Reliabilitas didasarkan pada seberapa baik uji dilakukan pada waktu itu—dalam hal keterulangannya (repeatibility). Dapatkah uji memberikan hasil yang dapat dipercaya setiap kali digunakan dan dalam lokasi atau populasi yang berbeda?
Yield (hasil) merupakan istilah lain yang terkadang digunakan untuk menyebut tes screening. Yield adalah angka atau jumlah screening yang dapat dilakukan suatu tes dalam suatu periode waktu—jumlah penyakit yang dapat terdeteksi dalam proses screening. Validitas suatu uji dapat dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu yang diuji. Status penyakit, keparahan, tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan giz, kebugaran fisik, dan faktor lain yang mempengaruhi dan berdampak pada responden dan temuan tes.
a.Val iditas : merupakan tes awal baik untuk memberikan indikasi individu mana yg benar sakit dan mana yang tidak sakit. Dua komponen validitas adalah sensitivitas dan spesifitas
b. Reliabilitas : adalah bila tes yang dilakukan berulang ulang menunjukan hasil yang konsisten.
c. Yield : merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari uji tapis.
K. PERTIMBANGAN SCREENING
1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yg terungkap saat proses skrining dilakukan (obat yang potensial).
3. Harus tersedia akses kefasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan.
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali dengan keadaan awal dan lanjutnya yang dapat diidentifikasi.
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit.
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum.
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami termasuk fase regular dan perjalanan penyakit dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan ,prosedur dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan .diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi.
10. Screening jangan dijadikan kegiatan yang sesekali saja ,tetapi harus dilakukan dalam proses yang teratur dan berkelanjutan.
11. Alat yg digunakan
12. Waktu
13. Mendapat pengobatan
14. Alat untuk diagnosis
L. CARA TES SCREENING
Sebelum melakukan skrining terlebih deahulu harus ditentukan penyakit atau kondisi medis apa yang akan dicari pada skrining.
Contoh uji Skrining:
Pap smear yaitu tes screening kanker serviks
Pap smear dilakukan di ruang dokter dan hanya beberapa menit. Pertama anda berbaring di atas meja periksa dengan lutut ditekuk. Tumit anda akan diletakkan pada alat stirrups. Secara perlahan dokter akan memasukkan alat spekulum ke dalam vagina anda. Lalu dokter akan mengambil sampel sel serviks anda dan membuat apusan (smear) pada slide kaca untuk pemeriksaan mikroskopis.
Dokter akan mengirim slide ke laboratorium, dimana seorang cytotechnologist (orang yang terlatih untuk mendeteksi sel abnormal) akan memeriksanya. Teknisi ini bekerja dengan bantuan patologis (dokter yang ahli dalam bidang abnormalitas sel). Patologis bertanggung jawab untuk diagnosis akhir.
Pendekatan terbaru dengan menggunakan cairan untuk mentransfer sampel sel ke laboratorium. Dokter akan mengambil sel dengan cara yang sama, namun dokter akan mencuci alat dengan cairan khusus, yang dapat menyimpan sel untuk pemeriksaan nantinya. Ketika sampel sampai ke laboratorium, teknisi menyiapkan slide mikroskopik yang lebih bersih dan mudah diinterpretasikan dibanding slide yang disiapkan dengan metode tradisional.Umumnya dokter akan melakukan Pap smear selama pemeriksaan panggul (prosedur sederhana untuk memeriksa genital eksternal, uterus, ovarium, organ reproduksi lain dan rektum). Walaupun pemeriksaan panggul dapat mengetahui masalah reproduksi, hanya Pap smear yang dapat mendeteksi kanker serviks atau prakanker sejak dini.
Tugas komunitas
Disusun oleh :
Nama : Ardyan pradana
NPM : 010.01.1749
Kelas : III (unggulan)
Sekolah tinggi kesehatan mataram
ASKEP ARDS
BAB I
PEMBUKAAN
1.1 Latar Belakang
Dengan berubahnya kurikulum yang ada di Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Mataram, saat ini, mahasiswa dituntut untuk lebih aktif dalam setiap perkuliahan, khususnya pada mata kuliah Keperawatan Respirasi III. Oleh karena itu, program SCL (Student Center Learning) merupakan program yang sangat membangun mahasiswa untuk lebih aktif dan efektif dalam pembelajaran.
Pada makalah yang kami susun ini, kami akan membahas tentang Penyelesaian Kasus klien dengan Adult Respiratori Distress Syndrome (ARDS) dan bagaimana aplikasi keperawatan/asuhan keperawatan yang akan diberikan seorang perawat terhadap pasien, sehingga semua keluhan-keluhan yang pasien derita bisa teratasi dengan baik setelah diberikan asuhan keperawatan. Yang mana penyakit tersebut akan mengakibatkan terjadinya komplikasi apabila tidak segera ditangani.
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah istilah yang diterapkan untuk sindrom gagal napas hipoksemia akut tanpa hiperkapnea. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh T.J Petty pada tahun 1967.
ARDS adalah suatu kondisi yang ditandai oleh hipoksemia berat, dispnea dan infiltrasi pulmonari bilateral. ARDS menyebabkan penyakit restriktif yang sangat parah. ARDS pernah dikenal dengan banyak nama termasuk syok paru, paru-paru basah traumatik, sindrom kebocoran kapiler, post perpusi paru, atelektasis kongestif, dan insufisiensi pulmonalposraumatik. Sindrom ini tidak pernah timbul sebagai penyakit primer, tetapi sekunder akibat gangguan tubuh yang terjadi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami mengambil rumusan masalah :
1. Apa pengertian ARDS ?
2. Apa penyebab dan bagaimana proses penyakitnya ?
3. Apa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh ARDS ?
4. Bagaimana proses keperawatan pasien ARDS
1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah :
1. Memahami pengertian, penyebab, proses penyakit, dan ketrkaitannya dengan keperawatan Respirasi III.
2. Dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ARDS dengan baik dan benar.
1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah yang kami susun adalah :
1. Dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada kami dan mahasiswa lain dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien.
2. Memotifasi untuk terus mengembangkan kreatifitas yang dimiliki dalam bidang kesehatan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi
ARDS merupakan gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru. atau Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal ( Hudak, 1997 ).
ADRS merupakan keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru," ungkap Aryanto Suwondo, dr. Sp.PD(K), dari subbagian Pulmonologi Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta..
2.2 Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah ;
Sistemik :
• Syok karena beberapa penyebab
• Sepsis gram negative
• Hipotermia
• Hipertermia
• Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )
• Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )
• Eklampsia
• Luka bakar
Pulmonal :
• Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii )
• Trauma ( emboli lemak, kontusio paru )
• Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
• Pneumositis
Non-Pulmonal :
• Cedera kepala
• Peningkatan TIK
• Pascakardioversi
• Pankreatitis
• Uremia
2.3 Patofisiologi
Perubahan patofisiologis yang mengakibatkan ARDS secara khas diawali oleh trauma mayor pada tubuh, seringkali merupakan serangan fisik terhadap system tubuh ketimbang system pulmonary.perubahan patofisiologis berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS (Phipps, et al, 1995) :
1. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complemen cascade menjadi aktif, yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
2. Cairan, leukosit granular, sel-sel darah merah (SDM), makrofag, sel debris, dan protein bocor ke dalam ruang interstisial antarkapiler dan alveoli dan pada akhirnya ke dalam ruang alveolar.
3. Karena terdapatnya cairan dan debris dalam interstisium dan alveoi, maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida menurun, sehingga mengakibatkan rendahnya rasio ventilasi/perfusi dan hipoksemia.
4. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis respiratorik.
5. Sel-sel yang normalnya melapisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan, dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar.
PHATWAY
Timbul Serangan
Trauma endoteliun paru Kerusakan jaringan paru Trauma type II
dan epithelium alveolar Pneumocytes
Peningkatan permeabilitas Penurunan surfaktan
Edema Pulmonal Penurunan pengembangan paru Atelektasis
Alveoli Terendam Hipoksemia Abnormalitas
Ventilasi – Perfusi
Fibrosis
kematian
Faktor Resiko
1. Trauma langsung pada paru
Pneumoni virus,bakteri,fungal
Contusio paru
Aspirasi cairan lambung
Inhalasi asap berlebih
Inhalasi toksin
Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
Sepsis
Shock
DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
Pankreatitis
Uremia
Overdosis Obat
Idiophatic (tidak diketahui)
Bedah Cardiobaypass yang lama
Transfusi darah yang banyak
PIH (Pregnand Induced Hipertension)
Peningkatan TIK
Terapi radiasi
2.4 Manifestarsi Klinik
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah :
Penurunan kesadaran mental
Takikardi, takipnea
Dispnea dengan kesulitan bernafas
Terdapat retraksi interkosta
Sianosis
Hipoksemia
Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
2.5 Komplikasi
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
Defek difusi sedang
Hipoksemia selama latihan
Toksisitas oksigen
Sepsis
2.5 Penatalaksanaan Medis
Tujuan Terapi :
Support pernapasan
Mengobati penyebab jika mungkin
Mencegah komplikasi.
Terapi :
• Pasang jalan nafas yang adekuat * Pencegahan infeksi
• Ventilasi Mekanik * Dukungan nutrisi
• TEAP * Monitor system terhadap respon
• Pemantauan oksigenasi arteri * Perawatan kondisi dasar
• Cairan
• Farmakologi ( O2, Diuretik, A.B )
• Pemeliharaan jalan nafas
• Intubasi untuk pemasangan ETT
• Pemasangan Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk
mempertahankan keadekuatan level O2 darah.
• Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator
• Pengobatan tergantung klien dan proses penyakitnya :
Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
Antibiotik untuk mengatasi infeksi
Kortikosteroid dosis besar (kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan mempertahankan stabilitas membran paru.
2.6 Pemriksaan Penunjang
Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 )
Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi
Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
Pemeriksaan Rontgent Dada :
Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
Tes Fungsi paru :
Pe ↓ komplain paru dan volume paru
Pirau kanan-kiri meningkat
2.7 Asuhan Keperawatan
2.7.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan dari klien dengan ARDS harus dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan informasi yang dikumpulkan tanpa meningkatkan distress pernapasan klien.
Keadaan-keadaan berikut biasanya terjadi saat periode latent saat fungsi paru relatif masih terlihat normal (misalnya 12 – 24 jam setelah trauma/shock atau 5 – 10 hari setelah terjadinya sepsis) tapi secara berangsur-angsur memburuk sampai tahapan kegagalan pernafasan. Gejala fisik yang ditemukan amat bervariasi, tergantung daripada pada tahapan mana diagnosis dibuat.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas & istirahat
Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan
Insomnia
2. Sirkulasi
Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/bypass cardiopulmonary, fenomena embolik (darah, udara, lemak)
Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
Heart rate : takikardi biasa terjadi
Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi
Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal
Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
3. Integritas ego
Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian
Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
4. Makanan/cairan
Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea
Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan
Hilang/melemahnya bowel sounds
5. Neurosensori
Suby./Oby. : Gejala truma kepala
Kelambanan mental, disfungsi motorik
6. Respirasi
Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal diffuse
Kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”
Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting
Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.
Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronchial
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi
Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada
Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.
Sputum encer, berbusa
Pallor atau cyanosis
Penurunan kesadaran, confusion
7. Rasa aman
Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi darah, episode anaplastik
2.7.3 Study Diagnostik
Chest X-Ray
ABGs/Analisa gas darah
Pulmonary Function Test
Shunt Measurement (Qs/Qt)
Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)
Lactic Acid Lev
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi respirasi optimal dan oksigenasi
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi
3. Mempertahankan nutrisi adekuat untuk penyembuhan/membantu fungsi pernafasan
4. Memberikan support emosi kepada pasien dan keluarga
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognose, dan kebutuhan pengobatan
TUJUAN KEPERAWATAN
1. Bernafas spontan dengan tidal volume adekuat
2. Suara nafas bersih/membaik
3. Bebas sari terjadinya komplikasi
4. Memandang secara realistis terhadap situasi
5. Proses penyakit, prognosis dan therapi dapat dimengerti
2.7.2 Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuritik, ke-luaran cairan kompartemental.
4. Resiko tinggi kelebihan volome cairan berhubungan dengan edema pulmonal non Kardia.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung, edema, hipotensi.
6. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,pening katan sekresi,penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat atau kelelahan.
7. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
8. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.
2.7.3 Intervensi dan Rasional
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
Pasien bebas dari dispneu
Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Rencana Tindakan :
Independen :
Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R/: Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha
dalam bernafas
Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R/: Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
Catat karakteristik dari suara nafas
R/: Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas.
Catat karakteristik dari batuk.
R/: Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R/ : Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
R/: Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan infeksi paru
Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R/: Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif :
- Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R/: Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
- Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R/: Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan secret
- Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
R/: Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
- Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
R/: Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
Tujuan :
Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal
Bebas dari gejala distress pernafasan
Rencana Tindakan :
Independen :
Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
R/: Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing
R/: Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas.
Kaji adanya cyanosis
R/: Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
R/: Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
R/: Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif:
Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
R/: Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai
Berikan pencegahan IPPB
R/: Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
Review X-ray dada
R/: Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant
R/: Untuk mencegah ARDS
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuritik,
keluaran cairan kompartemental
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda tekanan darah, berat badan, urine output pada batas normal.
Rencana Tindakan :
Independen :
Monitor vital signs seperti tekanan darah, heart rate, denyut nadi (jumlah dan volume)
R/: Berkurangnya volume/keluarnya cairan dapat meningkatkan heart rate, menurunkan tekanan darah, dan volume denyut nadi menurun.
Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban membran mukosa dan karakter sputum
R/: Penurunan cardiac output mempengaruhi perfusi/fungsi cerebral. Deficit cairan dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, sekret kental.
Hitung intake, output dan balance cairan. Amati “insesible loss”
R/: Memberikan informasi tentang status cairan. Keseimbangan cairan negatif merupakan indikasi terjadinya deficit cairan.
Timbang berat badan setiap hari
R/: Perubahan yang drastis merupakan tanda penurunan total body water
Kolaboratif
Berikan cairan IV dengan observasi ketat
R/:Mempertahankan/memperbaiki volume sirkulasi dan tekanan osmotik. Meskipun cairan mengalami deficit, pemberian cairan IV dapat meningkatkan kongesti paru yang dapat merusak fungsi respirasi.
Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi
R/:Elektrolit khususnya pottasium dan sodium dapat berkurang sebagai efek therapi deuritik.
3. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
Tujuan :
Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara verbal
Mengakui dan mau mendiskusikan ketakutannya, rileks dan rasa cemasnya mulai berkurang
Mampu menanggulangi, mampu menggunakan sumber-sumber pendukung untuk memecahkan masalah yang dialaminya.
Rencana Tindakan
Independen:
Observasi peningkatan pernafasan, agitasi, kegelisahan dan kestabilan emosi.
R/: Hipoksemia dapat menyebabkan kecemasan.
Pertahankan lingkungan yang tenang dengan meminimalkan stimulasi. Usahakan perawatan dan prosedur tidak menggaggu waktu istirahat.
R/: Cemas berkurang oleh meningkatkan relaksasi dan pengawetan energi yang digunakan.
Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi.
R/: Memberi kesempatan untuk pasien untuk mengendalikan kecemasannya dan merasakan sendiri dari pengontrolannya.
Identifikasi persepsi pasien dari pengobatan yang dilakukan
R/: Menolong mengenali asal kecemasan/ketakutan yang dialami
Dorong pasien untuk mengekspresikan kecemasannya.
R/: Langkah awal dalam mengendalikan perasaan-perasaan yang teridentifikasi dan terekspresi.
Membantu menerima situsi dan hal tersebut harus ditanggulanginya.
R/: Menerima stress yang sedang dialami tanpa denial, bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.
Sediakan informasi tentang keadaan yang sedang dialaminya.
R/: Menolong pasien untuk menerima apa yang sedang terjadi dan dapat mengurangi kecemasan/ketakutan apa yang tidak diketahuinya. Penentraman hati yang palsu tidak menolong sebab tidak ada perawat maupun pasien tahu hasil akhir dari permasalahan itu.
Identifikasi tehnik pasien yang digunakan sebelumnya untuk menanggulangi rasa cemas.
R/: Kemampuan yang dimiliki pasien akan meningkatkan sistem pengontrolan terhadap kecemasannya
Kolaboratif
Memberikan sedative sesuai indikasi dan monitor efek yang merugikan.
R/: Mungkin dibutuhkan untuk menolong dalam mengontrol kecemasan dan meningkatkan istirahat. Bagaimanapun juga efek samping seperti depresi pernafasan mungkin batas atau kontraindikasi penggunaan.
4. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.
Tujuan :
Pasien dapat menerangkan hubungan antara proses penyakit dan terafi
Menjelaskan secara verbal diet, pengobatan dan cara beraktivitas
Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang membutuhkan perhatian medis
Memformulasikan rencana untuk follow –up
Rencana Tindakan :
Independen :
Berikan pembelajaran dari apa yang dibutuhkan pasien. Berikan informasi dengan jelas dan dimengerti. Kaji potensial untuk kerjasama dengan cara pengobatan di rumah. Meliputi hal yang dianjurkan.
R/: Penyembuhan dari gagal nafas mungkin memerlukan perhatian, konsentrasi dan energi untuk menerima informasi baru. Ini meliputi tentang proses penyakit yang akan menjadi berat atau yang sedang mengalami penyembuhan.
Sediakan informasi masalah penyebab dari penyakit yang sedang dialami pasien.
R/: ARDS adalah sebuah komplikasi dari penyakit lain, bukan merupakan diagnosa primer. Pasien sering bingung oleh perkembangan itu, dalam k esehatan sistem respirasi sebelumnya.
Instruksikan tindakan pencegahan, jika dibutuhkan. Diskusikan cara menghindari overexertion dan perlunya mempertahankan pola istirahat yang periodik. Hindari lingkungan yang dingin dan orang-orang terinfeksi.
R/: Pencegahan perlu dilakukan selama tahap penyembuhan. Hindari faktor yang disebabkan oleh lingkungan seperti merokok. Reaksi alergi atau infeksi yang mungkin terjadi untuk mencegah komplikasi berikutnya.
Sediakan informasi baik secara verbal atau tulisan mengenai pengobatan misalnya: tujuan, efek samping, cara pemberian , dosis dan kapan diberikan.
R/: Merupakan instruksi bagi pasien untuk keamanan pengobatan dan cara-cara pengobatan dapat diikutinya.
Kaji kembali konseling tentang nutrisi ; kebutuhan makanan tinggi kalori
R/: Pasien dengan masalah respirasi yang berat biasanya kehilangan berat-badan dan anoreksia sehingga kebutuhan nutrisi meningkat untuk penyembuhan.
Bimbing dalam melakukan aktivitas.
R/: Pasien harus menghindari kelelahan dan menyelingi waktu istirahat dengan aktivitas dengan tujuan meningkatkan stamina dan cegah hal yang membutuhkan oksigen yang banyak
Demonstrasikan teknik adaptasi pernafasan dan cara untuk menghemat energi selama aktivitas.
R/: Kondisi yang lemah mungkin membuat kesulitan untuk pasien mengatur aktivitas yang sederhana.
Diskusikan follow-up care misalnya kunjungan dokter, test fungsi sistem pernafasan dan tanda/gejala yang membutuhkan evaluasi/intervensi.
R/: Alasan mengerti dan butuh untuk follow up care sebaik dengan apa yang merupakan kebutuhan untuk meningkatkan partisipasi pasien dalam hal medis dan mungkin mempertinggi kerjasama dengan medis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ARDS merupakan gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.
ARDS atau Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal ( Hudak, 1997 ).
ADRS merupakan keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru," ungkap Aryanto Suwondo, dr. Sp.PD(K), dari subbagian Pulmonologi Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta..
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah ;
Sistemik
Pulmonal
Non-Pulmonal
DAFTAR PUSTAKA
Asih Niluh Gede Yasmin, S.Kep dan Effendy Christantie, S.Kep.2003. Keperawatan medikal bedah : Klien dengan gangguan system pernapasan. EGC. Jakarta
Brunner & Suddarth. Buku saku keperawatan medikal bedah. 2000. EGC. Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.
Asuhan keperawatan edema paru
PENDAHULUAN
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
A. DEFINSI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular.
B. ETIOLOGI
Secara umum penyebab edema paru adalah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan atau peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Faktor penyebab Oedema paru meliputi gangguan sistemik. Penyakit/gangguan yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler paru meliputi :
Gangguan Faal Paru
- Kerusakan pembuluh darah paru
- Edema paru neurogenik
- edema paru akibat peningkatan tekanan udara (barotrauma) misalnya di ketinggian.
Penyebab lainnya adalah
I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
1. Peningkatan tekanan kapiler paru :
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
3. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
III. Insufisiensi Limfatik :
Post Lung Transplant.
Lymphangitic Carcinomatosis.
Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah). Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.
Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium :
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus).
Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral).
Kranialisasi vaskuler
Hilus suram (batas tidak jelas)
Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
Gambar 1 : Edema Intesrtitial
Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru
Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3 : Bat’s Wing
Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan sebelumnya, contoh : emfisema).
Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya. Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
E. PENATALAKSANAAN
1) Posisi ½ duduk.
2) Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3) Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4) Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
5) Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
6) Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7) Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8) Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9) Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
10) Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11) Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
F. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
G. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda.
Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pengkajian
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan dan kelelahan.
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan :
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi untuk
g. Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
h. Beri bronkodilator
i. Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitoring produksi sekret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5 kali pernafasn dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT menggunakan resusitasi manual atau ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan
c. Oksigen lembab merngasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan nafas
f. Memfasilitasi pembuangan sekret
g. Memfasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama
h. Memfasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan ventilator tidak tepat
Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan :
a. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya perubahan ventilator
b. Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c. Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a. AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi O2 & CO2 darah
b. Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi
c. Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis penderita
d. Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran, asidosis, hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama pemasangan selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode yang tepat
Rencana Tindakan :
a. Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan dengan klien
b. Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c. Ajukan pertanyaan tertutup
d. Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas
Rasional
a. Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang sulit antara klien dan perawat
b. Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
c. Menghindari komunikasi tidak efektif
d. Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan :
a. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b. Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c. Pertahankan teknis steril selama penghisapan lendir
d. Ganti selang ventilator tiap 24 – 72 jam
e. Lakukan oral higiene
f. Palpasi sinus dan lihat membrana mukosa selama demam yang tidak diketahui sebabnya
g. Monitor tanda vital terhadap tanda infeksi
Rasional
a. Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak, bau lebih menyengat, warna berubah lebih gelap
b. Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
d. Mengurangai resiko infeksi nosokomial
e. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
f. Perubahan membrana mukosa dan adanya sinusitis mungkin menjadi indikasi adanya infeksi pernafasan
g. Infeksi dapat dilihat dari tanda umum/khusus organ
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Edema Paru terjadi akibat aliran cairan dari darah ke ruang intersisial melebihi aliran cairan kembali ke darah dan saluran limfe.
Edema Paru Kardiogenik Akut akibat Payah Jantung Kiri Akut atau Payah Jantung Khronik yang mendapatkan faktor presipitasi.
Edema Paru Kardiogenik Akut (Asma Kardiale) harus dibedakan dengan Edema Paru Nonkardiogenik dan Asma Bronkhiale.
Diagnosis penderita dengan Edema Paru Kardiogenik Akut meliputi a) diagnosis edema kardiogenik akut, b) diagnosis faktor presipitasi, c) diagnosis penyakit dasar jantungnya.
Pengobatan Edema Paru Kardiogenik Akut meliputi Morphine 2-5 mg titrasi intravena, Furosemid 40-60 mg intravena sebagai vasodilator digunakan Nitroprusside atau Nitrogliserin.
Dapat pula dipakai Prazosin atau Captopril. Obat inotropik yang dapat diberikan ialah Digitalis pada penderita yang belum pernah mendapat digitalis. Obat lain yang dapatdiberikan ialah gplongan simpatomimetik (Dopaminedan Dobutamine) dan golongan inhibitor phosphodiesterase (Amri-none, Milrinone, Enximone tan Piroximone).
Tindakan yang lain dapat membantu ialah oksigen, posisi duduk, rotating tourniquet, atau phlebotomy.
B. SARAN
Makalah ini kami susun sebagaimana hasil dari Tugas Persentasi yang diberikan oleh Dosen Pembimbing kami. Makalah ini belum begitu sempurna dan masih banyak kekurangannya, jadi Kritik dan Sarannya kami harapkan untuk melengkapi sekaligus sebagai pelajaran bagi kami dan pembaca yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non cardiogenic. In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular Medicine.
Stone JH. Pulmonary edema. In: Principle and Practice of Emergency Medicine. Scwartz GR, Safar P, Stone JH, Storey PB, Wagner DK (eds.)
A. Tinjauan Teoritis Kasus ( Patopsikologi ).
A. Tinjauan Teoritis Kasus ( Patopsikologi ).
Delirium adalah sindroma otak organik karena fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yang menghambat metabolisme otak.
(http://imidarussalam.blogspot.com/2009/03/askep-pada-pasien-delirium.html)
Delirium adalah keadaan yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih.
Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal, bukan suatu penyakit; dengan sejumlah gejala yang menunjukkan penurunan fungsi mental.
Sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf kesadaran, gangguan kognitif, gangguan persepsi, termasuk halusinasi & ilusi, khas adalah visual juga di pancaindera lain, dan gangguan perilaku, seperti agitasi.
Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut. Sedikitnya 10% dari pasien lanjut usia yang dirawat inap menderita delirium; 15-50% mengalami delirium sesaat pada masa perawatan rumah sakit. Delirium juga sering dijumpai pada panti asuhan. Bila delirium terjadi pada orang muda biasanya karena penggunaan obat atau penyakit yang berbahaya mengancam jiwanya.D elirium merupakan hasil dari kondisi medis fisiologis, intoksikasi atau putus asa, penggunaan obat-obatan, terpajan pada zat racun , atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Delirium dapat mempengaruh semua klien, tetapi sering terjadi pada orang yang berumur lebih dari 65 tahun yang dirawat karena memiliki gangguan medis umum atau masalah pembedahan. Biasanya, delirium menghilang dalam beberapa jam atau hari kecuali jika disertai demensia. Semakin cepat pokok masalah teridentifikasi, semakin cepat gejala ditangani dan delirium diatasi.
Gejalanya, klien menunjukkan gangguan perhatian yang ditunjukkan dengan menjadi mudah terdistraksi dan tidak mampu berfokus atau perhatiannya mudah berubah dari satu topik ke topik lain. Masalah dapat menjadi sangat serius sehingga orang tersebut tidak dapat dilibatkan dalam percakapan. Selain itu, terdapat perubahan besar dalam kognisi yang dimanifestasikan dengan disorientasi, terutama terhadap waktu dan tempat; gangguan ingatan, terutama ingatan terkini; gangguan bahasa, terutama tidak dapat menulis dan menamakan obyek- obyek.
Pembicaraan mungkin melantur dan membingungkan karena topik pembicaraan klien berpindah dengan cepat dari satu topik yang satu ke topik yang lain. Gangguan sensori, seperti salah penginterpretasian, ilusi, atau bahkan halusinasi, dapat terjadi.
Delirium sering disertai dengan gangguan perilaku psikomotor, seperti dari gerakan secara tiba- tiba, hiperaktif , gelisah, dan menarik atau meremas- remas baju. Aktivitas psikomotor dapat bervariasi sangat hiperaktif sampai kondisi letargi (kesadaran menurun) perlahan- lahan sepanjang hari. Keadaan emosional klien juga tidak dapat diterka karena keadaan emosionalnya berubah- ubah seperti apatis, ansietas, depresi, mudah tersinggung, marah, takut, euphoria. Seseorang yang menunjukkan gejala ini berisiko melukai diri sendiri dan mungkin juga melukai orang lain karena ketakutan yang berlebihan atau karena perubahan kondisi jiwa.
Mekanisme neurobiologis yang mendasari perkembangan delirium tidak dimengerti dengan baik. Patologi umum penyebab delirium terdiri dari intoksikasi dan putus obat, keracunan, infeksi sistemik dan infeksi intrakranial, gangguan metabolisme, gangguan neurologis, lesi kehidupan yang mendadak, beban sensori berlebihan(sensory overload) atau deprivasi sensori (sensory deprivasion) dan kekurangan tidur dapat juga menimbulkan delirium. Beberapa pengobatan yang umum diberikan (antiaritmia, antihistamin, anti hipertensi, psikotropik, antikolinergik, dan analgesik) dapat juga menimbulkan delirium.
Psikopatologi
Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkan sudah sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah otak, tumur otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya). Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya. Jika disebabkan oleh proses yang langsung menyerang otak , bila proses itu sembuh maka gejala-gejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang ditinggalkan gejala-gejala neurologik dan atau gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi. Bisa juga didapatkan adanya febris. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.
ETIOLOGI
Penyebab delirium:
1. Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
2. Efek toksik dari pengobatan
3. Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu
4. Infeksi akut disertai demam
5. Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
6. Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang dapat menekan otak.
7. Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
8. Kekurangan tiamin dan vitamin B12
9. Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan gangguan ingatan)
10. Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
11. Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
12. Stroke
TANDA DAN GEJALA
Delirium ditandai oleh kesulitan dalam:
1. Konsentrasi dan memfokus
2. Mempertahankan dan mengalihkan daya perhatian
3. Kesadaran naik turun
4. Disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
5. Halusinasi biasanya visual, kemudian yang lain
6. Bingung menghadapi tugas sehari-hari
7. Perubahan kepribadian dan afek
8. Pikiran menjadi kacau
9. Bicara ngawur
10. Disartria dan bicara cepat
11. Neologisma
12. Inkoheren ( tidak bisa memusatkan perhatian )
Gejala utama ialah kesadaran menurun. Kesadaran yang menurun ialah suatu keadaan dengan kemampuan persepsi perhatian dan pemikiran yan berkurang secara keseluruhan (secara kuantitatif).
Gejala umum delirium sebagai berikut :
1. Kurang respons terhadap rangsangan lingkungan
2. Disorientasi
3. Pemikiran tidak teratur
4. Pembicaraan melantur dan membingungkan
5. Ilusi atau halusinasi
6. insomnia atau mengantuk di siang hari
7. Keterampilan psikomotor terganggu
Gejala lainnya:
1. Rasa takut
2. Curiga
3. Mudah tersinggung
4. Agitatif
5. Hiperaktif
6. Siaga tinggi (hyperalert)
Atau sebaliknya bisa menjadi:
1. Pendiam
2. Menarik diri
3. Mengantuk
4. Banyak pasien yang berfluktuasi antara diam dan gelisah
5. Pola tidur dan makan terganggu
6. Gangguan kognitif, jadi daya mempertimbangkan dan tilik-diri terganggu
PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang masuk sudah dengan delirium dibandingkan dengan pasien yang menjadi delirium setelah di Rumah Sakit.
Beberapa penyebab delirium seperti hipoglikemia, intoxikasi, infeksi, faktor iatrogenik, toxisitas obat, gangguan keseimbangan elektrolit. Biasanya cepat membaik dengan pengobatan.
Beberapa penderita pada lanjut usia susah untuk diobati dan bisa melanjut jadi kronik.
TERAPI
Seorang klien delirium memerlukan intervensi medis yang tepat. Setelah klien stabil, beberapa terapi individual yang terbatas dan terapi kelompok dapat digunakan.
Terapi Individual
1. Tingkatkan orientasi ke lingkungan dengan mendiskusikan tentang apa yang sedang terjadi di tempat ini.
2. Validasi realitas dengan menginterpretasikan suara atau sesuatu di dalam lingkungan.
3. Kurangi prilaku agresif klien dan pertahanannya dengan mendorong klien untuk membicarakan kecemasan dan ketakutannya dan bantu klien untuk merasa bahwa ia dimengerti.
4. Pada saat delirium reda, bantu klien untuk berbicara tentang zat psikoaktif.
5. Mulai, jika mungkin, untuk membahas dan memberikan model peran untuk prilaku koping yang positif.
6. Bicarakan kepada kilen tentang rujukan dan konseling untuk isu-isu penggunaan dan penyalahgunaan zat.
Terapi Kelompok
Klien dapat berada di dalam kelompok, memulai kontak, dan mengenal orang lain hanya ketika delirium telah mereda.
1. Tingkatkan orientasi pada lingkungan.
2. Diskusikan keadaan di sini dan saat ini untuk periode waktu yang singkat.
3. Lengkapi dengan sosialisasi.
4. Dorong terapi mengenang, yang berfokus pada berbagi memori di masa lalu.
5. Bantu partisipan untuk meningkatkan harga diri.
6. Dorong klien untuk saling berbicara dengan klien yang lain.
Terapi diawali dengan memperbaiki kondisi penyakitnya dan menghilangkan faktor yang memberatkan seperti:
1. Menghentikan penggunaan obat
2. Obati infeksi
3. Suport pada pasien dan keluanga
4. Mengurangi dan menghentikan agitasi untuk pengamanan pasien
5. Cukupi cairan dan nutrisi
6. Vitamin yang dibutuhkan
7. Segala alat pengekang boleh digunakan tapi harus segera dilepas bila sudah membaik, alat infuse sesederhana mungkin, lingkungan diatur agar nyaman.
8. Obat:
1) Haloperidoi dosis rendah dulu 0,5 1 mg per os, IV atau IV
2) Risperidone0,5 3mg perostiap l2jam
3) Olanzapine 2,5 15 mg per os 1 x sehari
4) Lorazepam 0,5 1mg per Os atau parenteral (tak tersedia di Indonesia), Perlu diingat obat benzodiazepine mi bisa memperburuk delirium karena efek sedasinya.
PENGOBATAN
Pengobatan digunakan untuk menangani pokok penyebab terjadinya delirium pada klien, kondisi kesehatan terkini, dan gejala yang berhubungan dengan keadaan gelisah.
Berikan obat- obatan yang sesuai untuk membantu detoksifikasi, seperti:
1. Ansiolitik digunakan untuk mengobati gejala putus alkohol, opioid dan amfetamin.
2. Antidepresan trisiklik dapat digunakan untuk mengobati depresi.
3. Antipsikotik dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mengobati kecemasan atau gelisah. Haloperidol (Haldol) secara umum diberikan dalam dosis kecil jika klien khususnya menderita paranoid atau marah atau mengancam orang lain.
4. Vasodilator sering digunakan untuk meningkatkan sirkulasi otak dan meningkatkan kognisi.
Pengobatan untuk merangsang kerja neurotransmitter sedang diteliti.
Pengobatan tergantung kepada penyebabnya:
1. infeksi diatasi dengan antibiotic
2. demam diatasi dengan obat penurun panas
3. kelainan kadar garam dan mineral dalam darah diatasi dengan pengaturan kadar cairan dan garam dalam darah.
4. Untuk meringankan agitasi diberikan obat-obat benzodiazepin (misalnya diazepam, triazolam dan temazepam).
5. Obat anti-psikosa (misalnya haloperidol, tioridazin dan klorpromazin) biasanya diberikan hanya kepada penderita yang mengalami paranoid atau sangat ketakutan atau penderita yang tidak dapat ditenangkan dengan benzodiazepin.
6. Jika penyebabnya adalah alkohol, diberikan benzodiazepin sampai masa agitasi penderita hilang.
Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia.
Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.
Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain.
Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.
Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.
B. Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan.
1. Pengkajian
Identitas
Indentias klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
a. Keluhan Utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebabkan klien datang berobat (menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran menurun.
b. Predisposisi
Terdapat faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia, stroke. Penyakit parkinson, umur lanjut, gangguan sensorik, dan gangguan multipel.
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan diagnosis serta menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan struktur kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti.
Gejala tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya.
Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah otak, tumur otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).
c. Presipitasi
Faktor presipitasi termasuk penggunaan obat baru lebih dan 3 macam, infeksi, dehidrasi, imobilisasi, malagizi, dan pemakaian kateter buli-buli. Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko delirium, terutama pada pembedahan yang lama. Demikian pula pasien lanjut usia yang dirawat di bagian ICU beresiko lebih tinggi.
d. Pemeriksaan fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang menurun dan tidak mau makan.
e. Psikososial
1.Genogram Dari hasil penelitian ditemukan kembar monozigot memberi pengaruh lebih tinggi dari kembar dizigot .
2.Konsep diri
3. Gambaran diri, stressor yang menyebabkan berubahnya gambaran diri karena proses patologik penyakit.
4. Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu
5. Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidaksesuaian antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang ragu dimana individu tidak tahan dengan jelas perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai kemampuan yang jelas dan cukup.
6. Ideal diri, keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kemampuan yang ada.
7. Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
f. Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi. Konsep diri dibentuk oleh pola hubungan sosial khususnya dengan orang yang penting dalam kehidupan individu. Jika hubungan ini tidak sehat maka individu dalam kekosongan internal. Perkembangan hubungan sosial yang tidak adeguat menyebabkan kegagalan individu untuk belajar mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung memisahkan diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan dangkal dan tergantung.
g. Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksanakan ibadatnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
h. Status mental
a. Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu untuk merawat dirinya sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat di manifestasikan adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis, steriotipi.
d. Alam perasaan Klien nampak ketakutan dan putus asa.
e. Afek dan emosi.
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaan tersebut dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan afek yang digunakan klien untuk melindungi dirinya, karena afek yang telah berubah memampukan klien mengingkari dampak emosional yang menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon emosional klien mungkin tampak biar dan tidak sesuai karena datang dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen
i. Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurang kooperatif, kontak mata kurang.
j. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau lebih panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering ditemukan adalah halusinasi.
k. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern, tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.
l. Tingkat kesadaran
Kesadaran yang menurun, bingung. Disorientasi waktu, tempat dan orang.
m. Memori
Gangguan daya ingat yang baru saja terjadi )kejadian pada beberapa jam atau hari yang lampau) dan yang sudah lama berselang terjadi (kejadian beberapa tahun yang lalu).
n.Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
o. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan dalam penilaian atau keputusan.
1. Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur, klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah . Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kembali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan, klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit, karena putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin terganggu buang air kecilnya, kadang-kadang lebih sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.
2. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola koping mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara konstruktif merupakan faktor penyebab primer terbentuknya pola tingkah laku patologis. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan delirium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
3. Dampak masalah
Individu
Perilaku, klien mungkin mengabaikan atau mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti kebersihan diri misalnya tidak mau mandi, tidak mau menyisir atau mengganti pakaian.
Kesejahteraan dan konsep diri, klien merasa kehilangan harga diri, harga diri rendah, merasa tidak berarti, tidak berguna dan putus asa sehingga klien perlu diisolasi.
Kemandirian , klien kehilangan kemandirian dan hidup ketergantungan pada keluarga atau orang yang merawat cukup tinggi, sehingga menimbulkan stres fisik.
d. Pohon Masalah dan Data
Data
DATA PENYEBAB MASALAH
Data Subyektif :
klien kadang mendengar suara yang membisikan dirinya disetiap ada rangsangan (berupa suara atau bunyian yang keras) .
klien kadang merasa gelisah, disorientasi waktu, tempat dan orang.
Data Obyektif :
klien tampak gelisah, kadang berbicara sendiri,berteriak seolah-olah melihat sesuatu yang aneh.
Data Subyektif :
klien merasa kesulitan bicara
Klien mengalami penurunan penglihatan
Data Obyektif :
Klien sulit dalam mengekspresikan pikiran secara verbal.
Klien berbicara ngawur
Data Subyektif :
Klien tidak dapat mengatasi masalah secara adekuat
Klien mengalami gangguan tidur
Data Obyektif :
Klien kelihatan bingung dan linglung dalam menghadapi masalah
Data Subyektif :
Keluarga klien mengatakan klien selalu diam dan tidak pernah berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain.
Data Obyektif :
Klien tidak pernah berinteraksi dengan orang lain
Data subyektif :
- keluarga mengatakan klien tidak mampu melakukan perawatan diri ( mandi, berpakaian, makan)sendiri
Data obyektif :
- klien dibantu keluarga untuk melakukan perawatan diri perubahan sensori persepsi
penurunan sirkulasi ke otak, gangguan persepsi sensori
tingkat kontrol persepsi tak adekuat,gangguan persepsi sensori
Perubahan proses berpikir
kerusakan kognisi(perceptual). Gangguan sensori persepsi ( visual, auditori).
Kerusakan komunikasi verbal
Koping tidak efektif
Kerusakan interaksi sosial
Kurangnya perawatan diri
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan sensori persepsi ( visual, auditori) berhubungan dengan perubahan sensori persepsi.
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak.
3. Koping tidak efektif berhubungan dengan tingkat kontrol persepsi tak adekuat..
4. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan proses berpikir.
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan kognisi(perceptual).
B. Rencana Tindakan
1. Gangguan sensori persepsi ( visual, auditori) berhubungan dengan perubahan sensori persepsi.
Batasan karakteristik :
Disorientasi
Gangguan kognitif
Iritabilitas
Ketidakmampuan mengatasi masalah atau mengambil keputusan
Perilaku agresif
Tujuan jangka panjang:
Klien belajar untuk berfungsi secara normal dengan mengatasi stress yang berhubungan dengan waham, sensasi abnormal dan halusinasi.
Tujuan jangka pendek:
Klien mengembangkan metode untuk menangani stress yang terkait dengan pemikiran waham dan kesalahan persepsi.
INTERVENSI
1.Tentukan derajat gangguan kognitif klien dengan melakukan pengkajian status mental, fokuskan pada perubahan-perubahan dalam orientasi, memori, dan penilaian.
2.Berkomunikasi dengan jelas, sering, dan tentang topik atau pokok bahasan yang digulirkan satu per satu.
3.Masukkan komunikasi nonverbal ke dalam interaksi atau gunakan komunikasi nonverbal lebih sering jika memang merupakan cara dominan yang klien gunakan dalam berkomunikasi.
4.Bekerja sama dengan klien untuk mengidentifikasi stressor dan mengembangkan cara yang lebih efektif untuk mengatasi stressor yang tidak dapat dihindari.
5.Perkenalkan klien pada metode-metode relaksasi, misalnya pernapasan, relaksasi otot progresif, dan visualisasi.
RASIONAL:
1.Menyajikan sebuah landasan untuk mengevaluasi perilaku di masa depan.
2.Input yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi stress. Perawat tidak boleh membingungkan klien dengan memberi informasi yang berlebihan.
3.Komunikasi nonverbal dapat digunakkan jika klien mempunyai kerusakan kognitif yang signifikan atau merasa sangat takut berkomunikasi dengan orang lain.
4.Mengidentifikasi stressor, menyediakan cara untuk mengatasinya, dan cara-cara relaksasi memungkinkan klien terbebas dari kecemasan dan situasi yang menakutkan.
5.Penggunaan teknik relaksasi memampukan klien untuk mengurangi ansietas.
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak.
Batasan karakteristik :
Disorientasi waktu,tempat dan orang.
Kesulitan berbicara, aphasia, bicara gagap, penurunan penglihatan.
INTERVENSI:
1. Berkomunikasi dengan jelas, sering dan tentang topic atau pokok bahasan yang digulirkan satu per satu.
2. Perkenalkan klien pada metode-metode relaksasi, misalnya pernapasan, relaksasi otot progresif, dan visualisasi.
RASIONAL:
1. Input yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi stress. Perawat tidak boleh membingungkan klien dengan memberi informasi yang berlebihan.
2. Penggunaan teknik relaksasi memampukan klien untuk melancarkan peredaran darah.
3. Koping tidak efektif berhubungan dengan tingkat kontrol persepsi tak adekuat..
Batasan karakteristik:
Penyalahgunaan obat.
Konsentrasi buruk,nkelelahan.
Pemecahan masalah tak adekuat
Perubahan pola komunikasi
Kurang perilaku yang bertujuan langsung/resolusi masalah, termasuk ketidakmampuan untuk merawat dan kesulitan dalam mengorganisasikan informasi.
INTERVENSI:
1. Ajarkan, ulangi, berikan model peran dan kuatkan strategi yang digunakan untuk memberikan model peran dalam rangka membentuk perilaku koping yang positif.
2. Bicarakan kepada klien tentang rujukan dan konseling untuk isu-isu penggunaan dan penyalahgunaan zat.
3. Tingkatkan orientasi ke lingkungan
RASIONAL:
1.Klien yang memiliki gangguan kognitif, mereka mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dan memahami informasi.Oleh karena itu penguatan dan memberikan model peran merupakan strategi yang penting untuk memperoleh mekanisme koping yang positif.
2.Pengetahuan tentang zat psikoaktif yang digunakan dapat membantu mengantisipasi kebutuhan dan masalah yang mungkin muncul.
3.Dengan mendiskusikan tentang apa yang sedang terjadi di suatu tempat dan suatu waktu dapat membantu klien dalam mengidentifikasi masalah yang sedang terjadi.
4. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan proses berpikir.
Batasan kriteria :
- Mengungkapkan atau menunjukkan ketidakmampuan untuk menerima atau mengkomunikasikan rasa kepuasan, rasa memiliki, menyayangi, ketertarikan atau membagi pengalaman.
- Mengungkapkan / menunjukkan ketidaknyamanan dalam situasi sosial
- Menunjukkan penggunaan perilaku interaksi sosial tidak berhasil
- Keluarga melaporkan perubahan gaya hidup atau pola interaksi
Tujuan jangka panjang :
Klien dapat secara sukarela meluangkan waktu bersama klien lainnya dan perawat dalam aktivitas kelompok di unit rawat inap.
INTERVENSI
1. Ciptakan lingkungan terapeutik :
- Bina hubungan saling percaya ((menyapa klien dengan rama memanggil nama klien, jujur , tepat janji, empati dan menghargai).
- Tunjukkan perawat yang bertanggung jawab
- Tingkatkan kontak klien dengan lingkungan sosial secara bertahap
2. Perlihatkan penguatan positif pada klien.
Temani klien untuk memperlihatkan dukungan selama aktivitas kelompok yang mungkin merupakan hal yang sukar bagi klien.
3. Orientasikan klien pada waktu, tempat dan orang.
4. Berikan obat anti psikotik sesuai dengan program terapi.
RASIONAL
1.Lingkungan fisik dan psikososial yang terapeutik akan menstimulasi kemampuan klien terhadap kenyataan.
2. Hal ini akan membuat klien merasa menjadi orang yang berguna.
3. Kesadaran diri yang meningkat dalam hubungannya dengan lingkungan waktu, tempat dan orang.
4. Obat ini dipakai untuk mengendalikan psikosis dan mengurangi tanda-tanda agitasi
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan kognisi (perceptual).
Batasan kriteria :
Kemauan yang kurang untuk membersihkan tubuh, defekasi, berkemih dan kurang minat dalam berpakaian yang rapi.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan keinginan untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien mampu melakukan kegiatan hidup sehari- hari secara mandiri dan mendemonstrasikan keinginan untik melakukannya.
INTERVENSI
1. Dukung klien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat kemampuan kien.
2. Dukung kemandirian klien, tetapi beri bantuan klien saat kurang mampu melakukan beberapa kegiatan.
3. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri.
4. Perlihatkan secara konkrit, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut klien sulit untuk dilakukannya.
5. Pantau dan nilai aktivitas klien dalam mempersiapkan makanan dan aktivitas yang sesungguhnya.
6. Pantau asupan makanan dan minuman
7.Berikan dukungan adaptif, peralatan dan ruang yang sesuai untuk memanipulasi makanan dan perlengkapan makan.
8. Timbang berat badan klien setiap minggu.
RASIONAL
1. Keberhasilan menampilkan kemandirian dalam melakukan suatu aktivitas akan meningkatkan harga diri.
2. Kenyamanan dan keamanan klien merupakan prioritas dalam keperawatan.
3. Penguatan positif akan menignktakan harga diri dan mendukung terjadinya pengulangan perilaku yang diharapkan.
4. Karena berlaku pikiran yang konkrit, penjelasan harus diberikan sesuai tingkat pengetian yang nyata.
5. Partisipaasi dalam aktivitas perwatan diri akan meningkatkan harga diri dan mempertahankan tonus kelompok otot.
6. Tersedianya peralatan khusus meningkatkan pelaksanaan kegiatan mandi dan ke toilet.
7. Klien perlu mempertahankan perasaan diri yang positf.
8. Pakaian yang mudah digunakan memfasilitasi kemandirian dalam berpakain
Evaluasi
1. Dx 1
Klien dapat menyajikan sebuah landasan untuk mengevaluasi perilaku di masa depan.
Klien dapat berkomunikasi dengan jelas, sering, dan tentang topik atau pokok bahasan yang digulirkan satu per satu.
Klien berkomunikasi dengan menggunakan komunikasi non verbal.
Mengidentifikasi stressor dan mengembangkan cara yang lebih efektif untuk mengatasi stressor yang tidak dapat dihindari.
Teknik relaksasi memampukan klien untuk mengurangi ansietas.
2. Dx 2
1. Klien dapat berkomunikasi dengan jelas, sering, dan tentang topik atau pokok bahasan yang digulirkan satu per satu.
2. Teknik relaksasi memampukan klien untuk melancarkan peredaran darah.
3. Dx 3
1. Strategi yang di gunakan dapat membentuk model sikap yang positif
2. klien mengetahui tentang obat-obatan yang diberikan kepadanya.
3. klien dapat mengingat kembali masalah yang terjadi di lingkungan.
4. Dx 4
1. Terbina hubungan saling percaya antara perawat dan klien
2. Klien merasa dihargai, hal ini ditandai dengan sikap klien yang terlihat mulai bisa berinteraksi dengan non verbal.
3. Klien mulai bisa mengingat nama, tempat, dan waktu pada saat itu.
5. Dx 5
1. klien mampu melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan kemampuannya.
2. klien merasa aman dan nyaman berada di tempat perawatan.
Bab III.
Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Respon penderita terhadap kesulitan yang dihadapinya berbeda-beda; ada yang sangat tenang dan menarik diri, sedangkan yang lainnya menjadi hiperaktif dan mencoba melawan halusinasi maupun delusi yang dialaminya.
Delirium bisa berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari atau bahkan lebih lama lagi, tergantung kepada beratnya gejala dan lingkungan medis penderita.
Delirium sering bertambah parah pada malam hari (suatu fenomena yang dikenal sebagai matahari terbenam).
Pada akhirnya, penderita akan tidur gelisah dan bisa berkembang menjadi koma (tergantung kepada penyebabnya).
Oleh karena itu,pengobatan delirium tergantung pada penyebabnya dan peran keluarga dan orang di sekitar sangat di butuhkan untuk membantu mengurangi gejala dan mempercepat proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Santosa, budi.2005-2006. Panduan diagnosa Keperawatan nanda 2005-2006. Prima Medika: Jakarta
http://imidarussalam.blogspot.com/2009/03/askep-pada-pasien-delirium.htmlkter. All Rig
Powered by vBulletin® Version 3.6.8 Copyright ©2000 - 2009, Jelsoft Enterprises Ltd. SEO by vBSEO 3.2.0 Reserved
http: // www.indonesia.com/newreply.php
about:blank
http://nursecerdas.wordpress.com/2009/01/12/keperawatan-gerontik/
Subscribe to:
Posts (Atom)