BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera medulla
spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali
oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cidera medulla
spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik
volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).
Cidera medulla
spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di
Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun.
Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari
seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung
dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165
orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis
yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an
fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing,
Charlene J. Reeves,1999).
Klien yang
mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan
perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan
kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia
dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk
dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera
medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang
paling buruk.
Berdasarkan
uraian diatas di harapkan dengan adanya laporan inti ini yang berjudul “ Asuhan
Keperawatan Pada Ny. NS Dengan Cidera Medulla Spinalis Bone Loss L2-3 di Ruang
Orthopaedi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta” dapat bermanfaat bagi para
pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk
memberikan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan kasus cidera
medulla spinalis bone loss L2-3.
2. Tujuan Khusus
a.
Mampu mengidentifikasi data yang menunjang
b.
Mampu menentukan diagnosa keperawatan
c.
Mampu menulis definisi diagnosa keperawatan
d.
Mampu menjelaskan rasional diagnosa keperawatan
e.
Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan
f.
Mampu menyusun rencana keperawatan untuk masing-masing diagnosa keperawatan
g. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien
h.
Mampu melaksanakan evaluasi
i. Mampu mengidentifikasi faktor penghambat dan penunjang
dalam melaksanakan asuhan keperawatan
j. Mampu mengidentifikasi dalam pemberian penyelesaian
masalah (solusi).
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
A.
PENGERTIAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001)
Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cidera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai
daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak
tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan
buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
B.
ETIOLOGI
Penyebab dari
cidera medulla spinalis yaitu :
1. Kecelakaan
otomobil, industri
2. Terjatuh,
olah-raga, menyelam
3. Luka tusuk,
tembak
4. Tumor.
C.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih
salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat
pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum
terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi
pada cidera medulla spinalis akut.
Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Cidera medulla
spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha
dan bagian dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
D.
MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri akut pada
belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
2. Paraplegia
3. Tingkat
neurologik
4. Paralisis
sensorik motorik total
5. Kehilangan
kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
6. Penurunan
keringat dan tonus vasomoto
7. Penurunan
fungsi pernafasan
8. Gagal nafas
(Diane C.
Baughman, 200 : 87)
E.
PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
- Sinar X spinal
Menentukan
lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi
- Skan ct
Menentukan
tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
- MRI
Mengidentifikasi
adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
- Mielografi.
Untuk
memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla
spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
- Foto ronsen
torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
- Pemeriksaan
fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
- GDA :
Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E.
Doengoes, 1999 ; 339 – 340)
F.
KOMPLIKASI
1. Neurogenik
shock.
2. Hipoksia.
3. Gangguan
paru-paru
4. Instabilitas
spinal
5. Orthostatic
Hipotensi
6. Ileus Paralitik
7. Infeksi saluran
kemih
8. Kontraktur
9. Dekubitus
10. Inkontinensia
blader
11. Konstipasi
G.
PENATALAKSANAAN
CEDERA MEDULA SPINALIS (FASE AKUT)
Tujuan
penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan
untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi
sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi
Berikan steroid
dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela.
Tindakan
Respiratori
1. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang
tinggi.
2. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi
atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3. Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus)
untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.
Reduksi dan
Fraksi skeletal
1. Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi,
dan stabilisasi koluma vertebrata.
2. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu
bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3. Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi
bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila
:
1. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
4. Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal
atau dislokasi atau dekompres medulla.
(Diane C.
Braughman, 2000 ; 88-89)
H.
PENGKAJIAN
1. Aktifitas
/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah
lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas
dingin dan pucat.
3. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang,
melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
4. Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5. Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang
(ileus paralitik)
6. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari (bervariasi)
7. Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat
terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki
normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks
/refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis,
hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
8. Nyeri
/kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan
bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
10. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).
11. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak
teratur.
(Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)
I.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
/paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi
motorik dan sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alt traksi
(Diane C.
Boughman, 2000 : 90)
J.
PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
Tujuan
perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,
perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi
urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya
komplikasi.
K.
INTERVENSI
1. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan
seket, bunyi napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan
jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2
> 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45
Rencana Tindakan
a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh
terhadap kemampuan batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup
jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya
refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan
secret dan menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi
adanya sekret dalam paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/
mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan
sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi
adanya infeksi dan status respirasi.
2. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit
/kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan
kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan
kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh
dan kenyamanan pasien.
R/ Mencegah
terjadinya dekubitus.
c. Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah
terjadinya foodrop
d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah
terjadinya kontraktur.
e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan
stimulasi dan mencehag kontraktur.
f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan
adanya aktifitas yang berlebihan.
g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot
seperti splints
R/ Memberikan
pancingan yang sesuai.
3. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas
dari infeksi pada lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia
bladder /bowel.
b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah
lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi
tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi
meningkatkan sirkulasi darah.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol
setiap 2 jam dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan
sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/
Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat
proses penyembuhan
4. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa
residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan
output cairan seimbang
Rencana
tindakan
a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
b. Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih
sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........
e. Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
5. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,
berbentuk.
Rencana
tindakan
a. kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
b. b. Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
c. Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
e. Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
g. Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
h. Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
6. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan
individu.
Rencana
tindakan
a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung
nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada /
punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
b. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres
hangat / dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan
emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada
fungsi pernafasan.
c. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
d. kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk
menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.
L.
EVALUASI
1. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
2. Klien dapat memperbaiki mobilitas
3. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
4. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
5. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
6. Klien menyatakan rasa nyaman
(Marilyn E.
Doenges 1999 ; 340 – 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 – 93)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner
& Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.
3 . Jakarta : EGC.
Carpenito,
L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC
Doengoes,
M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
Luckman,
J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic
approach, Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.
Mansjoer,
A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
Pearce
Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.
Gramedia.
No comments:
Post a Comment