Thursday, November 18, 2010

KEPERAWATAN

OKSIGENASI DAN PROSES KEPERAWATAN

expr:id='"post-" + data:post.id'> PROSES KEPERAWATAAN PADA OKSIGENASI


A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan tentang fungsi kardiopulmonar klien harus mencakup data yang dikumpulkan dari sumber-sumber berikut:
a. Riwayat keperawatan fungsi kardiopulmonal normal klien dan fungsi kardiopulmonal saat ini, kerusakan fungsi sirkulasi dan fungsi pernapasan pada masa yang lalu, serta tindakan klien yang digunakan untuk mengoptimalkan oksigenasi.
b. Pemeriksaan fisik status kardiopulmonal klien, termasuk inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
c. Peninjauan kembali hasil pemeriksaan laboratorium dan hasil pemeriksaan diagnostik, termasuk hitung darah lengkap, elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan fungsi pulmonar, sputum, dan oksigenasi, seperti arteri gas darah (AGD) atau oksimetri nadi.

RIWAYAT KEPERAWATAN
Riwayat keperawatan harus berfokus pada kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Riwayat keperawatan untuk mengkaji fungsi jantung meliputi nyeri dan karakteristik nyeri, dispnea. keletihan. sirkulasi perifer, faktor risiko penyakit jantung, dan adanya kondisi-kondisi jantung pada masa yang lalu dan kondisi-kondisi jantung yang menyertai. Riwayat keperawatan tentang fungsi jantung meliputi pengkajian adanya batuk, sesak napas, mengi, nyeri, pemaparan lingkungan, frekuensi infeksi saluran pernapasan, faktor risiko pulmonar, masalah pernapasan yang lalu, penggunaan obat-obatan saat ini, dan riwayat merokok atau terpapar asap rokok.

Keletihan.
Keletihan merupakan sensasi subjektif, yaitu klien melaporkan bahwa ia kehilangan daya tahan. Keletihan pada klien yang mengalami perubahan kardiopulmonal seringkali merupakan tanda awal perburukan proses kronik yang mendasari perubahan. Untuk mengukur keletihan secara objektif, klien dapat diminta untuk menilai keletihan dengan skala 1 sampai 10, dengan angka 10 merupakan angka untuk tingkat keletihan yang paling parah dan angka 1 mewakili keadaan klien tidak merasa letih.

Dispnea.
Dispnea merupakan tanda klinis hipoksia dan termanifestasi dengan sesak napas. Dispnea merupakan sensasi subjektif pada pernapasan yang sulit dan tidak nyaman (Gift, 1990). Dispnea fisiologis ialah napas pendek yang diakibatkan latihan fisik atau perasaan gembira. Dispnea patologis adalah kondisi individu tidak mampu bernapas walaupun ia tidak melakukan aktifitas atau latihan fisik.
Dispnea dapat dikaitkan dengan tanda-tanda klinis, seperti usaha napas yang berlebihan, penggunaan otot bantu napas, pernapasan cuping hidung, dan peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan yang menyolok. Penggunaan skala analog visual dapat membantu klien membuat pengkajian objektif tentang dispnea. Cara ini memungkinkan perawat dan klien untuk menetapkan apakah intervensi keperawatan tertentu memberi pengaruh pada dispnea klien. Skala analog visual adalah suatu garis vertikal berukuran 100 mm, dengan skala nol berarti tidak ada dispnea dan skala 100 mm mewakili keadaan sesak napas klien yang paling buruk. Penelitian telah memvalidasi penggunaan skala analog visual untuk mengevaluasi dispnea yang klien alami di keadaan klinik (Gift, 1989).
Riwayat keperawatan untuk mengkaji dispnea meliputi lingkungan saat dispnea terjadi, misal saat klien bernapas disertai usaha napas, saat klien sedang stres, atau mengalami infeksi saluran pernapasan. Perawat juga harus menentukan apakah persepsi klien tentang dispnea mempengaruhi kemampuannya untuk berbaring datar. Ortopnea adalah kondisi abnormal, yaitu klien harus menggunakan banyak bantal saat berbaring atau harus duduk saat bernapas. Keparahan ortopnea biasanya dinilai dengan menghitung jumlah bantal yang dibutuhkan saat klien tidur, seperti yang terjadi pada ortopnea-dua atau tiga bantal.

Batuk.
Batuk merupakan pengeluaran udara dan paru-paru yang tiba-tiba dan dapat didengar. Saat individu menghirup napas, maka glotis akan menutup sebagian dan otot bantu pernapasan berkontraksi untuk mengeluarkan udara secara paksa. Batuk merupakan refleks untuk membersihkan trakea, bronkus, dan paru-paru untuk melindungi organ-organ tersebut dan iritan dan sekresi. Karena, titik bifukasi pada batang utama bronkus kanan dan kiri, merupakan daerah yang paling peka untuk memproduksi batuk.
Batuk sulit untuk dievaluasi dan hampir setiap orang pernah mengalami batuk. Klien yang menderita batuk kronik cenderung untuk menyangkal, meremehkan, atau meminimalkan batuk mereka. Hal ini seringkali dikarenakan mereka sudah sangat terbiasa dengan hal tersebut, sehingga mereka tidak menyadari berapa sering hal itu terjadi.
Batuk diklasifikasikan menurut waktu saat klien paling sering batuk. Klien yang menderita sinusitis kronik dapat batuk hanya pada awal pagi hari atau segera setelah bangun tidur. Batuk mi membersihkan jalan napas dan lendir, yang berasal dan drainase sinus. Klien yang mengalami bronkhitis knonik umumnya memproduksi sputum sepanjang han, walaupun jumlab sputum yang paling banyak dihasilkan setelah bangun dan posisi semirekumben atau posisi telentang datar. Hal ini merupakan akibat akumulasi sputum yang menempel di jalan napas dan disebabkan oleh penurunan mobilitas. Setelah perawat menetapkan bahwa klien menderita batuk, perawat harus mengidentifikasi apakah batuk tersebut produktif atau tidak produktif dan perawat juga harus mengkaji frekuensi batuk tersebut. Batuk produktif akibat produksi sputum, materi yang dibatukkan dan paru-paru yang tertelan atau dicairkan. Sputum mengandung mucus, debris selular, dan mikroorganisme, juga dapat mengandung pus atau darah. Perawat harus mengumpulkan data tentang jenis dan jumlah sputum. Klien diinstruksikan untuk mencoba menghasilkan sejumlah sputum, dengan hati-hati supaya tidak semata-mata membersihkan tenggorok untuk memproduksi sampel saliva. Perawat kemudian menginspeksi warna, konsistensi, bau, dan jumlah sputum.
Apabila klien melaporkan bahwa sputumnya mengandung darah (hemoptisis), perawat harus menetapkan apakah hemoptisis tersebut berhubungan dengan batuknya dispnea terjadi dan perdarahan dan saluran pernapasan atas, dan drainase sinus, atau dan saluran pencernaan (hematemesis). Selain itu, hemoptisis harus diuraikan menurut jumlah, warna, dan durasi serta apakah hemoptisis tersebut bercampur dengan sputum. Apabila klien melaporkan bahwa sputumnya mengandung darah atau sputum, maka klien harus melakukan pemeriksaan diagnostik, seperti pemeniksaan spesimen sputum, pemeriksaan dada menggunakan sinarX, bronkoskopi, dan pemeriksaan sinar-X lain harus dilakukan.

Mengi.
Mengi ditandai dengan bunyi musik yang bernada tinggi, yang disebabkan gerakan udara berkecepatan tinggi melalui jalan napas yang sempit. Mengi dapat dikaitkan dengan asma,bronkhitis akut, atau pneumonia. Mengi dapat terjadi saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya. Perawat harus menetapkan setiap faktor presipitasi, seperti infeksi pernapasan, alergen, latihan fisik, atau stres.

Nyeri.
Nyeri dada perlu dievaluasi dengan seksama dengan memperhatikan lokasi, durasi, radiasi, dan frekuensi nyeri. Nyeri jantung tidak menyertai variasi pernapasan. Nyeri ini paling sering terjadi di sisi kiri dada dan menyebar. Nyeri perikardium, yang merupakan akibat dan inflamasi kantong perikardium, biasanya tidak menyebar dan dapat terjadi saat inspirasi.
Nyeri dada pleuritik hanya terjadi di perifer dan beradiasi ke regio skapula. Nyeri ini diperburuk,jika klien melakukan manuver inspinasi, seperti batuk, menguap, dan menghela napas. Nyeri pleuritik seringkali disebabkan oleh inflamasi atau infeksi di ruang pleura dan dideskripsikan sebagai sensasi seperti irisan pisau, yang berlangsung dan satu menit sampai beberapa jam. Nyeri ini selalu dikaitkan dengan inspirasi.
Nyeri muskuloskeletal dapat timbul setelah latihan fisik, trauma iga, dan rangkaian batuk yang berlangsung lama. Nyeri ini juga diperburuk oleh gerakan inspirasi dan kadang-kadang dengan mudah dipersepsikan sebagai nyeri dada pleuritik.

Infeksi Pernapasan.
Riwayat keperawatan harus berisi informasi tentang frekuensi dan durasi infeksi saluran pernapasan. Walaupun setiap orang kadang kala mengalami flu, untuk beberapa orang, flu dapat mengakibatkan bronkhitis dan pneumonia. Tetapkan apakah klien pernah mendapatkan vaksin flu atau vaksin pneumovax di masa lalu. Perawat juga dapat menanyakan klien setiap pemaparan yang klien ketahui terhadap tuberculosis dan hasil tes kulit tuberkulin.
Tetapkan risiko klien untuk terjangkit infeksi HIV. Klien yang memiliki riwayat menggunakan obat-obatan intravena, berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan pelindung, atau menjalani gaya hidup homoseksual berisiko terjangkit infeksi HIV. Klien mungkin tidak memperlihatkan gejala infeksi HIV sampai terjadi infeksi Pneumocystis carinii (PCP) atau infeksi

Obat-Obatan.
Komponen terakhir riwayat keperawatan harus memuat uraian obat-obatan yang klien pergunakan. Komponen ini mencakup obat-obatan yang diresepkan, obat-obatan yang dibeli secara bebas, dan obat-obatan dan substansi yang tidak legal. Obat-obatan tersebut mungkin memiliki efek yang merugikan akibat kerja obat itu sendiri atau karena intreraksi obat tersebut dengan obat-obatan lain. Individu yang menggunakan obat
bronkodilator yang diresepkan, misalnya, mungkin memutuskan bahwa inhalan yang dibeli bebas akan memberikan manfaat yang sama dengan obat yang diresepkan. Produk ini dapat bereaksi dengan obat yang diresepkan dengan meningkatkan atau menurunkan efek obat yang diresepkan.
Untuk semua jenis obat, perawat mengkaji pengetahuan dan kemampuan klien untuk menggunakan cara pemberian obat “lima benar”. Hal yang khususnya penting ialah bahwa perawat mengkaji pernahaman klien tentang efek samping obat yang potensial. Klien harus mampu mengenali reaksi obat yang merugikan dan waspada akan bahaya mengombinasi obat-obatan yang diresepkan dengan obat-obatan yang dibeli bebas.
Apabila klien mendapat obat nesep, yang kadar racunnya dapat dipantau dengan analisis darah, perawat perlu meninjau kembali nilai-nilai labonatonium klien tersebut. Obat-obatan umum yang dapat dipantau adalah preparat teofilin (kadar teofilin), preparat digitalis (kadar digitalis. dan fenobanbital (kadar fenobarbital). Efek racun obatobatan ini dapat merusak fungsi kardiopulmonar. Obat-obatan tidak legal, khususnya narkotik, yang diberikan secara parenteral dan seringkali dilarutkan dengan bedak tabur, yang menyebabkan gangguan pulmonar akibat efek iritan bedak tabur di jaringan paru.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeniksaan fisik dilakukan untuk mengkaji tingkat oksigenasi jaringan klien yang meliputi evaluasi keseluruhan sistem kardiopulmonar. Teknik inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi digunakan dalam pemeriksan fisik ini.

Inspeksi.
Saat melakukan teknik inspeksi, perawat melakukan observasi dari kepala-sampai ke ujung kaki klien untuk mengkaji kulit dan warna membran mukosa, penampilan umum, tingkat kesadaran, keadekuatan, sirkulasi sistemik, pola pernapasan, dan gerakan dinding dada. Setiap kelainan harus diperiksa selama palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Palpasi.
Palpasi dada dilakukan untuk mengkaji berapa daerah. Dengan palpasi, jenis dan jumlah kerja thoraks, daerah nyeri tekan dapat diketahui dan perawat dapat mengidentifikasi taktil fremitus, getaran pada dada (thrill), angkatan dada (heaves), dan titik impuls jantung maksimal. Palpasi juga memungkinkan perawat untuk meraba adanya massa atau benjolan di aksila dan jaringan payudara. Palpasi pada ekstremitas menghasilkan data tentang sirkulasi perifer, adanya nadi perifer, temperatur kulit, warna, dan pengisian kapiler.

Perkusi.
Perkusi adalah tindakan mengetuk-ngetuk suatu objek untuk menentukan adanya udara. cairan, atau benda padat di jaringan yang berada di bawah objek tersebut (Malasanos, Barkauskas, dan Stoltenberg-allen, 1990). Perkusi menimbulkan getaran dan daerah di bawah area yang diketuk dengan kedalaman 4 sampai 6 cm (Seidel dkk, 1995). Lima nada perkusi adalah resonansi, hiperesonansi, redup, datar, dan timpani. Perkusi memungkinkan perawat untuk menentukan adanya cairan yang tidak normal, udara di paru-paru, atau kerja diafragma.

Auskultasi.
Penggunaan auskultasi memampukan perawat mengidentifikasi bunyi paru dan jantung yang normal maupun yang tidak normal. Auskultasi sistem kardiovaskular harus meliputi pengkajian dalam mendeteksi bunyi S dan S. normal, mendeteksi adanya bunyi 53 dan 54 yang tidak normal, dan bunyi murmur, serta bunyi gesekan. Pemeriksa harus mengidentifikasi lokasi, radiasi, intensitas, nada, dan kualitas bunyi murmur. Auskultasi juga digunakan untuk mengidentifikasi bunyi bruit di atas arteri karotis, aorta abdomen, dan arteri femoral.
Auskultasi bunyi paru dilakukan dengan mendengarkan gerakan udara di sepanjang lapangan paru anterior, posterior, dan lateral. Suara napas tambahan terdengar, jika suatu daerah paru mengalami kolaps terdapat cairan di suatu lapangan paru, atau terjadi obstruksi. Auskultasi juga dilakukan untuk mengevaluasi respons klien terhadap intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status pernapasan.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan untuk Menentukan Keadekuatan Sistem Konduksi Jantung. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan konduksi jantung mencakup pemeriksaan dengan menggunakan elektrokardiogram, monitor Holter, pemeriksaan stres latihan, dan pemeriksaan elektrofisiologi.

Elektrokardiogram.
Elektrokardiogram (EKO) menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung, mendeteksi transmisi impuls dan posisi listrik jantung (aksis jantung).
Monitor Holter. Monitor holter merupakan peralatan yang dapat dibawa (portabel) dan berfungsi merekam aktivitas listrik jantung dan menghasilkan EKG yang terus-menerus selama periode tertentu, misalnya selama 12 jam atau lebih lama. Monitor Holter memungkinkan klien untuk tetap melakukan aktivitas normal mereka sementara aktivitas listrik jantung mereka direkam. Klien mencatat aktivitas mereka, kapan mereka mengalami denyut jantung yang cepat atau waktu pusing. Hubungan antara aktivitas dan aktivitas listrik yang abnormal kemudian dapat ditentukan.

Pemeriksaan stres latihan.
Pemeriksaan stres latihan digunakan untuk mengevaluasi respons jantung terhadap stres fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang respons miokard terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan menentukan keadekuatan aliran darah koroner. Denyut jantung, aktivitas listrik, dan waktu penyembuhan jantung dicerminkan di hasil EKG (Canobbio, 1990). Selain itu, dipantau juga data tentang tekanan darah klien, nyeri dada, perubahan pernapasan, warna, dan frekuensi keletihan otot.

Pemeriksaan elektrofisiologis.
Pemeriksaan elektrofisiologis (PEF) merupakan pengukuran invasif aktivitas listrik. Kateter elektroda diinsersi ke dalam atrium kanan, biasanya melalui vena femoral. Stimulasi listrik kemudian dihantarkan melalui kateter sementara monitor dan komputer EKO merekam respons listrik jantung terhadap stimulus. Disritmia tertentu juga dapat disebabkan menentukan alur yang dilalui jantung.
Memberikan informasi tentang kesulitan menangani disritmia yang lebih spesifik dan mengkaji keadekuatan obat antidisritmia.
Pemeriksaan untuk Menentukan Kontraksi Miokard dan Aliran Darah. Ekokardiografi, skintigrafi, kateterisasi, dan angiografi di gunakan untuk menentukan kontraksi miokard dan aliran darah.

Ekokardiografi.
Ekokardiografi merupakan pengukuran noninvasif untuk mengevaluasi struktur internal jantung dan gerakan dinding jantung. Teknologi sonar (radar) digunakan untuk mengukur gelombang ultrasonik dan menerjermahkan gelombang tersebut ke dalam gambaran yang berbentuk. Ekokardiogram secara grafik mendemonstrasikan keseluruhan tampilan jantung.

Skintigrafi.
Skintigrafi atau angiograti radionuklida merupakan teknik noninvasif yang menggunakan radioisotop untuk mengevaluasi struktur jantung, perfusi miokard, dan kontraktilitas (Canobbio. 1990).


Kateterisasi jantung dan angiografi.
Kateterisasi jantung dan angiografi adalah prosedur invasif yang digunakan untuk memvisualisasi ruang-ruang jantung, katup, pembuluh-pembuluh darah besar, dan arteri koroner, serta mengukur tekanan dan volume di dalam empat ruang. Prosedur ini membutuhkan insersi kateter ke dalam jantung melalui pungsi vena per kutaneus. Suatu zat kontras diinjeksikan melalui kateter sehingga dihasilkan gambar fluoroskopik. Kedua kateterisasi, baik kateterisasi sisi kiri maupun sisi kanan dapat dilakukan.
Kateterisasi jantung, yang dilakukan untuk tujuan diagnostik, biasanya dilakukan sebagai tindakan rawat jalan. Jika tidak ada komplikasi dan prosedur yang dilakukan, klien dapat pulang hanya dalam waktu 6 sampai 8 jam setelah prosedur. Komplikasi yang berhubungan dengan prosedur jantung meliputi disnitmia, perdarahan pada lokasi pungsi, hematoma, dan stroke.

Pemeriksaan untuk Mengukur Keadekuatan Ventilasi dan Oksigenasi.
Pemeriksaan fungsi paru, kecepatan aliran ekspirasi puncak, pemeriksaan gas darah arteri, oksimetri, dan hitung darah lengkap digunakan untuk mengkaji keadekuatan ventilasi dan oksigenasi.

Pemeriksaan fungsi paru.
Pemeriksaan fungsi paru menentukan kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida secara efisien. Pemeriksaan ventilasi dasar dilakukan dengan menggunakan spirometer dan alat pencatat sernentara klien bernapas melalui masker mulut (mouthpiece) yang dihubungkan dengan selang penghubung. Pengukuran yang dilakukan mencakup volume tidal (V1), volume reserve inspirasi (TRy), volume residual (VR), dan volume ckspirasi yang dipaksa selama 1 detik (FEV).
Pemeriksaan fungsi paru biasanya dilakukan di laboratorium fungsi pulmonar. Perawat mempersiapkan klien dengan menjelaskan prosedur. Sebuah klip hidung mencegah klien menghirup udara atau mcngeluarkan udara melalui hidung. Klien bernapas melalui sebuah masker mulut yang dihubungkan ke spirometer, yang berfungsi untuk mengukur volume paru. Klien diminta pada waktu-waktu tertentu untuk menghirup udara atau mengeluarkan sebanvak mungkin udara. Kerja sama klien sangat penting untuk memastikan hasil yang akurat.
Kecepatan aliran ekspirasi puncak. Kecepatan aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow rate [PEFR]) adalah titik aliran tertinggi yang dicapai selama ekspirasi maksimal dan titik ini mencerminkan terjadinya perubahan ukuran jalan napas menjadi besar. Pengukuran sangat berkorelasi dan sama dengan FEV (Walsh, 1992). Meter aliran ekspirasi puncak merupakan alat yang dipegang tangan sehingga memungkinkan klien asma mengikuti sejauh mana jalan napas terbuka. Informasi tentang kecepatan aliran ekspirasi puncak merupakan data pengkajian esensial untuk klien asma.
Pemeriksaan gas darah arteri. Pengukuran gas darah arteri dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fungsi paru untuk menentukan konsentrasi ion hidrogen, tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida, dan saturasi oksihemoglobin. Pemeriksaan gas darah arteri memberikan informasi tentang difusi gas melalui membran kapiler alveolar dan keadekuatan oksigenasi jaringan .



Oksimetri.
Pengukuran saturasi oksigen kapiler yang kontinu dapat dilakukan dengan menggunakan oksimetri kutaneus. Saturasi oksigen (O2sat) adalah persentase hemoglobin yang disaturasi oksigen. Keuntungan pengukuran oksimetri transkutaneus meliputi mudah dilakukan, tidak invasif, dan dengan mudah diperoich (Whitney, 1990). Oksimetri tidak menimbulkan nyeri, jika dibandingkan dengan pungsi arteri. Klien yang mengalami kelainan perfusi/ventilasi, seperti pneumonia,menggunakan oksmetri nadi (Ahrens dan Rutherford,1993).
Oksimetri yang paling umum digunakan adalah oksimeter nadi. Tipe oksimeter ini melaporkan amplitudo nadi dengan data saturasi oksigen. Perawat biasanya mengikatkan sensor noninvasif ke jari tangan, Jari kaki, atau hidung klien yang memantau saturasi oksigen darah. Nasal probe (alat untuk rnenyelidiki kedalaman) direkomendasi untuk kondisi perfusi darah yang sangat rendah. Aliran darah di dalam arteri ethmoid anterior septum nasal tetap lebih besar daripada aliran darah ke jari-jari dalam kondisi aliran terganggu (Ahrens dan Rutherford, 1993). Pemantauan saturasi oksigen yang kontinu bermanfaat dalam pengkajian gangguan tidur, toleransi terhadap latihan fisik, penyapihan dan ventilasi mekanis, dan penurunan sementara saturasi oksigen.
Keakuratan nilai oksimetri nadi secara Iangsung berhubungan dengan perfusi di daerah probe. Pengukuran yang disebabkan syok, hipoterrnia, atau penyakit vaskular perifer mungkin tidak dapat dipercaya. Keakuratan oksimetri nadi kurang dari 90 mm Hg. Data hasil pengukuran oksimetri memiliki sedikit nilai klinis. Tren saat ini memberikan informasi terbaik tentang status oksigenasi klien.

Hitung darah lengkap.
Hitung darah lengkap menentukan jumlah dan tipe sel darah merah dan sel darah putih per mm3 darah. Perawat memperoleh contoh darah vena dengan menggunakan pungsi vena. Nilai normal untuk hitung darah lengkap bervariasi menurut usia dan jenis kelamin.
Hitung darah lengkap mengukur kadar hemoglobin dalam sel darah merah (eritrosit). Defisiensi sel darah merah akan menurunkan kapasitas darah yang membawa oksigen karena molekul hemoglobin yang tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan lebih sedikit.
Apabila jumlah sel darah merah meningkat, misalnya polisitemia pada kondisi paru kronis dan kondisi jantung sianosis, kapasitas darah yang mengangkut oksigen meningkat. Namun, peningkatan jumlah sel darah merah akan meningkatkan kekentalan (viskositas) darah dan risiko klien terbentuknya trombus.
Pemeriksaan untuk Memvisualisasi Struktur Sistem Pernapasan. Pemeriksaan sinar-X pada dada, bronkoskopi, dan pemindaian paru digunakan untuk memvisualisasi struktur sistem pernapasan.

Pemeriksaan sinar-X dada.
Pemeriksaan sinar-X dada terdiri dan radiografi thoraks, yang memungkinkan perawat dan dokter mengobservasi lapangan paru untuk mendeteksi adanya cairan (mis. seperti yang terjadi pada pneumonia), massa (mis. kanker paru), fraktur (mis. fraktur klavikula dan tulang iga), dan proses-proses abnormal lain (mis. tuberkulosis). Biasanya suatu film lateral dan PA (posterior-anterior) dilakukan untuk memvisualisasi lapangan paru secara adekuat.

Bronkoskopi.
Bronkoskopi adalah pemeriksaan visual pada pohon trakeobronkial melalui bronkoskop serat-optik yang fleksibel, dan sempit. Brokoskopi dilakukan untuk memperoleh sampel biopsi dan cairan atau sampel sputum dan untuk mengangkat plak lendir atau benda asing yang menghambat jalan napas.
Klien biasanya dipuasakan sebelum menjalani bronkoskopi. Perawat memberi obat-obatan, seperti sedatif atau atropin untuk mengurangi sekeresi oral. Perawat melanjutkan observasi klien setelah prosedur untuk melihat tanda dan gejala distress pernapasan atau hipoksia. Sebelum memberikan cairan per oral, kaji apakah refleks gaglmenelan klien utuh.

Kultur tenggorok.
Suatu sampel kultur tenggorok diperoleh dengan mengusap daerah tonsil dan daerah orofaring dengan swab steril. Kultur tenggorok menentukan adanya mikroorganisme patogenik. Apabila diprogramkan pemeriksaan sensitivitas, maka antibiotik yang paling sensitif terhadap mikroorganisme tersebut juga ditentukan.
Saat melakukan kultur tenggorok, perawat memasukkan swab ke dalam daerah faring dan mengapuskannya sepanjang daerah yang berwarna kemerahan dan daerah eksudat. Beberapa klien memiliki refleks muntah yang aktif, sehingga menyulitkan pengambilan spesimen. Refleks muntah ini mungkin akan berkurang keaktifannya, jika klien sedang duduk tegak dan sedikit membungkuk ke depan. Klien mungin mampu mengontrol refleks menelannya jika diinformasikan bahwa prosedur tersebut hanya akan memakan waktu beberapa detik.
Spesimen sputum. Spesimen sputum diambil untuk mengidentifikasi tipe organisme yang berkembang dalam sputum. Suatu sputum kultur dan sensitivifas sputum (C dan S) mengidentifikasi mikroorganisme tertentu dan resistansi serta sensitivitasnya terhadap obat. Spesimen sputum juga dapat diambil untuk mengidentifikasi adanya tuberkel basilus (TB), sputum untuk basilus cepat-asam (sputum for acid-fast bacillus [AFB]). Spesimen AFB diperoleh tiga hari berturut-turut pada awal pagi hari. Sputun untuk sitologi adalah spesimen sputum yang diambil untuk mengidentifikasi kanker paru abnormal dengan tipe sel. Pemeriksaan mi dilakukan dengan melakukan serangkaian pengumpulan spesimen tiga hari berturut-turut pada awal pagi hari.
Perawat harus memastikan spesimen sputum yang mengandung lendir dan bagian dalam bronkus dan bukan saliva. Catat warna, konsistensi, jumlah, dan bau sputum dan dokumentasi tanggal dan waktu spesimen dikirim ke laboratorium khusus untuk dianalisis.
Pemeriksaan kulit.
Pemeriksaan kulit memungkinkan orang klinik untuk menentukan adanya bakteri, jamur, atau penyakit paru viral. Antigen diinjeksikan secara intradermal, tempat injeksi bundar dan klien diinstruksikan untuk mencuci bundaran tersebut. Prosedur ini memungkinkan orang klinis mengevaluasi respons. Tes kulit tuberkulin dibaca setelah 48 jam. Hasil positif berdasarkan pada ukuran indurasi. Suatu indurasi merupakan daerah yang dapat dipalpasi, meninggi, dan mengeras di sekitar tempat injeksi. Indurasi ini disebabkan edema dan inflamasi dan reaksi antigen/antibodi. Apabila indurasi terlihat, ukur indurasi tersebut millimeter. Daerah yang rata dan kemerahan bukan merupakan reaksi yang positif dan tidak harus diukur. Pemeriksaan TB pada lansia kurang dapat dipercaya.

Torasentesis.
Torasentesis merupakan perforasi dinding dada dan ruang pleura dengan jarum untuk mengaspirasi cairan untuk tujuan diagnostik atau tujuan terapeutik atau untuk mengangkat spesimen untuk biopsi. Prosedur dilakukan dengan teknik aseptik dengan menggunakan anestesi lokal. Klien biasanya duduk tegak dengan thoraks anterior yang ditopang bantal atau dengan di atas tempat tidur.
Sakit tidaknya prosedur ini tergantung pada toleransi terhadap nyeri. Perawat dapat mengurangi rasa cemas klien dengan menjelaskan prosedur dan mengatakan kepada klien apa yang akan terjadi saat prosedur dilakukan. Klien harus memahami pentingnya menahan napas sesuai instruksi dan untuk tidak batuk selama dilakukan prosedur. Gerakan mendadak dapat menyebabkan pungsi paru jarum torasentesis. Klien diinstruksikan untuk memberi tahu dokter sebelum batuk bersin sehingga jarum dapat ditarik.
Setelah prosedur, perawat memantau klien untuk melihat adanya tanda-tanda pneumothoraks; sesak napas mendadak, deviasi trakea, desaturasi oksigen, dan ansietas. Terjadinya pneumothoraks setelah pelaksanaan torasentesis merupakan suatu situasi kedaruratan. Tipe pneumotoraks ini dikenal sebagai tension pneumotoraks dan tipe ini dapat menyebabkan henti kardiopulmonar jika tidak ditangani segera.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Klien yang mengalami perubahan tingkat oksigenasi dapat memiliki diagnosa keperawatan yang awalnya dan kardiovaskular atau pulmoner. Setiap diagnosa keperawatan harus didasarkan pada batasan karakteristik dan melibatkan etiologi terkait. Label diagnostik divalidasi dengan menggunakan batasan karakteristik atau tanda dan gejala.

C. PERENCANAAN
Klien yang mengalami kerusakan oksigenasi membutuhkan rencana asuhan keperawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi aktual dan potensial klien. Sasaran individual berasal dan kebutuhan yang berpusat pada klien. Perawat mengidentifikasi hasil akhir khusus dan asuhan keperawatan yang diberikan. Rencana tersebut meliputi satu atau lebih sasaran yang berpusat-pada klien berikut ini.
a. Klien mempertahankan kepatenan jalan napas.
b. Klien mempertahankan dan meningkatkan ekspansi paru.
c. Klien mengeluarkan sekresi paru.
d. Klien mencapai peningkatan toleransi aktivitas.
e. Oksigenasi jaringan dipertahankan atau ditingkatkan.
f. Fungsi kardiopulmonar klien diperbaiki dan dipertahankan.
Tingkat kesehatan klien. usia. gaya hidup. dan risiko lingkungan mempengaruhi tingkat oksigenasi jaringan. Klien yang mengalami kerusakan oksigenasi yang berat acap kali membutuhkan intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mencapai keenam sasaran tersebut. Alur yang kritis dapat memberikan pedoman perawatan untuk klien yang menderita penyakit paru dan membutuhkan perawatan dan banyak disiplin perawatan kesehatan.

D. IMPLEMENTASI
Intervensi keperawatan untuk meningkatkan dan mempertahankan oksigenasi tercakup dalam domain keperawatan: pemberian dan pemantauan intervensi dan program yang terapeutik (Benner, 1984). Hal ini meliputi tindakan keperawatan mandiri, seperti perilaku peningkatan kesehatan, upaya pencegahan, pengaturan posisi, teknik batuk,
intervensi mandiri atau intervensi tidak mandiri, seperti terapi oksigen, teknik inflasi paru, hidrasi, fisioterapi dada, dan obat-obatan.

MEMPERTAHANKAN KEPATENAN JALAN NAPAS
Jalan napas yang paten ketika trakea, bronkus, dan jalan napas yang besar bebas dan obstruksi. Tipe intervensi digunakan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas: Latihan Pernapasan, teknik batuk, pengisapan, dan insersi jalan napas buatan.

Latihan pernapasan
Latihan napas dalam terdiri atas latihan dan praktik pernapasan yang dirancang dan dijalankan untuk mencapai be\\ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien, dan untuk mengurangi kerja bernapas. Latihan ini meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan ralaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernapasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekwensi pernapasan dan mengurangi kerja bernapas. Pernapasan yang lambat, rileks, berirama juga membantu dalam mengontrol ansietas yang timbul ketika pasien mengalami dispnea.
Latihan pernapasan dapat dipraktikkan dalam beberapa posisi, karena distribusi udara dan sirkulasi pulmonal beragam sesuai dengan posisi dada. Banyak pasien membutuhkan oksigen tambahan, dengan menggunakan metode aliran lambat, sambil melakukan latihan pernapasan.
Pasien diinstruksikan untk bernapas lambat dan berirama dengan cara yang rileks dan untuk menghembuskan secara komplet serta mengosongkan paru. Pasien diinstruksikan untuk selalu menghela napas melalui hidung karena hidung menyaring, melembabkan dan menghangatkan udara. Jika napas pendek, pasien harus berkonsentrasi pada pernapasan lambat dan berirama.



Prosedur latihan pernapasan :
a. Instruksi umum
 Bernapas dengan lambat dan berirama untuk menghembuskan dan mengosongkan paru-paru secara komplit.
 Hirup napas melalui hidung untuk menyaring, melembabkan dan menghangatkan udara sebelum memasuki paru-paru.
 Jika klien merasa kehabisan napas, napaslah dengan lambat dengan memperpanjang waktu ekshalasi
 Jaga udara tetap lembab dengan humidifier.
b. Pernapasan diafragmatik
Tujuan untuk menggunakan dan menguatkan diafragma selama pernapasan.
 Letakkan satu tangan di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan lainnya tengah-tengah dada untuk meningkatkan kesadaran diafragma dan fungsinya dalam pernapasan
 Napaslah dengan lambat dan dalam melalui hidung, biarkan abdomen menonjol sebesar mungkin
 Hembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan (mengkontraksi) otot-otot abdomen.
 Tekan dengan kuat ke arah dalam dan ke atas pada abdomen sambil menghembuskan napas
 Ulangi selama 1 menit; ikuti dengan periode istirahat 2 menit
 Lakukan sampai 5 menit, beberapa kali sehari (Sebelum makan dan waktu tidur)

c. Pernapasan bibir dirapatkan
Tujuan : untuk memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi, dengan demikian mengurangi jumlah udara yang terjebak dan jumlah tahanan jalan napas.
 Hirup napas melalui hidung sambil menghitung sampai 3—waktu yang dibutuhkan untuk mengatakan “Smell a rose”
 Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen (Merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal; menghembuskan melalui mulut memberikan tahanan lebih sedikit pada udara yang dihembuskan).
 Hitung sampai 7 sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang dirapatkan yang dibutuhkan untuk mengatakan “blow out the candle”
 Sambil duduk di kursi :
• Lipat tangan di atas abdomen
• Hirup napas melalui hidung sambil menghitung hingga 3
• Membungkuk ke depan dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung hingga 7.

 Sambil berjalan :
• Hirup napas sambil melangkah dua langkah
• Hembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan sambil berjalan empat atau lima langkah

Teknik Batuk.
Batuk efektif untuk mempertahankan kepatenan jalan napas. Batuk memungkinkan klien mengeluarkan sekresi dan jalan napas bagian atas dan jalan napas bagian bawah. Rangkaian normal peristiwa dalam mekanisme batuk adalah inhalasi dalam, penutupan glotis, kontraksi aktif otot-otot ekspirasi, dan pembukaan glotis. Inhalasi dalam meningkatkan volume paru dan diameter jalan napas memungkinkan udara melewati sebagian plak lendir yang mengobstruksi atau melewati benda asing lain. Kontraksi otot-otot ekspirasi melawan glotis yang menutup menyebabkan terjadinya tekanan intrathoraks yang tinggi. Saat glot membuka, aliran udara yang besar keluar dengan kecepatan tinggi, memberikan mukus kesempatan untuk bergerak ke jalan napas bagian atas, tempat mukus dapat dicairkan dan ditelan.
Keefektifan batuk klien dievaluasi dengan melihat apakah ada sputum cair (ekspektorasi sputum), laporan klien tentang sputum yang ditelan, atau terdengarnya bunyi napas tambahan yang jelas saat klien diauskultasi. Klien yang mengalami penyakit pulmonar kronik, infeksi saluran napas atas, dan infeksi saluran napas bawah harus didorong untuk napas dalam dan batuk sekurang-kurangnya setiap dua jam saat terjaga. Klien yang memiliki sputum dalam jumlah besar harus didorong untuk batuk setiap jam saat terjaga dan setiap dua sampai tiga jam saat tidur sampai fase akut produksi lendir berakhir. Teknik batuk mencakup teknik napas dalam dan batuk untuk klien pascaoperasi, batuk cascade, batuk huff dan batuk quad.
Batuk cascade. Dengan batuk cascade, klien mengambil napas dalam dengan lambat dan menahannya selama dua detik sambil mengontraksikan otot-otot ekspirasi. Kemudian klien membuka mulut dan melakukan serangkaian batuk melalui ekshalasi, dengan demikian klien batuk pada volume paru yang menurun secara progresif. Teknik ini meningkatkan bersihan jalan napas dan meningkatkan kepatenan jalan napas pada klien dengan volume sputum yang banyak.
Batuk huff. Batuk huff menstimulasi refleks batuk alamiah dan umumnya efektif hanya untuk membersihkan jalan napas pusat. Saat mengeluarkan udara, klien membuka glotis dengan mengatakan kata huff Dengan melakukan batuk ini, klien menghirup lebih banyak udara dan bahkan mampu meningkat ke batuk cascade.
Batuk quad. Teknik batuk quad digunakan untuk klien tanpa kontrol otot abdomen. seperti pada klien yang mengalami cedera medulla spinalis. Saat klien mengeluarkan napas dengan upaya ekspirasi maksimal, klien atau perawat mendorong ke luar dan ke atas pada otot-otot abdomen melalui diafragma, sehingga menyebabkan batuk.

Saat posisi batuk, pasien diinstruksikan untuk batuk dan membuang secret sebagai berikut :
1. Mengambil posisi duduk dan membungkuk sedikit ke depan karena posisi tegak memungkinkan batuk lebih kuat.
2. Jaga lutut dan panggul fleksi untuk meningkatkan relaksasi dan mengurangi tegangan pada otot-otot abdomen ketika batuk
3. Menghirup napas dengan lambat melalui hidung dan menghembuskannya melalui bibir yang dirapatkan beberapa kali
4. Batuk dua kali selama tiap kali ekshalasi ketika kontraksi (menarik ke dalam) abdomen dengan tajam bersamaann dengan setiap kali batuk.
5. Membebat insisi, dengan menggunakan sanggann bantal, jika diperlukan,

MOBILISASI SEKRESI PULMONAR
Kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi dapat membuat perbedaan antara penyakit jangka-pendek dan proses penyembuhan jangka-panjang yang melibatkan komplikasi. Intervensi keperawatan yang meningkatkan mobilisasi sekresi pulmonar dilakukan dengan hidrasi, humidifikasi, nebulisasi, dan fisioterapi dada.
Hidrasi. Upaya mempertahankan hidrasi sistemik yang adekuat menjaga kebersihan mukosilia normal. Pada klien dengan hidrasi yang adekuat, sekresi paru encer, berwarna putih, berair, dan mudah dikeluarkan dengan batuk minimal. Batuk berlebihan untuk mengeluarkan sekresi yang liat dan kental adalah hal yang melelahkan dan memerlukan pengerahan energi. Cara yang paling baik untuk mempertahankan sekresi encer ialah dengan memberi masukan cairan 1500 sampai 2000 ml per hari, kecuali kontraindikasi karena status jantung. Keadekuatan hidrasi dapat ditentukan dan warna, konsistensi. dan pengenceran sekresi yang mudah.
Humidifikasi. Humidifikasi adalah proses penambahan air ke gas. Suhu adalah faktor yang paling penting dalam mempengaruhi jumlah uap air yang dapat dikandung gas. Persentase air di dalam gas. terkait dengan kapasitasnya untuk mengangkut air, merupakan kelembaban relatif. Udara atau oksigen dengan kelembaban relatif yang tinggi membuat jalan napas tetap lembab dan membantu melepaskan sekresi dan dikeluarkan dari paru.
Humidifikasi diperlukan bagi klien yang menerima terapi oksigen. Oksigen yang dimasukkan ke dalam jalan napas bagian atas, yakni dengan menggunakan kateter nasal, nasal kanula, atau masker wajah. dapat dilembabkan dengan menginsersi kateter-kateter tersebut ke dalam air sehingga menghasilkan udara (bubbling’). Umumnya, humidifikasi ditambahkan saat kecepatan aliran oksigen melebihi 4 L/menit.
Tenda pelembab digunakan untuk bayi dan anak-anak yang menderita penyakit, seperti penyakit batuk yang disertai sesak napas dan trakeitis. Tenda ini digunakan untuk mencairkan sekresi dan nnembantu menununkan demam. Nebulizer yang berada pada puncak tenda pelembab harus tetap terisi air untuk mencegah udara yang tidak lembab atau oksigen memasuki tenda. Udara dalam tenda pelembab dapat menjadi dingin dan suhu turun sampai di bawah 20°C, sehingga anak menjadi menggigil. Perawat memantau suhu tubuh anak sama seperti status pernapasannya. Pakaian dan sprei tempat tidur anak-anak yang menggunakan tenda pelembab harus diganti supaya tetap hangat dan kering.
Apabila alat pelembab digunakan, perawat perlu memastikan bahwa alat tersebut menggunakan salin steril untuk inhalasi dan bahwa larutan diganti sesuai prosedur lembaga. Humidifikasi dapat menjadi sumber infeksi nosokomial pada klien karena lingkungan yang lembab mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogen
Nebulizasi. Nebulizasi merupakan proses menambahkan pelembab atau obat-obatan ke udara yang diinspirasi dengan mencampur partikel berbagai ukuran dengan udara. Sebuah nebulizer menggunakan prinsip aerosol untuk menahan jumlah maksimum tetesan air atau partikel dengan ukuran yang diinginkan dalam udara inspirasi. Pelembab yang ditambahkan pada sistem pernapasan melalui nebulizasi akan meningkatkan bersihan sekresi pulmonar. Nebulizasi seringkali digunakan untuk pemberian bronkodilator dan mükolitik.
Apabila lapisan tipis cairan, yang menyokong lapisan lendir pada silia dibiarkan kering, maka silia menjadi rusak tidak dapat lagi membersihkan jalan napas dengan adekuat. Humidifikasi melalui nebulizasi akan meningkatkan bersihan mukosilia, mekanisme alamiah tubuh untuk membuang lendir dan debris dan saluran napas.
Tipe utama nebulizer adalah nebulizer jet-aerosol dan nebulizer ultrasonik. Nebulizerjet-aerol menggunakan gas bawah tekanan dan nebulizer ultrasonik menggunakan getaran frekuensi-tinggi untuk memecah air atau obat menjadi tetesan atau partikel halus. Apabila diinspirasi dengan udara atau oksigen yang diberikan, tetesan partikel kemudian disimpan di percabangan trekeobronkial.

MEMPERTAHANKAN ATAU MENINGKATKAN PENGEMBANGAN PARU
Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan pengembangan paru termasuk dengan melakukan teknik noninvasif. Teknik ini termasuk pemberian posisi dan fisioterapi dada, prosedur yang menggunakan peralatan, seperti spirometri pendorong, dan prosedur invasif, seperti penatalaksanaan selang dada.
Pengaturan posisi. Pada individu sehat dan yang mobilisasinya utuh, akan mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan mengubah posisi yang sering selama aktivitas sehari-hari. Namun, jika individu atau mengalami cedera yang membatasi mobilitasnya, maka ia berisiko tinggi mengalami kerusakan pernapasan. Pengubahan posisi yang sering adalah metode sederhana dan efektif dalam biaya dengan tujuan mengurangi risiko stasis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding dada.
Posisi yang paling efektif bagi klien yang berpenyakit kardiopulmonar ialah posisi semi-Fowler dengan derajat kemiringan 45-derajat (Burns dkk, 1994), yakni dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dan abdomen pada diafragma. Saat klien menggunakan posisi ini, perawat perlu memastikan bahwa klien tidak menggeser ke bawah di tempat tidur yang akan menurunkan pengembangan paru klien. Klien yang mengalami penyakit paru unilateral, seperti pneumothoraks, atelcktasis, pneumonia, thorakotomi, dan trauma ganda yang mempengaruhi satu paru harus diposisikan pada “good lung down.” Posisi ini meningkatkan perfusi yang lebih baik pada paru sehat, sehingga akan meningkatkan oksigenasi. Apabila terdapat abses paru atau perdarahan, maka posisikan paru yang mengalami gangguan ke arah lebih rendah untuk mencegah drainase ke paru sehat (Yeaw, 1992).





MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN OKSIGENASI
Peningkatan ekspansi paru, mobilisasi sekresi, dan upaya mempertahankan jalan napas yang paten akan membantu klien dalam memenuhi kebutuhan oksigenasi. Beberapa klien, bagaimanapun, juga membutuhkan terapi oksigen untuk mempertahankan tingkat oksigenasi jaringan yang sehat.
Tujuan Terapi Oksigen. Tujuan terapi oksigen ialah mencegah atau mengatasi hipoksia. Setiap klien yang mengalami kerusakan oksigenasi jaringan dapat memperoleh manfaat dan pemberian oksigen yang terkontrol. Oksigen bukan pengganti pengobatan lain dan harus digunakan hanya jika diindikasi. Oksigen harus diperlakukan seperti obat. Oksigen mahal dan memiliki efek samping yang berbahaya. Sebagaimana penggunaan obat, dosis atau konsentrasi okslgen harus dipantau secara kontinu.
Perawat harus memerik rutin program dokter untuk memverifikasi bahwa klien menerima oksigen dengan konsentrasi yang program Lima benar pemberian obat juga berlaku untuk pemberian oksigen.

KEWASPADAAN TERAPI OKSIGEN
Merupakan gas yang sangat mudah terbakar. Walaupun oksigen tidak secara spontan membakar atau menyebabkan ledakan, tetapi oksigen dengan mudah menyebabkan kebakaran di ruangan klien jika oksigen kontak dengan percikan rokok atau peralatan listrik. Oksigen yang berkonse ntrasi tinggi berpotensi besar untuk meledak dan dengan mudab menyulut kebakaran. Dengan peningkatan penggunaan terapi oksigen di rumah, klien dan tenaga profesi kesehatan harus mewaspadai bahaya ledakan. Perawat harus meningkatkan keamanan dengan melakukan tindakan-tindakan berikut:
1. Tanda “dilarang merokok” harus dipasang di pintu kamar klien dan di atas tempat tidur. Klien, pengunjung, dan teman sekamar klien, dan semua personel harus diinformasikan bahwa merokok dilarang di daerah menggunakan oksigen.
2. Perawat memastikan semua peralatan listrik di kamar berfungsi dengan baik dan kabel benar-benar masuk ke stop kontak. Percikan listrik di tempat yang ada oksigen akan menyebabkan kebakaran yang serius.
3. Perawat harus mengetahui prosedur kebakaran dan lokasi pemadam kebakaran terdekat.
4. Perawat harus selalu memeriksa kadar oksigen di tabung yang dapat dibawa sebelum dipindahkan untuk memastikan bahwa terdapat cukup oksigen tersisa di tabung.
Suplai Oksigen. Suplai oksigen ditempatkan di samping tempat tidur klien, baik dengan tabung oksigen ataupun melalui sistem pipa di dinding yang bersifat permanen. Tabung oksigen ditransportasikan dengan menggunakan alat pengangkut yang benar, yang memungkinkan tabung ditempatkan tegak di sisi tempat tidur. Regulator digunakan untuk mengontrol jumlah pemberian oksigen. Salah satu jenis yang umum digunakan ialah alat pengukur aliran yang tegak dengan katup pengatur aliran bagian puncak. Jenis kedua ialah sebuah indikator silinder dengan pegangan pengatur aliran.
Di rumah sakit atau di rumah, tabung oksigen tersedia bersama dengan regulatornya. Di rumah sakit, tugas menghubungkan regulator dilakukan oleh departemen perawatan pernapasan. Petugas perawatan rumah yang keliling biasanya bertanggung jawab menghubungkan tabung oksigen dengan regulator yang digunakan di rumah.







Metode Pemberian Oksigen. Oksigen dapat diberikan kepada klien dengan menggunakan nasal kanula, kateter nasal, masker wajah, atau ventilator mekanis.
Kanula nasal. Kanula nasal merupakan peralatan yang sederhana dan nyaman. Kedua kanula, dengan panjang sekitar 1,5 cm, muncul dan bagian tengah selang sekali pakai dan diinsersikan ke dalam hidung. Oksigen diberikan melalui kanula dengan kecepatan aliran sampai 6 liter/menit. Kecepatan aliran lebih besar dan 4 Iiter/menit jarang digunakan karena efek yang ditimbulkannya, yakni menyebabkan mukosa kering dan juga karena jumlah oksigen yang diberikan relatif sedikit lebih besar. Perawat harus mengetahui kecepatan aliran yang menghasilkan konsentrasi oksigen inspirasi dengan persentase tertentu (Fi02). Perawat juga harus mewaspadai kerusakan kulit di atas telinga dan di hidung akibat pemasangan nasal kanula yang terlalu ketat.
Kateter nasal. Kateter nasal lebih jarang digunakan dari pada nasal kanula, tetapi bukan berarti kateter nasal tidak digunakan. Prosedur pemasangan kateter ini meliputi insersi kateter okigen ke dalarn hidung sampai nasofaring. Karena fiksasi kateter akan memberi tekanan pada nostril, maka kateter harus diganti minimal setiap 8 jam dan diinsersi ke dalam nostril lain. Karena alasan ini, kateter nasal seringkali menjadi metode yang kurang diminati karena klien merasakan nyeri saat kateter melewati nasofaring dan karena mukosa nasal akan mengalami trauma.
Oksigen transtrakea. Oksigen transtrakea (OTT) merupakan metode pemberian oksigen bagi klien yang mengalami penyakit paru, dengan sebuah kateter kecil berukuran intravena diinsersi langsung ke dalam trakea melalui suatu saluran leher bagian bawah yang dibedah dan oksigen dihantarkan langsung ke trakea.
Keuntungan OTT adalah: (1) tidak ada oksigen yang hilang ke atmosfer, (2) klien memperoleh oksigenasi yang adekuat dengan kecepatan aliran yang lebih rendah, sehingga pemberian oksigen lebih efisien, lebih murah, dan menghasilkan efek samping yang lebih sedikit, dan (3) klien memiliki kemungkinan lebih besar untuk menggunakan oksigen karena adanya mobilitas, kenyamanan, dan penampilan wajah tampak lebih baik.
Setelah stoma trakeal pulih, klien diajarkan untuk mengangkat dan menginigasi kateter dengan salin normal sekurang-kurangnya tiga kali sehari untuk mempertahankan kepatenan kateter. Kecepatan aliran oksigen terakhir, biasanya kurang dari 4 liter/menit, diberikan melalui kateter berukuran 8 Fr melalui saluran yang matur (Reinke, Hoffman, dan Wesmiller, 1992).
Masker oksigen. Masker oksigen merupakan peralatan yang digunakan untuk memberikan oksigen, kelembaban, atau kelembaban yang dipanaskan. Masker tersebut dirancang supaya dapat benar-benar pas terpasang menutupi mulut dan hidung dan difiksasi dengan rnenggunakan tali pengikat. Ada dua jenis utama masker oksigen: konsentrasi tinggi dan konsentrasi rendah.
Masker wajah yang sederhana digunakan untuk terapi oksigen jangka pendek. Masker ini dipasang longgar dan memberikan konsentrasi oksigen dan 30% sampai 60%. Masker ini kontraindikasi bagi klien yang mengalami retensi karbon dioksida karena akan memperburuk retensi.
Masker wajah plastik yang berkantung reservoar dan masker Venturi mampu memberi konsentrasi oksigen yang lebih tinggi. Apabila digunakan sebagai masker wajah pada klien yang tidak mampu bernapas kembali (nonrebreather), masker wajah plastik yang berkantung reservoar dapat menghantarkan oksigen 80% sampai 90% (70% jika digunakan pada klien yang mampu bernapas kembali [rebreather]) dengan kecepatan aliran 10 liter/menit. Masker oksigen ini mempertahankan suplai oksigen dengan konsentrasi tinggi di dalam kantung reservoar.
Perawat harus seringkali menginspeksi kantung untuk memastikan kantung tersebut mengembang. Apabila kantung tersebut mengempes, maka klien akan menghirup sejumlah besar karbon dioksida.
Masker Venturi dapat digunakan untuk menghantarkan konsentrasi oksigen 24% sampai 28%, 30%, 35%, 40%, 45%, 55% dengan kecepatan aliran oksigen 2 sampai 3. 4, 6, 8, 14 Iiter/menit secara berurutan, bergantung kepada pemilihan alat pengendali aliran (Deitenmeier, 1992).



E. EVALUASI
Intervensi dan terapi keperawatan dievaluasi dengan membandingkan kemajuan pencapaian klien terhadap tujuan intervensi dan hasil akhir yang diharapkan dari rencana asuhan keperawatan. Setiap tujuan dan kategori intervensi memiliki criteria evaluasi.
Apabila tindakan keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi tidak berhasil, maka perawat harus segera memodifikasi rencana asuhan keperawatan. Intervensi yang baru kemudian dikembangkan perawat tidak perlu ragu untuk memberi tahu dokter tentangstatus oksigenasi klien yang memburuk . pemberitahuan yang cepat dapat menghindari situasi kedaruratan atau bahkan menghindari perlunya resusitasi jantung paru.



DAFTAR PUSTAKA


1. Long C Barbara, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Yayasan IAPK, Pajajaran Bandung.
2. Kozier Erb, Fundamental Of Nursing : Concept Process and practice, Addison Weslwy Publishing co, USA, 1991.
3. Smeltzer Bare, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8 ,Volume 1, EGC, Jakarta.
4. Taylor Carol, Lilis Carol, Lemone Priscilla, Fundamentals Of Nursing : The Art and Science Of Nursing Care, Third Edition, Lippincott Philadelphia, NewYork.
5. Ellis RJ, A Elizabeth, 1994, Nowlis, Nursing : A Human Needs Approach, Fifth Edition, JB Lippincott Company, Philadephia.
6. Wolf, Weitzel, Fuerst, 1984, Dasar-dasar Ilmu Keperawatan, buku kedua, Gunung Agung, Jakarta.
7. Potter Perry, 1997,Fundamentals Of Nursing : Concepts, Process and Practice, Fourth Edition, Mosby Year Book.
8. http://healthcare.utah.edu/healthinfo/images/ei_0064.gif

No comments:

Post a Comment