Tuesday, August 2, 2011

Pemeriksaan Visus

BAB I
PENDAHULUAN

Teori Tiga Warna dalam Persepsi Warna
Banyak teori yang berbeda-beda telah diusulkan untuk menjelaskan fenomena penglihatan, tetapi mereka semuanya berdasarkan pada pengamatan yang sudah dikenal baik bahwa mata manusia dapat mendeteksi hampir semua gradasi warna bila cahaya monokromatik merah, hijau, dan biru dicampur dengan tepat dalam berbagai kombinasi.
Teori penting pertama mengenai penglihatan warna adalah dari Young, yang kemudian dikembangkan dan diberikan dasar eksperimental yang lebih banyak oleh Helmholtz. Oleh karena itu, teori ini dikenal sebagai teori Young-Helmhotz. Menurut teori ini, ada tiga jenis kerucut, yang masing-masing bereaksi secara maksimum terhadap warna yang berbeda.
Dengan berlalunya waktu, teori Young-Helmhotz telah diperluas, dan telah didapatkan lebih banyak keterangan terperinci. Sekarang ia diterima secara umum sebagai mekanisme penglihatan warna.

Kepekaan Spektrum dari Ketiga Jenis Kerucut
Berdasarkan tes-tes psikologis, kepekaan spektrum dari tiga jenis kerucutmanusia pada dasarnya sama seperti kurva absorpsi cahaya untuk tiga jenis pigmen yang ditemukan di dalam masing-masing kerucut. Kurva dapat menjelaskan dengan mudah hampir semua fenomena penglihatan warna.

Interpretasi Warna di dalam Sistem Saraf
Dapat dilihat bahwa cahaya monokromatik jingga dengan panjang gelombang580 milimikron merangsang kerucut mengarah ke suatu nilai rangsang sebesar kira-kira 99% dari puncak perangsangan pada panjang gelombang optimum, sedangkan ia merangsang kerucut hijau ke suatu nilai rangsang sebesar kira-kira 42 dan kerucut biru sama sekali tidak dirangsang. Jadi, rasio perangsangan dari ketiga jenis kerucut dalam hal ini adalah 99:42:0. Sistem saraf menafsirkan kelompok rasio ini sebagai sensasi jingga. Sebaliknya, suatu cahaya biru monokromatik dengan panjang gelombang 450 milimikronmerangsang kerucut merahke suatu nilai rangsang sebesar 0. kerucut hijau ke suatu nilai sebesar 0 dan kerucut biru ke suatu nilai sebesar 97. kelompok rasio ini-0:0:97- ditafsirkan oleh sistem saraf sebagai biru. Demikian pula, rasio 83:83:0 ditafsirkan sebagai kuning dan 31:67:36, sebagai hijau.

Persepsi Cahaya Putih
Perangsangan kerucut merah hijau, dan biru yang kira-kira sama kuatnya memberikan sensasi melihat warna putih. Meskipun demikian tidak ada panjang gelombang yang sesuai dengan putih. Sebaliknya, putih merupakan suatu kombinasi dari semua panjang gelombang spektrum tersebut. Lagi pula, sensasi putih dapat dicapai dengan merangsang retina dengan kombinasi yang tepat dari hanya tiga warna pilihan yang merangsang masing-masing jenis kerucut tersebut.

Buta Warna
Buta Warna Merah Hijau
Bila sekelompok kerucut penerima warna hilang dari mata, orang tersebut tidak dapat membedakan beberapa warna dari warna-warna lainnya. Jika kerucut merah hilang, cahaya dengan panjang gelombang 525 dan 625 milimikron hanya dapat merangsang kerucut yang peka terhadap warna hijau, sehingga rasio perangsangan berbagai kerucut tidak berubah ketika warna berubah seluruhnya dari spektrum hijau ke spektrum merah. Oleh karena itu, dalam batas-batas panjang gelombang ini, semua warna terlihat sama oleh orang yang “buta warna” ini.
Sebaliknya, jika kerucut yang peka terhadap w arna hijau hilang, warna-warna dari hijau sampai merah hanya merangsang kerucut peka-merah, dan orang tersebut hanya mengindera satu warna di dalam batas-batas ini. Oleh karena itu, bila seseorang kekurangan kerucut merah atau hijau, dikatakan bahwa ia buta warna “merah-hijau”.

Kelemahan Biru
Kadang-kadang seseorang menderita “kelemahan biru”, yang disebabkan oleh berkurang atau tidak adanya reseptor biru.

Kartu Tes Stilling dan Istihara
Suatu metode untuk menentukan buta warna dengan cepat didasarkan pada penggunaan kartu bintik-bintik. Kartu ini disusun dengan pencampuran bintik-bintik dari beberapa macam warna. Pada bagian atas kartu, orang normal membaca “74”. Sedangkan orang buta warna merah-hijau membaca “21”. Pada bagian bawah kartu, orang normal membaca “42”. Sedangkan orang buta merah membaca “2”, dan orang buta hijau membaca “4”.
Jika orang mempelajari kartu ini dan pada saat yang bersamaan mengamati kurva kepekaan spektrum berbagai kerucut, dengan mudah dapat dipahami bagaimana penekanan yang berlebihan dapat diberikan pada bintik dengan warna tertentu oleh penderita buta warna jika dibandingkan dengan orang normal.




























A. PEMERIKSAAN VISUS
Tujuan Belajar
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan visus pada model.

Alat-alat yang diperlukan
Kartu snellen

Hal-hal yang harus diperhatikan
1. Ruang pemeriksaan harus cukup cahaya
2. Biasakan memeriksa mata kanan terlebih dahulu
3. Gunakan kartu snellen sesuai dengan keadaan penderita (anak, dewasa, bisa membaca atau buta huruf)

Panduan Pelaksanaan Pemeriksaan Huruf
1. Berikan penjelasan pada penderita mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan
2. Meminta penderita duduk pada jarak lima atau enam dari pemeriksa
3. Apabila penderita berkacamata, mintalah untuk melepas kacamatanya
4. Meminta penderita untuk menutup satu matanya tanpa menekan bola mata
5. Meminta penderita untuk melihat ke depan dengan santai, tanpa melirik dan mengerutkan kelopak mata

Langkah-langkah Pemeriksaan Visus
1. Mintalah penderita untuk mengidentifikasi angka atau huruf atau simbol yang tertera pada optopip snellen, mulai dari atas sampai ke bawah.
2. Bilamana penderita hanya dapat mengenali sampai pada huruf-huruf baris berkode 20 meter misalnya, dan penderita ke kartu berjarak 5 m, maka visusnya 5/20 (jangan disingkat menjadi ¼). Kalau dari barisan itu ada beberapa yang salah sebut, tambahlah huruf lima (salah).
3. Bila huruf yang terbesar (berkode 60 m) tidak terbaca, dekatkan kartu pada penderita, atau sebaliknya. Misalnya dengan mendekatkan sampai 2 m baru bisa dikenali, maka tajam penglihatannya 2/60.
4. Bila tulisan besar tidak dapat dibaca, mintalah penderita untuk menghitung jari yang anda acungkan mulai dari 1 m, kemudian semakin mundurlah hingga jarak terjauh yang dapat dilihat penderita.
5. Bila penderita tidak dapat melihat jari anda dari jarak 1 m, lakukan pemeriksaan goyangan tangan. Menggoyangkan tangan di depan mata penderita dan meminta penderita mengatakan arah goyangannya vertikal atau horizontal.
6. Bila penderita tidak dapat melihat goyangan tangan, melakukan pemeriksaan depan lampu senter. Menyalakan lampu senter di depan mata penderita dan meminta penderita menyebutkan apakah senter menyala dan dari arah mana.
7. Menghitung jari, goyangan tangan, cahaya oleh mata normal dapat dikenal pada jarak berturut-turut 60 m, 300 m dan tak terhingga, maka tajam penglihatannya dituliskan 1/60, 1/300 atau 1/-.
8. Bila cahayapun tidak dikenal, maka tajam penglihatannya 0 atau tidak ada persepsi cahaya. Bila tajam penglihatan hanya persepsi cahaya saja, sebutkan juga apa masih dapat mengenal dari arah mana cahaya datang, dan sebutkan proyeksi cahaya baik bila dapat diperiksa dari semua arah.
9. Melakukan hal yang sama pada mata kiri.

B. TES PENDENGARAN
Tes Ritme
1. Membunyikan garputala frekuensi 512 Hz (dipetik dengan ujung jari atau kuku)
2. Meletakkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (posterior dari kanalis akustikus eksternus) sampai pasien tidak mendengar, kemudian cepat pindahkan ke depan kanalis akustikus eksternus pasien. Apabila pasien masih mendengar garpu tala di depan disebut rinne positif, bila tidak mendengar disebut rinne negatif.
3. Membunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, kemudian memancangkan pada planum mastoid, kemudian segera memindahkan ke depan kanalis akustikus eksternus, pasien ditanya mana yang lebih keras. Bila lebih keras di depan disebut rinne positif, bila lebih keras di belakang disebut rinne negatif.
4. Mencatat hasil tes
interpretasi
a. Normal : Rinne positif
b. Tuli konduksi : Rinne negatif
c. Tuli sensori neural : Rinne positif

Tes Weber
1. Membunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz.
2. Meletakkan tanggkainya tegak lurus di garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu atau pada gigi insisivus) dengan kedua kaki pada garis horizontal. Meminta pasien untuk menunjukkan telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Bila mendengar pada satu telinga disebut lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Bila kedua telinga tidak mendengar atau sama-sama mendengar berarti tidak ada lateralisasi.
3. Mencatat hasil tes.
interpretasi
a. Normal : Tidak ada lateralisasi.
b. Tuli konduksi : Mendengar lebih keras pada telinga yang sehat. Karena menilai kedua telinga sekaligus, maka kemungkinannya dapat lebih dari satu. Contoh lateralisasi ke kanan, dapat diinterpretasikan :
o Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
o Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
o Tuli sensori neural kiri, telinga kanan normal
o Tuli sensori neural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat
o Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri

Tes Schwabach
1. Membunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz.
2. Meletakkan tangkainya tegak lurus pada mastoid pemerikasa, bila pemeriksa sudah tidak mendengar, secepatnya garputala dipindahkan ke mastoid pasien. Bila pasien masih mendengar maka Schwabach memanjang, tetapi bila pasien tidak mendengar, terdapat dua kemungkinan yaitu Schwabach memendek atau normal.
3. Mengulangi tes dan membalik (pasien dulu baru ke pemeriksa). Membunyikan garputala 512 Hz kemudian meletakkan tegak lurus pada mastoid pasien, bila pasien sudah tidak mendengar maka secepatnya memindahkan garputala pada mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa tidak mendengar berarti sama-sama normal, bila pemeriksa masih mendengar berarti Schwabach pasien memendek.
4. Mencatat hasil tes.
a. Normal : Schwabach normal
b. Tuli konduksi : Schwabach memanjang
c. Tuli sensori neural : Schwabach memendek

C. TES KESEIMBANGAN
Pemeriksaan fungsi keseimbangan dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan sederhana yaitu :
1. Uji Romberg : Berdiri, lengan dilipat pada dada, mata ditutup, orang normal dapat berdiri lebih dari 30 detik.
2. Uji berjalan (Stepping test) berjalan di tempat 50 langkah bila tempat berubah melebihi jarak 1 m dan badan berputar lebih dari 30° berarti terdapat gangguan keseimbangan.
Pemeriksaan keseimbangan secara obyektif dapat dilakukan dengan :
1. Posturografi
Merupakan alat pemeriksaan keseimbangan yang dapat menilai secara obyektif dan kuantitatif kemampuan keseimbangan postural seseorang. Untuk mendapatkan gambaran yang benar tentang gangguan keseimbangan karena gangguan vestibuler maka input visual diganggu dengan menutup mata dan input proprioseptif dihilangkan dengan berdiri di atas alas tumpuan yang tidak rata.
2. Electronistagmography (ENG)
Berguna untuk memonitor gerakan bola mata. Prinsipnya sederhana yaitu bahwa kornea mata itu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya sama dengan muatan positif listrik atau magnit yang selalu mengimbas ke daerah sekitarnya. Begitu pula muatan positif kornea ini mengimbas kulit sekitar bola mata. Dengan meletakkan elektroda pada kulit kantus lateral mata kanan dan kiri, maka kekuatan muatan kornea mata kanan dan kiri dapat direkam. Rekaman muatan ini disalurkan pada sebuah galvanometer.







HASIL PRAKTIKUM
No Nama pemeriksaan Hasil
Kanan Kiri
1 Visus 20/ 20 20/ 20 (lebih jelas)
2 Rinne Normal Normal
3 Weber Lateralisasi kanan
4 Scwabach Normal Normal
5 Keseimbangan Normal

PEMBAHASAN
1. VISUS
Visus adalah sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah distandardisasi serta ukuran dari simbol yang bervariasi. Ini adalah pengukuran fungsi visual yang tersering digunakan dalam klinik. Istilah “visus 20/20” adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak dalam satuan kaki yang mana seseorang dapat membedakan sepasang benda. Satuan lain dalam meter dinyatakan sebagai visus 6/6.
Dua puluh kaki dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal (perbedaan dalam kekuatan optis yang dibutuhkan untuk memfokuskan jarak 20 kaki terhadap tak terhingga hanya 0.164 dioptri).
Untuk alasan tersebut, visus 20/20 dapat dianggap sebagai performa nominal untuk jarak penglihatan manusia; visus 20/40 dapat dianggap separuh dri tajam penglihatan jauh dan visus 20/10 adalah tajam penglihatan dua kali normal.
Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas tertinggi akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan penglihatan warna terbaik.
Ketajaman dan penglihatan warna sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi fisiologis yang berbeda dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan penglihatan warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur.(5)
Dari data diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pasien dapat mellihat dengan normal karena pasien dapat melihat dengan visus 20/20.

2. RINNE
Tujuan kita melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 cara kita melakukan tes Rinne, yaitu :
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tankainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garpu tala di depan meatus akustikus eksterna lebih keras daripada di belakang meatus akustikus eksterna (planum mastoid). Tes Rinne positif jika pasien mendengarnya lebih keras. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien mendengarnya lebih lemah.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang kita lakukan, yaitu :
Normal : Jika tes Rinne positif.
Tuli konduktif. : Jika tes Rinne negatif.
Tuli sensorineural : Jika tes Rinne positif.
Interpretasi tes Rinne dapat false Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif. Hal ini dapat terjadi manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap bunyi garpu tala karena telinga tersebut pendengarannya jauh lebih baik daripada telinga pasien yang kita periksa.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan garpu tala tidak tegak lurus, tangkai garpu tala mengenai rambut pasien dan kaki garpu tala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garpu tala saat kita menempatkan garpu tala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garpu tala sudah berhenti saat kita memindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksterna.
Dari praktikum tersebut kita dapat mengetahui bahwa pasien normal.

3. WEBER
Tujuan kita melakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien.
Cara kita melakukan tes Weber yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis median (dahi, verteks, dagu, atau gigi insisivus) dengan kedua kakinya berada pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras.
Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras pada 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga pasien sama-sama tidak mendengar atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :
Normal : Jika tidak ada lateralisasi.
Tuli konduktif : Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit.
Tuli sensorineural : Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Misalnya terjadi lateralisasi ke kanan maka ada 5 kemungkinan yang bisa terjadi pada telinga pasien, yaitu :
• Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri normal.
• Telinga kanan dan telinga kiri mengalami tuli konduktif tetapi telinga kanan lebih parah.
• Telinga kiri mengalami tuli sensorineural sedangkan telinga kanan normal.
• Telinga kiri dan telinga kanan mengalami tuli sensorineural tetapi telinga kiri lebih parah.
• Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri mengalami tuli sensorineural
Dan hasil yang kami peroleh adalah bahwa pasien mengalami lateralisasi kanan.

4. SCWABACH
Tujuan kita melakukan tes Schwabach adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara pemeriksa dengan pasien.
Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Setelah bunyinya tidak terdengar oleh pemeriksa, segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak lurus pada planum mastoid pasien.
Apabila pasien masih bisa mendengar bunyinya berarti Scwabach memanjang. Sebaliknya jika pasien juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek atau normal.
Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pasien. Setelah pasien tidak mendengarnya, segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Jika pemeriksa juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach normal. Sebaliknya jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu :
Normal : Schwabch normal.
Tuli konduktif : Schwabach memanjang.
Tuli sensorineural : Schwabach memendek.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saja terjadi. Misalnya tangkai garpu tala tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau pasien lambat memberikan isyarat tentang hilangnya bunyi.
Dari praktikum yang kami lakukan, kami dapat mengetahui bahwa pasien normal.

5. KESEIMBANGAN
Dari hasil yang kami peroleh dari pemeriksaan model,kami dapat mengetahui bahwa keseimbangan pasien adalah normal.

No comments:

Post a Comment