Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Pada keadaan sakit klien tidak dapat menggunakan toilet dan tidak memiliki program yang teratur, lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas.
Untuk menangani masalah eliminasi terutama pada defekasi perawat harus memahami dan mengerti proses eliminasi yang mana salah satunya dapat dilakukan dengan Enema.
Perawat memahami standar operasional pemberian enema, tujuan, manfaat, indikasi, dan kontraindikasi.
Definisi.
Enema adalah tindakan memasukkan cairan kedalam rectum dan kolon melalui lubang anus.
Tujuan.
Tindakan enema diberikan dengan tujuan untuk mengeluarkan feses dan flatus.
Manfaat.
Tindakan ini dapat digunakan sebagi:
1. Pertimbangan medis sebagai metoda pengosongan feces dengan segera dari kolon, seperti: tindakan pre operasi, konstipasi, toilet training pada akan-anak dengan encopresis.
2. Terapi alternative bidang kesehatan seperti merangsang kontraksi prenatal.
3. Rangsangan seksual.
Pada perkembangannya penggunaan enema saat ini jauh lebih spesifik dari masa awal keberadaannya.
LANDASAN TEORI
Pada bagian ini akan dijelaskan latar belakang, tujuan dan manfaat tindakan, indikasi dan kontra indikasi tindakan enema.
Latar belakang
Pada permulaannya tindakan enema dikenal dengan nama Clyster (abad ke 17 M) menggunakan clyster syringe yang terdiri dari tabung syrine, pipa anus dan batang pendorong. Clyster digunakan sejak abad ke 17 (atau sebelumnya) hingga abad ke 19, kemudian digantikan dengan syringe balon, bocks, dan kantong.
Pada awal era modern Francis Mauriceau dalam The Diseases of Women with Child mencatat para bidan memberikan enema pada wanita hamil menjelang melahirkan.
Pada abad ke 20, enema digunakan secara luas di negara tertentu seperti amerika serikat; saat itu enema merupakan ide yang sangat baik untuk cuci kolon pada kasus fever, menjelang partus dengan tujuan untuk mengurangi keluarnya feces saat partus. Beberapa kontroversi diperdebatkan penggunaan enema untuk mempercepat proses melahirkan dengan menstimulasi terjadinya kontrkasi, pada akhirnya enema dengan tujuan ini dilarang karena para obstetrik menggunakan oxytocin sebagai penggantinya selain dikarenakan para ibu hamil merasa tidak nyaman dengan tindakan enema ini.
Pada masa John Donne Elegy XVIII, pada masa itu kaum pria menyalahgunakan tindakan enema dengan melukai selaput dara pengantin wanita menggunakan clyster.
Clyster juga tercatat pada periode sado-masochistic, pada masa itu mereka menggunakan enema sebagai tindakan disipliner. Khususnya wanita dihukum menggunakan clyster berukuran besar untuk periode tertentu, sebagai contoh ditemukan dalam The Prussian Girl oleh P.N Dedeaux.
Clyster merupakan pengobatan yang banyak digemari oleh orang berada dan terhormat di dunia barat hingga abad ke 19.
William Laighton dari Portsmouth, New Hampshire merupakan orang pertama yang mendapat hak paten untuk kursi enema pada 8 agustus 1846.
Hingga kini berbagai inovasi bentuk enema dan jenis enema dibuat dengan tujuan untuk mempermudah dalam cara pemberian, faktor kenyamanan dan simpel.
Tujuan
Enema dilakukan untuk mengobati penyakit ringan seperti sakit perut, kembung; namun pada perkembangannya digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti telah diuraikan dalam sejarah dilakukannya tindakan ini. Pada akhirnya setelah ilmu pengetahuan medis berkembang dengan adanya penelitian dan ditemukannya berbagai peralatan medis, penggunaan enema saat ini jauh lebih spesifik dari masa awal keberadaannya.
Manfaat
• Merangsang gerakan usus besar, berbeda dengan laxative. Perbedaan utama terletak pada cara penggunaannya, laxative biasanya diberikan per oral sedangkan enema diberikan langsung ke rectum hingga kolon. Setelah seluruh dosis enema hingga ambang batas daya tampung rongga kolon diberikan, pasien akan buang air bersamaan dengan keluarnya cairan enema ke dalam bedpan atau di toilet. , larutan garam isotonik sangat sedikit mengiritasi rektum dan kolon, mempunyai konsentrasi gradien yang netral. Larutan ini tidak menarik elektrilit dari tubuh – seperti jika menggunakan air biasa – dan larutan ini tidak masuk ke membran kolon – seperti pada penggunaan phosphat. Dengan demikian larutan ini bisa digunakan untuk enema dengan waktu retensi yang lama, seperti melembutkan feses pada kasus fecal impaction.
• Membersihkan kolon bagian bawah (desenden) menjelang tindakan operasi seperti sigmoidoscopy atau colonoscopy. Untuk kenyamanan dan mengharapkan kecepatan proses tindakan enema dapat diberikan disposibel enema dengan konsentrasi lebih kental berbahan dasar air yg berisikan sodium phospat atau sodium bikarbonat.
• Sebagai jalan alternatif pemberian obat. Hal ini dilakukan bila pemberian obat per oral tidak memungkinkan, seperti pemberian antiemetik untuk mengurangi rasa mual, beberapa anti angiogenik lebih baik diberikan tanpa melalui saluran pencernaan , pemberian obat kanker, arthritis, pada orang lanjut usia yang telah mengalami penurunan fungsi organ pencernaan, menghilangkan iritable bowel syndrome menggunakan cayenne pepper untuk squelch iritasi pada kolon dan rectum dan untuk tujuan hidrasi.
• Pemberian obat topikal seperti kortikosteroid dan mesalazine yang digunakan untuk mengobati peradangan usus besar.
• Pemeriksaan radiologi seperti pemberian barium enema. Enema berisi barium sulphat , pembilasan dengan air atau saline dilakukan setelah selesai dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi normal dari kolon tanpa komplikasi berupa konstipasi akibat pemberian barium sulphat.
INDIKASI
1. Konstipasi
Konstipasi berhubungan dengan jalur pembuangan yang kecil, kering, kotoran yang keras, atau tidak lewatnya kotoran di usus untuk beberapa waktu. Ini terjadi karena pergerakan feses melalui usus besar lambat dimana reabsorbsi cairan terjadi di usus besar. Konstipasi berhubungan dengan pengosongan kotoran yang sulit dan meningkatnya usaha atau tegangan dari otot-otot volunter pada proses defekasi.
Ada banyak penyebab konstipasi :
1. Kebiasaan buang air besar (b.a.b) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan b.a.b yang tidak teratur. Refleks defekasi yagn normal dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini terkondisi menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi hilang.
Anak pada masa bermain biasa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buang air besar karena malu menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang sangat tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah membiasakan b.a.b teratur dalam kehidupan.
2. Penggunaan laxative yang berlebihan
Laxative sering digunakan untuk menghilangkan ketidakteraturan buang air besar. Penggunaan laxative yang berlebihan mempunyai efek yang sama dengan mengabaikan keinginan b.a.b – refleks pada proses defekasi yang alami dihambat. Kebiasaan pengguna laxative bahkan memerlukan dosis yang lebih besar dan kuat, sejak mereka mengalami efek yang semakin berkurang dengan penggunaan yang terus-menerus (toleransi obat).
3. Peningkatan stres psikologis
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan adanya periode pertukaran antara diare dan konstipasi.
4. Ketidaksesuaian diet
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses menghasilkan produks ampas sisa yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti; beras, telur dan daging segar bergerak lebih lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
5. Obat-obatan
Banyak obat-obatan dengan efek samping berupa konstipasi. Beberapa di antaranya seperti ; morfiin, codein, sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik, melambatkan pergerakan kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Penyebab lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang.
6. Latihan yang tidak cukup
Pada klien dengan masa rawat inap yang lama, otot secara umum akan melemah, termasuk otot abdomen, diafragma, dasar pelvik, yang digunakan pada proses defekasi. Kurangnya latihan secara tidak langsung dihubungkan dengan berkurangnya nafsu makan dan kemungkinan kurangnya jumlah serat yang penting untuk merangsang refleks pada proses defekasi.
7. Umur
Pada manula, otot-otot dan tonus spinkter semakin melemah turut berperan sebagai penyebab punurunan kemampuan defekasi.
8. Proses penyakit
Beberapa penyakit pada usus dapat menyebabkan konstipasi, beberapa di antaranya obstruksi usus, nyeri ketika defekasi berhubungan dengan hemorhoid, yang membuat orang menghindari defekasi; paralisis, yang menghambat kemampuan klien untuk buang air besar; terjadinya peradangan pelvik yang menghasilkan paralisis atau atoni pada usus.
Konstipasi bisa jadi beresiko pada klien, regangan ketika b.a.b dapat menyebabkan stres pada abdomen atau luka pada perineum (post operasi); Ruptur dapat terjadi jika tekanan saat defekasi cukup besar. Ditambah lagi peregangan sering bersamaan dengan tertahannya napas. Gerakan ini dapat menyebabkan masalah serius pada orang dengan sakit jantung, trauma otak, atau penyakit pada pernapasan. Tertahannya napas meningkatkan tekanan intra torakal dan intrakranial. Pada kondisi tertentu, tekanan ini dapat dikurangi jika seseorang mengeluarkan napas melalui mulut ketika mengejan/regangan terjadi. Bagaimanapun, menghindari regangan merupakan pencegahan yang terbaik.
2. Impaksi Feses (tertahannya feses)
Impaksi feses dapat didefenisikan sebagai suatu massa atau kumpulan yang mengeras, feses seperti dempul pada lipatan rektum. Impaksi terjadi pada retensi yang lama dan akumulasi dari bahan-bahan feses. Pada impaksi yang gawat feses terkumpul dan ada di dalam colon sigmoid. Impaksi feses ditandai dengan adanya diare dan kotoran yang tidak normal. Cairan merembes keluar feses sekeliling dari massa yang tertahan. Impaksi dapat juga dinilai dengan pemeriksaan digital pada rektum, selama impaksi massa yang mengeras sering juga dapat dipalpasi.
Diare yang bersama dengan konstipasi, termasuk gejala yang sering tetapi tidak ada keinginan untuk defekasi dan nyeri pada rektum. Hadirnya tanda-tanda umum dari terjadinya penyakit ; klien menjadi anoreksia, abdomen menjadi tegang dan bisa juga terjadi muntah.
Penyebab dari impaksi feses biasanya kebiasaan buang air besar yang jarang dan konstipasi. Obat-obat tertentu juga berperan serta pada impaksi. Barium digunakan pada pemeriksaan radiologi pada saluran gastrointestinal bagian atas dan bawah dapat menjadi faktor penyebab, sehingga setelah pemeriksaan ini hasil pengukuran diperoleh untuk memastikan pergerakan barium.
Pada orang yang lebih tua, faktor-faktor yang beragam dapat menyebabkan impaksi; asupan cairan yang kurang, diet yang kurang serat, rendahnya aktivitas, melemahnya tonus otot.
Pemeriksaan digital harus dilakukan dengan lembut dan hati-hati karena rangsangan pada nervus vagus di dinding rektum dapat memperlambat kerja jantung pasien.
3. Persiapan pre operasi
Biasanya pada semua tindakan operasi sebelumnya di lakukan enema. Anastesia umum (GA) dalam pembedahan bisa diberikan melalui enema dengan tujuan untuk mengurangi efek muntah selama dan setelah operasi, juga mencegah terjadinya aspirasi.
4. Untuk tindakan diagnostik misalnya pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi seperti colonoscopy, endoscopy, dll.
5. Pasien dengan melena
Kontra Indikasi
Irigasi kolon tidak boleh diberikan pada pasien dengan diverticulitis, ulcerative colitis, Crohn’s disease, post operasi, pasien dengan gangguan fungsi jantung atau gagal ginjal, keadaan patologi klinis pada rektum dan kolon seperti hemoroid bagian dalam atau hemoroid besar, tumor rektum dan kolon.
Tipe-tipe enema
Enema dapat diklasifikasikan ke dalam 4 golongan menurut cara kerjanya: cleansing (membersihkan), carminative (untuk mengobati flatulence), retensi (menahan), dan mengembalikan aliran.
Cleansing enema merangsang peristaltik dengan mengiritasi kolon dan rektum dan atau dengan meregangkan intestinal dengan memasuki volume cairan. Ada 2 cleansing enema yaitu high enema (huknah tinggi) dan low enema (huknah rendah). High enema diberikan untuk membersihkan kolon sebanyak mungkin, sering diberikan sekitar 1000ml larutan untuk orang dewasa, dan posisi klien berubah dari posisi lateral kiri ke posisi dorsal recumbent dan kemudian ke posisi lateral kanan selama pemberian ini agar cairan dapat turun ke usus besar. Cairan diberikan pada tekanan yang tinggi daripada low enema.; oleh karena itu wadah dari larutan digantung lebih tinggi. Cleansing enema paling efektif jika diberikan dalam waktu 5-10 menit.
Low enema diberikan hanya untuk membersihkan rektum dan kolon sigmoid. Sekitar 500ml larutan diberikan pada orang dewasa, klien dipertahankan pada posisi sims/miring ke kiri selama pemberian.
Carminative enema terutama diberikan untuk mengeluarkan flatus. Larutan dimasukkan ke dalam rektum untuk mengeluarkan gas dimana ia meregangkan rektum dan kolon, kemudian merangsang peristaltik. Untuk orang dewasa dimasukkan 60-180ml.
Retention enema: dimasukkan oil (pelumas) ke dalam rektum dan kolon sigmoid, pelumas tersebut tertahan untuk waktu yang lama (1-3 jam). Ia bekerja untuk melumasi rektum dan kanal anal, yang akhirnya memudahkan jalannya feses.
Enema yang mengembalikan aliran, kadang–kadang mengarah pada pembilasan kolon, digunakan untuk mengeluarkan flatus. Ini adalah pemasukan cairan yang berulang ke dalam rektum dan pengaliran cairan dari rektum. Pertama-tama larutan (100-200ml untuk orang dewasa) dimasukkan ke rektum dan kolon sigmoid klien, kemudian wadah larutan direndahkan sehingga cairan turun kembali keluar melalui rectal tube ke dalam wadah. Pertukaran aliran cairan ke dalam dan keluar ini berulang 5-6 kali, sampai (perut) kembung hilang dan rasa tidak nyaman berkurang atau hilang. Banyak macam larutan yang digunakan untuk enema. Larutan khusus mungkin diminta oleh dokter.
Pemberian enema merupakan prosedur yang relatif mudah untuk klien. Bahaya utamanya adalah iritasi sabun dan efek negatif dari larutan hypertonik atau hipotonik. Pada cairan tubuh dan elektrolit, larutan hipertonik seperti larutan phosphate dari beberapa enema siap pakai menyebabkan sedikit iritasi pada membran mukosa menyebabkan cairan tertarik ke dalam kolon dari jaringan sekitar. Proses ini disebut osmosis. Karena hanya sebagian kecil cairan yang diambil, rasa nyaman tertahan untuk 5-7 menit dan secara umum di luar dari manfaat ini. Bagaimanapun, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi, terutama pada anak di bawah 2 tahun larutan ini bisa menyebabkan hypokalsemia dan hyperphosphatemia.
Pemberian hipotonik yang berulang seperti enema berbentuk kran, dapat mengakibatkan absorpsi volume darah dan dapat mengakibatkan intoksikasi air. Untuk aliran ini, beberapa agency kesehatan membatasi pemberian enema berbentuk kran. Ini adalah perhatian yang istimewa ketika permintaan pemasangan enema sampai kembali bersih harus jelas, contohnya pemeriksaan pendahuluan visual usus besar. Larutan hipotonik juga dapat mengakibatkan ketidaknyamanan pada klien dengan penurunan fungsi ginjal atau gagal jantung akut.
Pengkajian
Pengkajian pasien dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan data objektif melalui interview dan pemeriksaan fisik terutama yang berkaitan dengan saluran cerna, pemeriksaan laboratorium dan radiology.
Data subjektif
Pengumpulan data berkaitan dengan riwayat eliminasi feses akan membantu perawat memastikan pola b.a.b pasien yang normal.
Sebagian besar pengkajian riwayat keperawatan terdiri dari :
1. Pola defekasi
Frekuensi dan waktu klien mengalami defekasi, apakah pola b.a.b berubah baru-baru ini, apakah pola b.a.b pernah berubah. Jika iya, apakah klien mengetahui faktor-faktor penyebabnya.
2. Pola tingkah laku
Penggunaan laksatif, dan bahan-bahan yang sama yang mempertahankan pola b.a.b yang normal. Apa rutinitas yang dilakukan klien untuk mempertahankan pola defekasi yang biasa (contoh; segelas jus lemon panas ketika sarapan pagi atau jalan pagi sebelum sarapan).
3. Deskripsi feses
Bagaimana klien mendeskripsikan fesesnya, termasuk warna, tekstur (keras, lembut, berair), bentuk, bau.
4. Diet
Makanan apa yang dipercayai oleh klien yang dapat mempengaruhi proses defekasi, jenis makanan, porsi; Makanan yang selalu dia dihindari, pakah makanan tersebut dimakan secara teratur.
5. Cairan
Berapa jumlah dan jenis asupan cairan setiap hari (contoh: 6 gelas air, 5 cangkir kopi).
6. Latihan
Pola latihan seperti apa yang dilakukan klien setiap hari, frekuensi dan lamanya?
7. Obat-obatan
Apakah klien mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi saluran intestinal (contoh: zat besi, antibiotika)
8. Stres
Apakah klien mengalami stres dalam jangka waktu yang lama atau singkat? Tetapkan stres seperti apa yang dialami klien dan bagaimana dia menerimanya
9. Pembedahan
Apakah klien mengalami pembedahan atau penyakit yang berpengaruh terhadap saluran cerna?. Keberadaan ostomi harus diperhatikan.
Data objektif
Data objektif didapat melalui pemeriksaan fisik khususnya yang berkaitan dengan proses pembuangan yaitu intestin pada bagian perut hingga anus, pengkajian dilakukan dengan car inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Intestinal
Pengkajian pada abdomen dengan rujukan khusus pada saluran intestinal; Klien dianjurkan dalam posisi supine dan diselimuti sehingga hanya bagian abdomen yang terlihat. Perawat harus mengidentifikasi batasan-batasan yang digunakan sebagai nilai-nilai rujukan untuk mendeskripsikan hasil yang dijumpai.
Inspeksi
Perawat mengobservasi bentuk dan kesimetrisan. Normalnya perut berbentuk datar/rata tanpa adanya tonjolan. Tonjolan seperti massa akan kelihatan suatu bengkak, mengobservasi dinding abdomen untuk gelombang yang dapat dilihat yang mengidentifikasikan kerja peristaltik usus. Kecuali pada orang-orang tertentu terkadang tidak dapat diobservasi secara normal. Peristaltik yang dapat diobservasi menunjukkan adanya suatu obstruksi intestinal.
Palpasi
Baik palpasi ringan atau dalam keduanya digunakan, biasanya untuk mendeteksi dan mengetahui adanya daerah lunak dan massa. Keempat kuadran pada abdomen dipalpasi mulai dari quadran kanan atas, kiri atas, kiri bawah, kanan bawah dan daerah umbilikal, otot-otot abdomen harus rileks untuk memperoleh hasil palpasi yang diharapkan. Perawat seharusnya melakukan palpasi ringan kemudian dalam. Daerah yang sensitif ( daerah yang menjadi keluhan pasien) seharusnya dipalpasi terakhir karena kontraksi otot-otot (pelindung abdomen) yang sering terjadi ketika daerah yang nyeri tersentuh.
Suatu kelainan abdomen seharusnya dapat diukur pada daerah umbilikal dengan menempatkan suatu tip pengukur sekeliling tubuh. Pengukuran berulang akan menunjukkan apakah tekanan meningkat atau menurun.
Secara normal perut akan terasa lembut, tidak ada nyeri pada palpasi ringan dan dalam, dat tidak dijumpai adanya massa yang keras.
Perkusi
Daerah abdomen diketuk untuk mendeteksi cairan pada rongga abdomen, tekanan intestinal berhubungan dengan flatus dan pembentukan massa seperti pembesaran kantung empedu dan lever.
Daerah seluruh abdomen diperkusi, dimulai pada daerah kuadran kanan atas menurut arah jarum jam. Flatus menghasilkan resonansi (tympani), sementara cairan dan massa menghasilkan bunyi ”dull” (tumpul).
Ketika ada cairan di abdominal, ketukan menghasilkan suara tumpul diantara cairan. Ketika klien berada pada satu sisi, cairan ascites mengalir ke sisi tersebut. Ketukan memperlihatkan sebuah garis damartasi di antara dulnes dan tympani; garis ini menandai adanya tingkat cairan; sebuah garis ditarik di atas abdomen sehingga perawat dapat mengukur apakah jumlahnya meningkat atau menurum, ketika dilakukan ketukan selanjutnya.
Auskultasi
Suara usus dikaji dengan stetoskop. Suara usus mencerminkan peristaltik usus kecil, dideskripsikan menurut intensitas, keteraturan, dan frekuensi atau tingkat aktivitasnya. Intensitas menunjukkan kekuatan dari suara atau rata-rata dari peristaltik. Kuat lemahnya (dentum) dari dinding intestinal sebagai hasil dari gelombang peristaltik, pada peningkatan tekanan intestinal akan ada kemungkinan peningkatan dentuman. Tingkat aktivitas atau frekuensi dari suara usus juga dikaji. Peningkatan atau penurunan peristaltik dapat terjadi karena beberapa alasan: proses pembedahan; ketidakseimbangan elektrolit, seperti ketidaknormalan dari rendahnya tingkat potasium serum dan peritonitis. Intensitas dan frekuensi yang abnormal pada suara usus (borborygmi) terjadi pada enteritis dan pada obstruksi usus kecil.
Rektum dan anus
Pada pemeriksaan anorektal klien biasanya dianjurkan dalam posisi sims/miring ke kiri atau genupectoral. Klien wanita juga disarankan dalam posisi litotomi.
Inspeksi
Daerah perianal dikaji warnanya, tanda-tanda peradangan, scar, lesi, fisura, fistula atau hemorhoid. Juga ukuran, lokasi dan kepadatan dari lesi dicatat. Secara normal tidak ditemukan adanya peradangan ataupun fistula.
Palpasi
Selama pemeriksaan rektal sangat penting bahwa palpasi harus lembut sehingga tidak merangsang refleks dari nervus vagus, yang dapat menekan denyut jantung.
Feses
Wadah khusus harus disediakan untuk sampel feses. Sangat penting bagi perawat mengetahui mengapa spesimen diambil dan wadah yang digunakan tepat. Kadang-kadang wadah memakai zat pengawet khusus untuk menunjukkan hasil tes. Petunjuk khusus harus ditulis dan dilampirkan ketika penyediaan spesimen.
Klien dapat menyediakan spesimennya setelah diberi informasi yang adekuat. Feses tidak boleh bercampur dengan urin atau air, karenanya klien diminta b.a.b di bedpan.
Sebuah tongue spatel kayu atau plastik digunakan untuk memindahkan spesimen, dan sekitar 2,5cm ditempatkan di dalam wadah. Jika kotoran berbentuk cair, dikumpulkan 15-30ml. Wadah kemudian ditutup dengan aman dan tepat, dilengkapi label. Pada kenyataannya bahwa spesimen yang telah diperoleh harus dimasukkan sebagai rahasia klien.
Untuk tes tertentu diperlukan feses segar. Jika harus seperti itu spesimen dibawa segera ke lab. Spesimen kotoran jangan ditinggalkan pada suhu ruangan dalam waktu yang lama karena bakteri dapat mengubahnya. Wadah spesimen biasanya memiliki petunjuk penyimpanan, hal ini harus diikuti jika spesimen tidak dapat dikirim segera ke lab. Pada beberapa instansi digunakan pendingin.
Untuk mengamankan spesimen dari bayi atau anak-anak yang tidak terlatih di toilet, spesimen diambil dari feses yang baru. Ketika feses dikultur untuk memperoleh mikroorganisme, feses dipindahkan ke wadah dengan aplikator steril.
Feses normal berwarna coklat, hal ini berhubungan dengan adanya bilirubin dan turunannya yaitu stercobilin dan urotilin; kegiatan dari bakteri normal yang terdapat pada intestinal. Bilirubin merupakan pigmen berwarna kuning pada empedu. Feses dapat berwarna lain, khususnya ketika ada hal-hal yang abnormal. Misalnya; feses hitam seperti tir, ini menunjukkan adanya perdarahan dari lambung atau usus halus; warna tanah liat (acholic) menunjukkan adanya penurunan fungsi empedu; hijau atau orange menunjukkan adanya infeksi pada intestinal. Makanan juga dapat mempengaruhi warna feses, misalnya: gula bit merubah feses menjadi warna merah, kadang-kadang hijau. Obat-obatan juga dapat merubah warna feses, misalnya zat besi, dapat membuat feses berwarna hitam.
Konsistensi
Secara normal feses berbentuk tetapi lembut dan mengandung air sebanyak 75% jika seseorang mendapat intake cairan yang cukup, sedangkan 25% lagi adalah bagian padat.
Feses normal bergerak lebih cepat dari normal melalui intestinal, sehingga hanya sedikit air dan ion yang direabsorpsi ke dalam tubuh.
Feses yang keras mengandung lebih sedikit air daripada normal dan pada beberapa kasus mungkin sulit atau nyeri sekali saat dikeluarkan. Beberapa orang, bayi dan anak-anak khususnya mungkin mengeluarkan feses yang berisi makanan yang tidak dicerna.
Bentuk
Feses normal berbentuk rektum
Bau
Bau feses merupakan hasil kerja bakteri pada intestinal dan bervariasi pada setiap orang. Bau feses yang sangat menyengat (tajam) dapat menunjukkan adanya gangguan saluran cerna.
Darah
Darah yang terdapat pada feses adalah abnormal. Darah dapat berwarna terang atau merah terang, hal ini berarti darah mewarnai feses pada proses eliminasi akhir. Feses berwarna hitam dan tir berarti darah memasuki chyme pada lambung atau usus halus. Beberapa obat-obatan dan makanan juga dapat membuat feses berwarna merah atau hitam. Oleh karena itu adanya darah harus dikonfirmasi melalui sebuah test. Perdarahan pada feses kadang tidak terlihat, ini dikenal occult bleeding(perdarahan tersembunyi).
Test untuk mengetahui adanya darah pada feses secara rutin dilakukan di klinik. Hemotest menggunakan tablet sebagai reagen; sementara guaiac dan hemoccult test menggunakan reagen berbentuk solusion (larutan), setiap test memerlukan spesimen feses. Guaiac test secara umum lebih sering digunakan. Feses yang sedikit diletakkan pada kertas saring atau kertas usap. Reagen selanjutnya diletakkan dan warna dicatat; warna biru menunjukkan adanya darah.
Bahan-bahan abnormal
Kadang-kadang feses mengandung bahan-bahan asing yang dicerna secara kebetulan, pencernaan benda-benda asing secara kebetulan banyak ditemukan pada anak-anak. Bahan-bahan abnormal lain termasuk pus, mukus, parasit, lemak dalam jumlah banyak dan bakteri patogen. Test untuk mengetahui keberadaan bahan-bahan asing biasanya ditunjukkan di lab.
Pemeriksaan penunjang
Test laboratorium
Feces ditampung dalam kontainer untuk diperiksa di laboratorium untuk mengetahui adanya atau tidaknya kelainan dalam feses berupa kadar darah, bakteri dll.
Pandangan langsung
Yaitu tehnik pandangan secara langsung ; anoscopy, pandangan dari saluran anus; proctoscopy, pandangan pada rektum; proctosigmoidoscopy, pandangan pada rektum dan kolon sigmoid; umumnya saat ini dilakukan tindakan colonoscopy.
Roentgenography
Roentgenoraphy dilakukan untuk mengetahui kondisi saluran cerna dari sumbatan ataupun deformitas dengan memasukkan zat kontras seperti bubur barium dilarutkan dalam 1 liter air untuk diminum, atau dengan memasukkan larutan omnipaque kedalam kolon menggunakan rektal tube melalui anus.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan berasal dari pengkajian data yang konkrit dari perawat.
Contoh – contoh diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan alternatif b.a.b :
1. Konstipasi yang berhubungan dengan barium.
2. Konstipasi yang berhubungan dengan immobilitas
3. Konstipasi yang berhubungan dengan trauma pada sumsum tulang belakang
Perencanaan
Tujuan utama klien dalam perencanaan/intervensi adalah :
1. mengerti tentang eleminasi yang normal
2. mengerti akan makanan dan cairan yang dibutuhkan secara wajar
3. memelihara integritas kulit
4. mengikuti program latihan secara teratur
5. memelihara kestabilan dalam pengeluaran BAB
6. mengerti tentang pengukuran untuk menghilangkan stress
Pedoman pemberian enema
1. Gunakan rectal tube dengan ukuran yang tepat, untuk orang dewasa biasanya no.22-30; anak-anak menggunakan tube yang kecil seperti no.12 untuk bayi; no.14-18 untuk anak todler atau anak usia sekolah.
2. Rectal tube harus licin dan fleksibel, dengan 1 atau 2 pembuka pada ujung dimana larutan mengalir. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Beberapa tube yang ujungnya tajam dan kasar seharusnya tidak digunakan, karena kemungkinan rusaknya membran mukosa pada rektum. Rectal tube dilumasi dengan jelly/pelumas untuk memudahkan pemasukannya dan mengurangi iritasi pada mukosa rektum.
3. Enema untuk orang dewasa biasanya diberikan pada suhu 40,5-43 0C, untuk anak-anak 37,7 0C. Beberapa retensi enema diberikan pada suhu 33 0C. Suhu yang tinggi bisa berbahaya untuk mukosa usus; suhu yang dingin tidak nyaman untuk klien dan dapat menyebabkan spasme pada otot spinkter.
4. Jumlah larutan yang diberikan tergantung pada jenis enema, usia dan ukuran tubuh klien dan jumlah cairan yang bisa disimpan :
a. bayi, ≥ 250ml
b. toddler atau preschool, 250 – 350 ml
c. anak usia sekolah, 300 - 500ml
d. adolescent, 500 - 750ml
e. adult, 750-1000ml
5. Ketika enema diberikan, klien biasanya mengambil posisi lateral kiri, sehingga kolon sigmoid berada di bawah rektum sehingga memudahkan pemasukan cairan. Selama high enema, klien mengubah posisinya dari lateral kiri ke dorsal recumbent, kemudian lateral kanan. Pada posisi ini seluruh kolon dijangkau oleh air.
6. Insesrsi tube tergantung pada usia dan ukuran klien. Pada orang dewasa, biasanya dimasukkan 7,5 - 10cm, pada anak-anak 5-7,5cm dan pada bayi hanya 2,5-3,75 cm. Jika obstruksi dianjurkan ketika tube dimasukkan, tube harus ditarik dan obstruksi terjadi.
7. Kekuatan aliran larutan ditentukan oleh :
a. tingginya wadah larutan
b. ukuran tube
c. kekentalan cairan
d. tekanan rektum
Enema pada sebagian orang dewasa, wadah larutan tidak boleh lebih tinggi dari 30cm di atas rektum. Selama high enema, wadah larutan biasanya 30-45cm di atas rektum, karena cairan dimasukkan lebih jauh untuk membersihkan seluruh usus. Untuk bayi, wadah larutan tidak boleh lebih dari 7,5 cm di atas rektum.
8. Waktu yang diperlukan untuk memasukkan enema sebagian besar tergantung pada jumlah cairan yang dimasukkan dan toleransi klien. Volume yang banyak seperti 1000ml, mungkin membutuhkan waktu 10-15 menit. Untuk membantu klien menahan larutan, perawat dapat menekan bokongnya, agar terjadi tekanan di luar area anal.
9. Ketika larutan enema berada di dalam tubuh, klien mungkin merasa gembung, dan rasa tidak nyaman pada abdomen.
10. Ketika klien b.a.b, perawat bisa membantunya ke kamar kecil, tergantung pada pilihan klien dan kondisi fisik.
11. Pada pemberian enema yang dilakukan sendiri, orang dewasa dapat diatur posisi litotomi.
12. Ketika pemberian enema pada bayi, kaki bayi bisa ditahan dengan popok.
Prosedur pemberian enema
Persiapan pasien
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang
d. Prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan.
e. Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
f. Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
g. Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
h. Menjaga privasi klien.
i. Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
j. Pasien disiapkan dalam posisi yang sesuai
Peralatan
1. Disposible enema set
2. 1 set enema berisi
a. wadah untuk tempat larutan
b. pipa untuk menghubungkan wadah ke rectal tube
c. klem untuk menjepit pipa, untuk mengontrol aliran larutan ke pasien
d. rectal tube dengan ukuran yang tepat
e. pelumas yang digunakan untuk rectal tube sebelum dimasukkan
f. termometer untuk mengukur suhu larutan
g. sabun / garam.
h. sejumlah larutan yang dibutuhkan dengan suhu yang tepat. Larutan ditempatkan di wadahnya, diperiksa suhunya, kemudian menambahkan sabun / garam.
3. selimut mandi untuk menutupi klien
4. perlak agar tempat tidur tidak basah
5. bedpan.
Intervensi
1. Tutup pintu/pasang sampiran (screen).
Rasional: memberikan privasi pada klien.
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
Rasional: pencegahan terjadinya transmisi bakteri.
3. Kaji kondisi anal dan deformitas.
Rasional: pengkajian merupakan tahap awal setiap prosedur yang akan memberikan informasi suatu tindakan dapat dilaksanakan atau tidak.
4. Jelaskan prosedur kepada klien bahwa ia mungkin akan merasakan gembung ketika larutan dimasukkan.
Rasional: memberikan informasi dapat meningkatkan kesiapan dan kerjasama pasien selama proses tindakan enema berlangsung.
5. Bantu klien orang dewasa atau usia toddle untuk mengambil posisi lateral kiri, dengan kali kanan fleksi dan beri selimut mandi.
Rasional: posisi ini memudahkan aliran larutan sesuai dengan gravitasi ke dalam sigmoid dan kolon descenden yang berada pada sisi kiri. Kaki kanan fleksi agar anus lebih tampak.
6. Letakkan perlak di bawah bokong klien agar sprey tidak basah.
Rasional: merupakan tindakan preventif untuk menjaga kebersihan tempat tidur.
7. Beri pelumas pada rectal tube 5cm jika untuk orang dewasa. Untuk anak-anak beberapa enema yang dijual sudah mempunyai tube yang sudah dilumasi.
Rasional: pelumas memudahkan masuknya tube melalui spinkter ani dan meminimalisir trauma.
8. Buka klem lewatkan beberapa larutan melalui pipa penghubung dan rectal tube, kemudian tutup klem.
Rasional: pipa diisi dengan larutan untuk mengeluarkan udara di dalamnya. Udara yang masukke dalam rektum menyebabkan peregangan yang tidak perlu.
9. Masukkan rectal tube dengan lembut dan perlahan ke dalam rektum, tujukan ke unbilikus. Masukkan tube dengan jarak yang tepat.
Rasional: pemasukan pipa k eumbilikus memandu opipa di sepanjang rektum. Rectal tube dimasukkan melewati spinkter internal
10. Jika terjadi tahanan di spinkter internal, suruh klien untuk bernapas dalam dan lewatkan sedikit larutan melalui pipa. Jika tahanan berlangsung lama, tarik pipa dan laporkan pada perawat yang bertanggung jawab
Rasional: bernapas dalam dan memasukkan sedikit larutan bisa membuat spinkter rileks.
11. Jika tidak ada tahanan, buka klem dan angkat wadah larutan ke atas rektum pada ketinggian yang tepat ; 30-45cm untuk dewasa dan 7,5 untuk bayi
Rasional: pada ketinggian ini, larutan tidak mendesak tekanan yang cukup untuk mengganti kerusakan lapisan pada rektum
11. Masukkan cairan dengan perlahan. Jika klien mengeluh merasa gembung atau nyeri, gunakan klem untuk menghentikan aliran selama 30 detik, kaji warna kulit, keringat, dyspnoe. Jika tidak dijupai kelainan buka kembali alirannya dengan kecepatan yang rendah.
Rasional: memasukkan cairan dengan perlahan dan menghentikan aliran untuk sementara menurunkan kemungkinan spasme intestinal dan pengeluaran yang dini pada larutan.
13. Setelah semua larutan dimasukkan atau ketika klien tidak bisa menerima lagi dan ingin b.a.b, tutup klem dan keluarkan rectal tube dari anus
Rasional: keinginan untuk b.a.b biasanya mengindikasikan bahwa cairan yang masuk sudah cukup
14. Gunakan tekanan yang tetap pada anus dengan tissu atau tekan bokong untuk membantu menahan enema. Biarkan klien dalam posisi berbaring.
Rasional: beberapa enema lebih efektif jika ditahan 5-10 menit. Waktunya tergantung pada jenis enema. Klien lebih mudah menahannya pada posisi berbaring daripada ketika duduk atau berdiri, karena gravitasi membantu pengaliran peristaltik.
15. Bantu klien untuk duduk pada bedpan atau toilet. Jika spesimen feses dibutuhkan anjurkan klien menggunakan bedpan
Rasional: posisi duduk lebih dianjurkan karen amembantu proses defekasi
16. Suruh klien agar tidak menyiram toilet jika ia selesai menggunakannya.
Rasional: untuk mengevaluasi output/keberhasilan tindakan enema
17. Catat pemasukan dan pengeluaran enema; jumlah, warna, konsistensi, pengeluaran flatus dan perenggangan abdomen.
Rasional: Pencatatan merupakan aspek legal sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat.
Pemberian enema pada pasien yang tidak bisa mengontrol diri
Kadang-kadang perawat perlu memberikan enema untuk klien yang tidak bisa mengontrol otot spinkter externalnya dan lalu tidak bisa menahan larutan enema untuk beberapa menit. Pada kasus ini klien dianjurkan pada posisi supine di atas bedpan. Bagian kepala dari bedpan bisa sedikit disudut, misal 30 derajat jika perlu, dan kepala dan punggung klien ditahan dengan guling. Perawat mengenakan sarung tangan untuk memegang rectal tube, untuk mencegah kontak langsugn dengan larutan dan feses yagn dikeluarkan dengan tangan ke dalam bedpan selama pemberian enema.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
Penggunaan enema yang tidak benar dapat menyebabkan tergangguanya keseimbangan elektrolit tubuh (pemberian enema berulang) atau perlukaan pada jaringan kolon atau rektum hingga terjadinya perdarahan bagian dalam. Perlukaan ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi, perdarahan dalam kolon terkadang tidak nampak secara nyata tetapi dapat diketahui melalui perubahan warna feces menjadi merah atau kehitaman. Jika terdapat tanda ini maka diperlukan tindakan medis dengan segera.
Tindakan enema juga dapat merangsang nervus vagus yang memicu terjadinya arritmia misalnya bradikardi. Tindakan enema tidak dapat diberikan selagi adanya nyeri perut yang belum diketahui penyebabnya, peristaltik usus dapat menyebabkan peradangan apendiks hingga pecahnya apendiks.
IMPLEMENTASI
1. Mengkaji pola defekasi klien
2. Mengkaji pola makanan dan cairan klien
3. Mengkaji kondisi anal dan deformitas klien
4. Menjelaskan prosedur dan tahapan – tahapan pada pemberian enema pada klien
5. Menjelaskan tujuan dan manfaat pemberian enema pada klien
6. Memberikan tindakan enema.
EVALUASI
Klien akan :
• Menetapkan waktu yang teratur untuk defekasi
• Berpartisipasi dalam program latihan yang teratur
• Memakan makanan sesuai dengan diet yang ditentukan
• B.A.B dengan nyaman dan lancar
• Minum + 2000 ml cairan / hari
• Tidak terjadi defekasi pada saat dilakukan tindakan operasi
• Sukses pada pemeriksaan diagnostic radiologi
DAFTAR PUSTAKA
Carol Taylor Et All, 1997, Fundamental Of Nursing, Lippincott Raven Washington.
Chen TS, Chen PS (1989). “Intestinal autointoxication: a medical leitmotif”. Journal of Clinical Gastroenterology.
De Boer AG, Moolenaar F, de Leede LG, Breimer DD (1982). “Rectal drug administration: clinical pharmacokinetic considerations”. Clin Pharmacokinet 7 (4): 285–311.
Deeb, Benjamin, Enemas for Everyone: A Case Study of Alexander Moaveni, University of Nebraska Press, 2000
E.M.D. Ernst (June 1997), Journal of Clinical Gastroenterology: 196-198.
FDA, Code of Federal Regulations, Title 21 Food and Drugs, Subchapter H — Medical Devices, Part 876 — Gatroenterology-Urology Devices.
Kaiser (1985). “The Case Against Colonic Irrigation”. California Morbidity (38).
Locke GR, Pemberton JH, Phillips SF (2000). “AGA technical review on constipation”. Gastroenterology.
Patricia A. Potter Et All. Fundamental Of Nursing, Concepts Process & Practice, Third Edition, 1992, Mosby Year Book Washington.
Priscilla Lemone, Medical Surgical Nursing, Critical Thinking In Client Care, 1996. Addisson Wesley Nursing
Sandra M. Nettina, Manual Of Nursing Practice, 6 Th Edition, 1996 , Lippinciott Raven Publishers.
Webber, Edith. Basic In-Home Colon Cleansing: An Illustrated Guide. Health Management Research Institute 2003, USA.
Whorton J (2000). “Civilisation and the colon: constipation as the “disease of diseases”.
No comments:
Post a Comment